Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Quarter Life Crisis: Hal-hal klise yang baru kusadari ketika 25 tahun (2)

source: freepik Tulisan ini sudah didraft dari entah kapan, saking lamanya. Karena nggak beres-beres yaudahlah memaksakan diri selesai biar bisa jadi ucapan selamat ulang tahun untuk aku sendiri. Dua jam lagi aku akan ulang tahun kedua puluh lima. Dari dulu, selalu berandai-andai gimana rasanya jadi dua lima tahun. Selalu bertanya-tanya akan jadi apa aku di usai dua lima. Karena dari dulu mikirnya dua lima adalah gerbang ke arah mapan dalam hidup, udah nemu career path dan udah punya gandengan yang bisa diajak serius ( somehow aku masih mengamini kalau pernikahan adalah hal yang bikin kita dianggap benar-benar dewasa, milestone kemapanan meskipun di sini lain aku against banget sama yang buru-buru nikah untuk sekadar masuk standar society, if it makes sense ). Ya tapi nggak semudah itu juga Ferguso. Di hidupku, justru perjalanan ke dua lima sungguhlah kacau, cerita tentang kehilangan sambung-menyambung, self pity yang nggak habis-habis, sempat nganggur lama dan bing

Dana Darurat, Penting Nggak?

source: freepik Barusan banget, IG stories walking dari akun @annisast ke @andaws, mereka berdua lagi membicarakan soal dana darurat. Terus aku juga mau cerita-cerita bagaimana perjuanganku sendiri tersadar akan pentingnya mengatur kehidupan finansialku hingga punya dana darurat. Dana darurat adalah dana yang kita siapkan jika sewaktu-waktu kita mengalami kejadian darurat yang membuat kita tidak bisa bekerja. Selain itu, ketersediaan dana darurat juga bikin hidup lebih tenang karena nggak hidup dari satu gajian ke gajian berikutnya. Besarnya dana darurat sangat bervariasi tergantung dari individu masing-masing, utamanya dihitung dari pengeluaran bulanan dan jumlah tanggungan. Biasanya kalau masih single minimal dana darurat yang harus disiapkan sebesar 3x pengeluaran bulanan, sudah menikah belum punya anak 6x pengeluaran bulanan, dan seterusnya. Tapi misal masih single dan mau nabung dana darurat untuk 6x pengeluaran bulanan juga boleh aja. Aku agak lupa sih kapan mula

Kompetisi-kompetisi di Antara Perempuan

Designed by Freepik Kenapa perempuan biasanya lebih jahat kepada sesamanya? Pertanyaan yang acap muncul setiap kali seorang perempuan dilecehkan dan perempuan lain justru dengan lebih jahat menyalahkannya. Atas baju yang dikenakan. Atas sikapnya yang (dianggap terlalu) ramah. Atas apa saja yang melekat pada dirinya. Atas apa saja yang dilakukannya. Pertanyaan soal itu lebih sering muncul dibanding bertanya “kenapa masih ada saja laki-laki yang melecehkan perempuan?” Kalau perempuan diminta menutup tubuhnya agar tidak dilecehkan, laki-laki harus menutup apanya agar berhenti melecehkan? Meskipun sebenarnya, korban pelecehan seksual bukan hanya dialami oleh perempuan. Beberapa laki-laki juga mengalaminya. Bahkan dalam kasus Agni beberapa waktu lalu, seorang teman yang juga perempuan bisa bilang, “Tanpa dilecehkan pun, mereka sudah salah karena tidur sekamar.” Ya, mereka melanggar norma masyarakat. Ya, mereka melanggar aturan KKN. Tapi, apakah dengan b

Dialog Dini Hari #4

“Are you happy?” “Of course, I am. Sekarang jadi jauh lebih tenang, aku pelan-pelan mulai semangat bangun pagi lagi sementara sebelumnya aku benci pagi, bangun, harus kerja. Sampai di titik aku benci diriku sendiri karena masih mau stay padahal jelas-jelas nggak sehat buat mentalku. Everything is getting better.” “Glad to hear that. Bener juga sih. Di sini juga makin lama makin nggak jelas. Sekarang Dia yang ada di titik itu. Males bangun. Masuk kantor jam 9.00 Dia baru bangun 8.30.   So, gimana rasanya pulang?” “Hmm... nggak semengerikan yang kubayangkan sih. Tapi tentu saja banyak yang berubah. Apalagi setelah Bapak nggak ada. Adaptasi lagi juga mau nggak mau. But, everything is fine.” “Masa sih kamu ngeri bayangin pulang ke rumah? Kukira kamu happy.” “Kayaknya aku pernah cerita deh apa yang terjadi di rumah, di Jogja dan kenapa akhirnya pengen pergi dari sini. Ternyata, waktu nggak akan menyembuhkan luka yang mana pun, kecuali kita mengizinkan luka-luka

Dialog Dini Hari #3

“Kak, kalau aku nikah tahun depan kamu dateng nggak?” “Dateng, kamu nikah besok pun aku dateng insyaallah.   Emang mau tahun depan, apa besok?” “Emangnya kalau besok mau sama siapa nikahnya?” “Sama jodoh yang dikasih Gusti lah.” “Jodoh tu semacam dua orang yang diciptakan untuk hidup bersama dan memiliki partikel yang cocok dalam tubuh mereka, yang selalu ada selama nyawa ada nggak sih?” “Definisi opersional jodoh tu apa? Harus menikah nggak sama jodoh?” “Hmm, nggak tahu.” “Definisinya dulu lah. Apakah orang yang kita suka udah masuk jodoh? Atau harus sampai nikah? Menurutku, jodoh tu setelah akad. Jadi ya harus nikah. Atau gampangnya, jodoh adalah orang yang kita nikahi. Dengan definisi itu aku sih merasa nggak percaya dengan teorimu di depan tadi. Jodoh berarti kerja bagiku, yang butuh kerja dari kedua belah pihak untuk saling mencocokan diri, karena orang tu terus berubah, kalau pasangan tumbuh kitanya nggak, bisa jadi nggak cocok lagi. Saling m

Quarter Life Crisis: Badai Pasti Berlalu (1)

Tulisan ini rencananya akan dipublikasikan untuk memperingati ulang tahunku yang ke-25, dua setengah bulan lagi. Tapi rasanya gatal sekali ingin menuliskan, takut keburu lupa pada sensasinya. Rencananya, di umur ke-25 ini aku sudah menemukan jawaban atas pertanyaan kenapa aku diciptakan. Pertanyaan ini sudah menghantuiku selama setidaknya 3-4 tahun belakangan. Jawaban yang kuharapkan adalah aku tahu jelas akan ke mana arah hidupku, punya pekerjaan yang bisa membuatku settle down, punya hubungan romansa yang bisa diharapkan ke tahap yang lebih serius, bisa memberikan lebih banyak untuk orang tua dan sekitar. Dan boom! Tahun ini aku kehilangan dua hal yang kujadikan pijakan, bapakku dan pekerjaanku. Di tahun yang kuharapkan menjadi tahun di mana aku akan settle down ternyata justru jadi tahun di mana aku justru jungkir-balik ke titik nol lagi. Meskipun demikian, aku masih hidup dan cukup waras untuk menulis dan bercerita pada kalian.   Cerita soal bagaimana aku kehilan

Dialog Dini Hari #2

“Kayaknya kisah cinta idamanku berubah deh.” “Nggak lagi teman tapi menikah?” “Iya. Kayaknya punya strong relationship dengan orang baru juga menyenangkan.” “Karena teman yang kamu taksir nggak pernah nyadar?” “Asem. Bukan ya, karena ternyata Jogja setelah kepulanganku dari Jakarta, meski terasa akrab tapi tetap terasa nggak tepat. Sebaliknya, Jakarta yang baru saja kukenal dia bisa menyembuhkan banyak luka, membuatku melihat sisi lain dari diriku dan ya bikin aku jatuh cinta pada diriku sendiri dan sama kota itu.” “Hmm, have you found the one like Jakarta? Or you met him in Jakarta ?” “Hahaha. Hmmm.”

Dialog Dini Hari #1

“ Are you free ?” “ No, I’m expensive. ” “ Shit. You know that’s not what I mean .” “Hahaha. Iya selo kok, udah pulang kerja, udah mandi, udah makan.” “ Good . Aku mau cerita boleh?” “Boleh dong, ngapain tanya dulu. Kayak biasanya aja sih.” “Hahaha. Hmmm, aku kok merasa aku dikerubungi dementor gitu, rasanya hopeless dan negatif terus. Perasaan nggak berguna yang sudah setahunan ini menggangguku rasanya nggak hilang-hilang. Aku udah coba berbagai cara kayaknya. Take my time, take a break, paused my life . Sampai akhirnya aku sadar kalau untuk menghasilkan patronus corporeal, aku harus punya ingatan menyenangkan yang kuat, membiarkannya memenuhi diriku dan say the spell ‘Expecto patronum!’ tapi nggak tau kenapa rasanya susah sekali mengingat satu saja kenangan manis yang kuat di tengah-tengah dementor ini. So, I’m just wondering if you can help me, be Remus Lupin for Harry Potter .” “Nggak ah. Aku mau jadi Dumbledore aja ‘happiness can be found. Even

(Almarhum) Bapak

Bapak berpulang sudah 11 hari ketika tulisan ini pertama kali diketik. Meski Hanum dan beberapa saudara sudah jauh-jauh hari mengabadikan perasaan mereka kehilangan Bapak dalam tulisan tapi aku baru sanggup sekarang. Mengakui kenyataan: Bapak telah berpulang ke sebenar-benarnya rumah. Beberapa hari lalu, aku masih berharap bangun dengan mendapati whatsapp dari Bapak “ Yas, tangi. Salat dhisik .” Tapi ternyata hal itu tidak pernah terjadi. Beberapa hari kemarin, aku bangun dengan mendapati ibu yang menangis, dilanjutkan dengan malam-malam yang menyebut nama Bapak dalam tahlil bersama tetangga dan saudara terdekat. Secepat ini aku menahlilkan Bapak, mengirim Yasin pada Bapak. Tapi ya sudah. Bapak sudah sehat, tenang dan bahagia di sana. Berjalan setapak lebih dekat kebahagiaan terbesarnya: bertemu Allah dan Baginda Rasul Muhammad SAW. Yang bisa kulakukan sekarang adalah mendukung perjalanan Bapak pada kebahagiaan tersebut: mendoakan beliau, sesering dan sebaik mungkin. Soal k

(Jangan) Menyerah

Source:pixabay Dulu, aku adalah orang yang akan berusaha mempertahankan apa yang ada di genggamanku erat-erat. Tak ada kata menyerah dalam hidupku. Apa yang aku inginkan, harus kudapatkan. Bagaimana pun caranya, seperti apapun berdarah-darahnya aku akan perjuangakan. Tapi itu dulu. Ketika pemahaman telah bertambah, ketika hidup mulai terasa semakin berat dengan cara seperti itu maka aku memilih untuk memasrahkan banyak hal dalam hidupku ke tangan-Nya. Aku jauh lebih selo, memandang hidup. Tapi ya ujian berjalan terus. Ada kalanya sesuatu yang ingin kugenggam tapi ternyata memang sepertinya bukan rejeki. Seperti sekarang. Ada hal yang ingin kugenggam, kupertahanan, karena aku butuh. Tapi susah, susah sekali. Rasanya, hal ini memang bukan sesuatu yang ditakdirkan untuk pas di genggamanku. Ada banyak saat ketika aku mati-matian meyakinkan diriku sendiri bahwa it’s ok to feel not ok . Aku menepis perasaan tidak nyaman, mengingkari firasatku, dan berusah terus belaja

Kenapa Masih Bertahan (di Pekerjaan)?

Suatu hari, tak lama setelah lulus sebagai sarjana, beberapa kakak angkatan yang sudah bekerja sedang berkumpul dan memberiku selamat. Kami ngobrol lalu sampailah aku pada pertanyaan, "Seneng nggak mas sama kerjaan yang sekarang?" Dan mereka cuma tertawa. Waktu itu, aku masih punya keyakinan bahwa pekerjaan harus sesuatu yang bikin aku seneng. sumber: pixabay Ternyata mencari pekerjaan itu tidak mudah. Aplikasi sudah dikirimkan ke berbagai perusahaan dan posisi-posisi yang aku kira bisa membuatku senang selama nanti puluhan tahun bekerja. Sekadar diterima bekerja saja sudah sulit apalagi harus menyaring mana yang akan memberikan kita kesenangan. Kesalahan lainnya adalah aku tidak punya definisi yang jelas kesenangan macam apa yang aku incar dalam bekerja. Secara samar, kesenangan di benaku adalah bisa membuatku merantau, gaji yang kira-kira bisa digunakan sedikit foya-foya, masih ada sisa untuk ditabung dan berbagi pada keluarga. Sampai kemudian membuatku

Ringkasan Perpindahan-perpindahan di Tahun 2017

Tahun 2017, secara garis besar masih sama seperti tahun lalu. Temanya masih pindah. Kalau tahun lalu, perpindahan dimulai dari resign dari pekerjaan parttime di awal tahun. Lalu, pindah dari status mahasiswa jadi pengangguran lalu jadi pekerja. Pindah-pindah dari satu freelance satu ke freelance yang lain. Hingga di akhir tahun, dapat perkerjaan yang bikin jalan-jalan ke 5 kabupaten selama sekitar 3 bulan. Awal tahun, punya pekerjaan baru. Pindah habitat, dari Jogja ke Jakarta. Beradaptasi hingga akhirnya harus berdamai pada banyak sekali hal baru. Berdamai hidup sendiri. Berdamai dengan lingkungan baru yang sama sekali asing. Dan mungkin yang paling berat, berdamai dengan masalah-masalah baru yang sebelumnya seakan tidak pernah ada. Pindah dari Jogja ke Jakarta adalah satu hal. Pindah dari sekamar sendiri jadi sekamar kos berdua adalah hal lain. Lalu pindah ke kontrakan dengan 4 orang di dalamnya adalah hal yang lain lagi. Soal kerjaan, meski ada di satu perusahaan yang sama