“Kalau tidak begini kami tidak akan didengar, pemerintah sudah kalah sama uang,” seru Wajuki, salah seorang buruh.
Ratusan buruh di Yogyakarta memperingati Hari Buruh sedunia pada Selasa (1/5) siang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Hari Buruh diwarnai dengan unjuk rasa menuntut kesejahteraan. Kali ini massa yang tergabung dari berbagai serikat buruh seperti Aliansi Buruh Yogyakarta(ABY), Aliansi Rakyat Yogyakarta (ARY), dan beberapa aliansi buruh lainnya melakukan orasi di Titik Nol Kilometer. Selain itu, elemen masyarakat yang terdiri dari petani, buruh gendong bahkan jurnalis dan mahasiswa turut meramaikan aksi ini.
Beberapa tempat di Yogyakarta dijadikan titik koordinasi. Massa dari kalangan mahasiswa dan berbagai aliansi serikat buruh berkumpul di Taman Parkir Abu Bakar Ali. Massa lalu melanjutkan aksinya ke Gedung DPRD Provinsi DIY untuk melayangkan petisi. “Ada empat hal pokok yang menjadi tuntutan kami, pertama menyoal kenaikan BBM, menuntut pelaksanaan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial—red), menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing, serta upah kerja yang layak,” tegas Kirnadi, Sekretaris Jendral ABY. Massa sempat melakukan sweeping di Kantor DPRD Provinsi DIY. Mereka ingin mengajak anggota dewan untuk bergabung, namun hanya Ketua DPRD yang bersedia.
Kelayakan upah merupakan tuntutan utama massa. Upah Minimum Propinsi DIY 2012 sebesar Rp. 892.660,- menurut mereka tak mampu memenuhi kebutuhan hidup para buruh. Wajuki, salah satu buruh pabrik tekstil di Sleman mengaku penghasilannya 892 ribu rupiah ditambah tunjangan 75 ribu rupiah per bulan. Uang makannya pun hanya sebesar tiga ribu rupiah per hari. Penghasilan itu jelas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. “Di rumah juga ada istri, anak, cucu dan menantu saya,” ungkapnya. Wajuki yang sudah bekerja selama 26 tahun pun tak pernah naik pangkat.
Massa juga menuntut perlindungan terhadap buruh gendong, pembantu dan tenaga informal lainnya. Kasus yang sering terjadi pada pembantu seperti kekerasan fisik, pemberian gaji yang tidak layak, jam kerja yang berlebih tanpa uang lembur juga dipersoalkan. “Selama ini pembantu rawan mengalami kekerasan, gaji tidak dibayarkan, tidak ada perlindungan yang jelas bagi para pembantu ” teriak salah seorang orator.
Demonstrasi kali ini juga diwarnai aksi teatrikal. Beberapa orang mengecat merah tubuhnya dengan leher yang terikat oleh rantai, langkah mereka terseok-seok menyeret beban berat di kakinya. Sembari mendorong becak, mereka berusaha menggapai uang yang tengah dihitung oleh pria berdasi yang duduk di kursi becak. Aksi teatrikal ini menggambarkan buruh yang tertindas namun hasil keringat mereka justru dinikmati oleh pemilik modal.
Aksi yang diikuti lebih dari 200 orang ini pun mendapat pengamanan dari pihak kepolisian. “Kami menurunkan tak kurang dari 400 personil yang tersebar di berbagai titik,” ujar Kombespol Mustaqim Kapolresta Yogyakarta. Aksi ini berdampak pada pengalihan lalu lintas di seputaran Jalan Malioboro. Akibatnya Jalan Malioboro yang biasa ramai pejalan kaki menjadi lengang. “Dagangan saya jadi sepi,” keluh Andi, penjual minuman di depan Benteng Vredeburg. Berbeda dengan pendapat Andi, John seorang turis Australia yang sedang berlibur di Malioboro menganggap aksi buruh besar-besaran sebagai fenomena yang wajar terjadi. “Aksi ini merupakan bentuk freedom of speech jadi utarakan pendapatmu dengan bebas,” ujar John.
Teriknya sinar matahari siang itu justru semakin menggelorakan massa untuk menyuarakan hak-hak buruh. “Kalau tidak begini kami tidak akan didengar, pemerintah sudah kalah samauang,” seru Wajuki. Meskipun melibatkan banyak elemen masyarakat, aksi ini berlangsung damai hingga massa membubarkan diri. [Danny Izza, Farah Dinna Pratiwi, Linggar Arum Sarasati, Marissa Kuncaraning Probo]
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)