Ia
anak rumahan. Meski aktif di sebuah unit kegiatan mahasiswa, perputaran
kehidupannya memang lebih banyak di rumah. Dari umur empat puluh hari hinggga
kini lebih dari 20 tahun, ia tinggal di rumah. Di dalam rumah, tak ada banyak
identitas yang bisa ditemui. Ditambah lagi, ia tinggal di desa yang punya
komposisi nyaris homogen, semua penduduknya Islam dan Jawa. Kampus hanyalah
tempat singgah apalagi belakangan UGM lebih banyak didominasi mahasiswa Pulau
Jawa. Di kelasnya, hampir separuh mahasiswa, adalah penduduk DIY dan Jateng.
Media,
bagaimana pun adalah arena kontestasi, termasuk di dalamnya mempertentangkan
identitas sebagai bagian dari kekuasaan. Di televisi, olok-olok pada mereka
yang punya logat kental Ngapak dimulai, juga pada mereka yang Madura, Batak,
dan stigmatisasi pada mereka yang berkulit gelap dari belahan Indonesia Timur.
Termasuk stigmatisasi pada para difabel.
Suatu
malam, yang saya lupa tepatnya, dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji seorang
pemeran dengan kekurangan fisik menggunakan kursi roda harus merelakan kursi
roda yang menjadi penyambung kakinya digunakan sebagaimana troli belanja.
Ceritanya, Abdel (Nelan) sedang pulang dari pergi jauh lalu Mali dan Tarmidzi
menjadikan kursi roda Iping sebagai alat bantu untuk mengangkut barang bawaan
Nelan. Lalu, orang-orang di sekelilingnya hanya menertawakan dengan gembira.
Begitulah,
televisi mengkonstruksi cara pandang kita terhadap difabel. Sebenarnya bukan
hanya difabel tapi kepada hampir semua identitas minor. Salah satunya orang
timur. Dalam sebuah televisi yang penuh kontestasi itu, acara yang mengizinkan
semua identitas saling berkompetisi namun di sisi lain saling meretawakan
dengan jujur, stand up comedy.
Dalam
sebuah stand up comedy, unsur paling penting adalah kekhasan cara pandang dari
masing-masing komika[1].
Salah satu cara mendapatkan kekhasan cara pandang itu adalah dengan
menelanjangi identitas sendiri. Meminjam istilah Indro Warkop yang menjadi
salah satu juri, bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menertawakan
dirinya sendiri.
Tulisan
ini, adalah cerita seorang anak rumahan yang berusaha get up dan get there dari
sebuah medium bernama televisi. Dalam kotak kaca ajaib itu, acara favoritnya
adalah Stand Up Comedy Indonesia. Pada sesi ini, ia menjagokan seorang komika
Larantuka yang satire, Abdur. Dari awal Abdur konsisten membawa suara minor
dari Timur. Dalam setnya[2]
di Show 1, ia menyebut tanpa suara minor sebuah lagu tidak akan mencapai
harmonisasi.
penampilan Abdur di Pre Show |
Dalam
setiap kesempatan Abdur selalu, membawa suara dari Timur Indonesia. Dalam
setiap tema yang diberikan oleh Kompas TV ia selalu bisa menyisipkan humor
satire, membawakan kritik sosial. Abdur biasa menertawakan, stigma yang biasa
melekat pada orang Timur, yang punya kulit gelap hingga terlihat seram.
“Mama,
besok nonton aku ya di Kompas TV,” kata Abdur.
Sementara
di seberang telefon Mamanya menjawab, “Ha?! Masuk TV kau buat kejahatan apa?”
Setidaknya
bagi saya, lewat Abdur, saya tahu persis bahwa itu hanya stigma. Orang Timur
itu lucu dan lawakannya juga cerdas, punya misi. Abdur dan Arie keriting sudah
membuktikannya.
Dari
Abdur, ia melihat Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Dari rumahnya, ia
tahu Indonesia baik-baik saja. Jalan mulus beraspal. Akses kesehatan dan
pendidikan yang mudah. Namun, ternyata, ada juga sebagian saudaranya tak
seberuntung ia.
Dalam
banyak bitnya[3] Abdur selalu
mengangkat masalah sosial yang seriang ia temui di Larantuka. Masalah
ketidakmerataan pendidikan seperti yang terganbar dari bit yang ia bawakan
dalam Pre Show 1.
Pemerintah
menginginkan pendidikan ayang kontektual. Ambil contoh dalam pelajaran
matematika, sebuah menara dengan tinggi 60 meter jika seorang pengamat memiliki
derajat dengan menara 60 derajat, hitung jarak pengamat dengan menara. Bagi,
kami orang timur soal ini akan
membingungkan karena kami tak pernah liat menara. Coba kalau diganti dengan
pohon kelapa, tiang kapal, atau tiang listrik. Ah tapi susah juga, listrik
belum ada.
Abdur
sukses memantik tawa juga rasa empati penontonnya.
Kekhasan
Abdur membawanya sampai ke putaran grand final. Mempertemukannya denga David,
komika dengan identitas Betawi yang kuat. Keduanya, sama-sama memiliki kekhasan
cara pandang, yang satu khas Timur sementara David khas Betawi. Meskipun begitu,
persamaannnya, mereka sama-sama marjinal. Jakarta memang pusat namun di
dalamnya etnis Betawi hanyalah etnis pelengkap yang muncul setaun sekali di
Pekan Raya Jakarta. Atau, sesekali dimunculkan lewat abang none Jakarte. Sampai
di sini, kita pantas bertanya siapa yang sedang
dibela oleh Jakarta sebagai ibukota negara?
penampilan Abdur di grand Final, dengan set kapal tua |
Dalam
putaran grand final, para komika diminta untuk tampil tiga kali. Babak pertama
dengan tema Jakarta. Abdur yang orang Timur didandani ala Betawi, aneh sekali. Entah
demi keseluruhan set cerita atau Jakarta memang selalu memaksa. Ia bercerita bagaimana
Jakarta memang pusat segalanya. Maulai dari soal angka kriminalitas tertinggi
di Indonesia karena pencuri dari Timur pun hijrah ke Jakarta karena melihat ada
kemungkinan mereka mendapat fasilitas lebih baik. Akhir setnya ditutup dengan
cantik.
“Teman-teman,
kalian tahu di mana kementrian desa tertinggal ada? Ya, di Jakarta. Mungkin maksudnya,
mentrinya di sini desanya ditinggal.”
Di
tema kedua, Abdur unggul. Karena memang ini adalah nafasnya dalam berbagai
kesempatan, kritik sosial. Ia membacakan sebuah syair bagaimana di matanya
Indoensia adalh sebuah kapal tua, cara pandang anak pesisir. Indonesia memang
aneh, sekitar dua per tiga wialyahnya adalah lautan tapi pemerintah lebih fokus
membangun daratan, dan sepertinya kita semua sudah lupa. Ia cerita bagaiman
kapal ini berganti-ganti nakhkoda, dan tahun ini akan menjadi ketujuh kalinya
nakhkoda berganti.
Di
malam grand final itu, hadir seorang komika yang memiliki cacat fisik. Namanya Adit,
kawan sekomunitas dengan Abdur di Stand Up Indonesia Malang.
“Kalau
hari ini saya tidak lucu, itu karena hari ini saya tidak mau ditertawakan.”
Maka,
seperti kata Radiya Dika, hanya Stand Up Comedy yang menyediakan panggung bagi
mereka yang suaranya minor dan marjinal. Justru karena itu ia suka, dari sana ia
dengar konfirmasi langsung dari mereka yang bisa terstigmatisasi, dari mereka
yang tak pernah mendapat sorotan media, sembari tertawa atas kejujuran mereka
menelanjangi identitasnya. Dari rumah, saya tetap bisa belajar mengenal aneka
rupa orang Indonesia.
***
“Ling,
KKN di mana?”
“Madura.”
“Nanti
pas dateng pertama jangan lupa, kamarnya dibacain ayat kursi dulu, orang sana
masih kuat lho santetnya.”
“Tapi
aku di pesantren kok tinggalnya.”
“Tetep
aja, atai-ati lho.”
Atau
di lain kesempatan.
“KKN
di mana Ling?”
“Madura.”
“Ati-ati,
banyak caroknya. Jangan keluar malem, apalagi sendirian.”
Upaya
get up dan get there yang sesungguhnya akan dimulai, sekitar 10 hari lagi.
Inilah,
kisah saya, anak rumahan yang melihat bagaimana identitas dikontestasikan dan
ditertawakan dengan medium televisi. Inilah, sejujurnya, kisah saya, yang baru
akan merasakan get up dan get there. Semoga tidak ada kata terlambat untuk
belajar mencintai Indonesia, dimulai dengan mengenali tiap lekuk indah juga
boroknya.
*ditulis sebagai tugas pengganti UAS mata kuliah Politik Identitas dan Multikulturalisme
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)