Kehidupan baru telah menyapa mahasiswa Universitas Gadjah Mada angkatan 2012. Status siswa yang sudah 12 tahun melekat, ditanggalkan. Kini mereka memasuki kehidupan baru sebagai mahasiswa. Rasa bahagia dan bangga melekat di hati mereka. “Senang dan bangga masuk UGM,” ungkap Ridho Nurwantoro, mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan angkatan 2012. Sebab menurutnya, dari kampungnya di Ketapang, Kalimantan Barat, dialah orang kedua yang berhasil menembus ketatnya persaingan ujian masuk UGM. Orang pertama masuk UGM 20 tahun lalu.
Kebahagiaan Ridho menyandang status baru sebagai mahasiswa juga diikuti tantangan. Adaptasi dari siswa ke mahasiswa menjadi persoalan tersendiri. “Susah beradaptasi, terutama terhadap pola belajarnya,” ucap Ridho. Misalnya, untuk belajar ia harus mencari bahan bacaan sendiri, tidak ada lagi LKS (Lembar Kerja Siswa –red) dan buku teks wajib. Selain itu, tugas kuliah pun tidak bisa dikerjakan semudah di SMA dengan mencontek sumber internet.
Hindun Zakiyah yang baru diterima di Fakultas Kedokteran pun merasakan tantangan tersebut. “Di SMA itu santai. Kalau SMA kan masih bergantung sama guru, kalau kuliah kita yang aktif.” Ia menambahkan, dalam proses belajar di bangku kuliah, mahasiswa dituntut aktif mencari ilmu dan dosen hanya merupakan fasilitator. Sehingga, mahasiswa dituntut mandiri dan bertanggung jawab.
Keluhan-keluhan sulitnya beradaptasi tidak hanya diungkapkan Ridho dan Hindun. Kondisi ini jamak dialami maba. Hal tersebut dibenarkan oleh Dr. Haryanto, M. Si, staf pengajar Fakultas Psikologi UGM. Pola belajar yang berubah cukup drastis biasanya menjadi hambatan maba. “Kini saat kuliah, mahasiswa yang dituntut aktif sementara selama menjadi siswa mereka cenderung pasif,” terangnya. Ia menambahkan, di bangku kuliah, belajar adalah sebuah pilihan berbeda dengan masa sekolah yang seakan menjadi kewajiban. Maba semestinya dapat segera beradaptasi dengan pola kehidupan baru sebagai mahasiswa agar tidak mengganggu proses belajarnya.
Cepat atau lambatnya proses adaptasi ini tergantung dari individu-individu masing-masing. “Dua hingga tiga bulan harus sudah bisa beradaptasi,” katanya. Untuk membantu proses adaptasi ini, diperlukan lingkungan yang mendukung. Misalnya, universitas mengadakan Pekan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru (PPSMB), dulunya disebut ospek, untuk membantu maba beradaptasi. “Mestinya PPSMB membantu maba beradaptasi baik secara fisik, sosial, maupun akademik,” ujarnya. Sayangnya, masih ada tugas dari PPSMB yang justru membuat maba harus pulang larut dan kurang istirahat.
Pola hidup yang berubah baiknya diikuti dengan perubahan pola pikir. “Mahasiswa harus punya inisiatif, daya juang dan semangat yang tinggi,” himbau Haryanto. Ia menambahkan, semua pilihan terletak pada mahasiswa. Datang ke kampus atau tidak, belajar atau tidak, termasuk lulus cepat atau tidak semuanya ada di tangan mahsiswa sendiri, pihak universitas hanya memfasilitasi. “Yang terpenting adalah kemauan dan usaha,” tutupnya. [Linggar Arum S, Gita Kurnia]
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)