Langsung ke konten utama

Minim Pengawasan, Buku Lama Terabaikan


Jumat (24/8) lalu, tulisan Tia Pamungkas di grupfacebook Kunci Cultural Studies  dibanjiri komentar.  Dosen Sosiologi UGM itu mengutip artikel di blog Tarli Nugroho soal penemuan beberapa buku tua di rumah karyawan peleburan kertas. Di antaranya terdapat dua buku berstempel Perpustakaan UGM, yakni Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie karya Van Vollenhoven mengenai hukum adat dan disertasi Masri Singarimbun tentang Batak Karo. Melihat fakta tersebut, muncul pertanyaan besar, mengapa Perpustakaan UGM menyingkirkan koleksi buku-buku lama?
Menurut Paijo, Penanggungjawab Pelaksana Perpustakaan UGM, pihaknya tidak pernah membuang buku. “Jika buku itu merupakan buku lama, buku tersebut akan disendirikan dan tetap dirawat,” tambahnya. Senada dengan Paijo, Lasa H.S., Kepala Bidang Layanan Perpustakaan UGM menekankan, dosa bagi seorang pustakawan untuk melakukan hal tersebut.  “Seorang pustakawan harus melestarikan dan mengembangkan kekayaan intelektual umat manusia,” ujarnya. Ketika disinggung soal penemuan dua buku itu, Paijo mengungkapkan, buku tersebut masih ada di perpustakaan UGM, tepatnya di Hatta Corner.
Ditemui di rumahnya (8/12), Tarli menanggapi pernyataan pihak perpustakaan, “ Hatta Corner itu kan dulunya perpustakaan Yayasan Hatta.” Menurutnya, buku Van Vollenhoven yang ada di Hatta Corner merupakan milik Yayasan Hatta, sedangkan buku yang ditemukannya itu berstempel perpustakaan UGM. Kesimpulannya, perpustakaan UGM sudah tidak lagi memiliki koleksi dua buku tentang hukum adat itu. Dari pernyataan Tarli di atas, sistem pengelolaan perpustakaan kampus yang sedang menuju World Class Research University  (WCRU) ini harus dikaji kembali.
Pembuangan buku itu tidak bisa lepas dari masalah  tempat yang terbatas. “Untuk menjadi WCRU kita harus punya rasio 1 m2 untuk 1 mahasiswa, tapi UGM baru bisa 0,75 m2 untuk 1 mahasiswa,” tutur Lasa. Pada dasarnya sirkulasi buku di perpustakaan, baik yang masuk maupun keluar (disingkirkan-red) harus melewati mekanisme yang baik. Menurut Tarli, pihak perpustakaan seharusnya mengetahui buku mana saja yang layak untuk disingkirkan. “Jangan sampai karya pemikir bulaksumur  sekelas Masri Singarimbun tidak bisa dinikmati generasi di bawahnya,” ujarnya. Dengan demikian, campur tangan guru besar dan dosen menjadi hal yang penting dalam regulasi “pemusnahan” buku. “Seharusnya dibentuk kelompok panelis yang tugasnya menilai buku mana saja yang bisa dikeluarkan,” usul Tarli. [Gita Kurnia, Linggar Arum, Yayum K]
*ditulis ketika masih awak magang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup