Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2013

Surat kepada Menteri Kesehatan

Ibu, ini adalah kali pertama kita berjumpa, melalui surat ini. Bagaimana kabar Ibu di sana? Semoga baik-baik saja. Saya menulis surat ini setelah dikejutkan dengan data dari UNICEF, pada tahun 2010, yang menyebut angka kematian ibu melahirkan masih berkisar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Meski sudah menurun namun, laju penurunannya berjalan lambat dalam dekade terakhir. Saya membandingkan dengan negara-negara ASEAN lain sudah   mampu menurunkan angka kematian ibu hingga di bawah 100 per 100.000 kelahiran hidup seperti Malaysia. Namun demikian, saya tahu Ibu dan jajaran di Kementrian Kesehatan telah bekerja keras buktinya, di tahun 1990 angka kematian ibu melahirkan berada di atas angka 600 per 100.000 kelahiran hidup. Kebetulan, tetangga saya merupakan seorang kader Posyandu yang tentu punya peran penting dalam membantu Ibu mewujudkan MDG kelima ini. Di lingkungan tempat tinggal saya, orang kaya dan miskin hidup berdampingan, bercampur menjadi satu komunitas. Tingkat pendid

Sebuah Gerutuan di atas Jalanan

gambar diambil di sini Rambu lalu lintas di depan saya masih menunjukkan angka 98. Meski begitu, suara klakson mulai terdengar tin, tin, tiiiiiiiin. Lampu merah baru saja menyala sepuluh detik lalu. Namun, kendaraan sudah berjejalan. Apalagi, di tiang rambu itu terpasang: belok kiri jalan terus sementara mereka yang hendak lurus sudah memenuhi jalan. Dari belakang, kendaraan yang ingin belok kiri ribut-ribut membunyikan klaksonnya. Yang lain awalnya sabar menunggu namun mendengar kebisingan macam itu menanggapi: dengan membunyikan klakson juga, sahut-menyahut.   Namun demikian, lampu itu tak kunjung berubah jadi hijau meski sudah diklakson berkali-kali. Pun, jalanan tak bertambah lengang. Lalu untuk apa? Jogja tak lagi berhati nyaman. Senja yang turun diam-diam dan perlahan mesti dirusak oleh deru suara mesin. Tak ada lagi waktu untuk melamun dan bersajak saat matahari mulai bersinar atau diam-diam pindah ke belahan bumi lain. Di waktu-waktu romantis, yang menjadi favorit

Perlu Berhenti

Kadang setelah kita lelah berlari, kita jenuh dan berhenti sejenak untuk tau apa rasanya berhenti. Sembari menghitung sudah seberapa jauh langkah kita. Juga bertanya, apakah lari telah membawa tujuan lebih dekat? Atau selama ini, kita hanya berputar-putar pada satu titik hingga lelah dan jenuh. Kadang juga, di titik pemberhentian itu kita jadi belajar menghayati apa saja yang terjadi selama berlari. Mungkin tersendung, mungkin terengah, mungkin melihat pemandangan indah, mungkin bertemu kawan yang setia, atau apa saja. Lalu jadi sempat memaknai mereka semua bukan sebagai kelebatan pandangan semata.  Di titik pemberhentian mungkin juga kita menyadari bahwa selama ini berlari pada arah yang salah sehingga harus putar arah dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Di titik itu, mungkin kita tahu bahwa ada komitmen yang harus diperbaharui, ada komitmen yang baru sama sekali, atau ada juga yang harus ditinggalkan karena tak sejalan dengan tujuan. Kadang hidup bukan saja soal lari