Langsung ke konten utama

Menguak Kehidupan Antropolog


Siang itu (6/12) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) tampak ramai. Di deretan bangku berwarna coklat mahasiswa terlihat mengunjungi pameran buku. Melangkahkan kaki lebih jauh, di plasa R.M. Margono Djojohadikusumo terlihat berjajar beberapa papan beralas kain hitam. Foto-foto dan lima buah lukisan krayon terpajang melingkar di selasar tersebut. Suasana tenang menemani pengunjung menikmati pameran foto yang digelar sebagai salah saturangkaian acara Dies Natalis Antropologi. Pameran foto yang berlangsung dari tanggal 5 hingga 10 Desember diadakan oleh mahasiswa Antropologi dengan mengangkat tema “Di Balik Layar sang Antropolog”.


Pameran foto ini merupakan visualisasi dari kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para antropolog. Penelitian antropologi mengharuskan para antropolog berbaur dengan masyarakat sehingga dapat mempelajari kebudayan setempat. Kedekatan antara antropolog dengan informannya terpotret dalam salah satu foto yang memperlihatkan seorang kepala suku menyerahkan dua buah piring kepada salah seorang antropolog sebagai tanda pengangkatan anak.Pada tahun ini, sebagian besar foto mengambil tempat di Kalimantan Barat dan Jawa Tengah. “Dari pameran ini, saya bisa melihat kebudayaan Kalimantan Barat yang unik,” ujar Melisa, mahasiswa Ilmu Sejarah 2006.
Selain pameran foto, berlangsung Seminar Penelitian Lapangan Meliau 2010-2011, Donor Darah, dan Temu Alumni “Diskusi Melihat Antropologi” padaagenda tahunan ke 47 kali ini. Rangkaian acara ditutup dengan pementasan wayang orang Antro dengan judul “Dursasana Gugur” pada tanggal 10 Desember pukul 19.00 di plasa R.M. Margono Djojohadikusumo. Berbeda dengan pameran-pameran foto sebelumnya,  pada pameran kali ini mahasiswa Antropologi bekerja sama dengan Family Supporting Group (FSG) Tunas Bangsa untuk menggelar acara pelelangan. FSG Tunas Bangsa merupakan lembaga nirlaba yang menaruh perhatian pada anak-anak dan keluarga penderita leukemia, thallasemia, haemofilia, dan kanker anak. Bangsa. Lukisan-lukisan krayon yang dilelang merupakan karya Syifa, seorang penderita leukemia yang telah meninggal satu bulan lalu.
Hasil pelelangan tersebut digunakan untuk membantu mewujudkan keceriaan bagi anak-anak di bawah naungan FSG Tunas Bangsa. Kegiatan yang dilakukkan meliputi pembelajaran bersama, bercerita, bermusik, melukis, dan mewarnai. Melalui kegiatan-kegiatan itu diharapkan anak-anak yang menderita penyakit tersebut dapat bermain dan menikmati hari-hari mereka.[Linggar Arum Sarasati]
*ditulis ketika masih awak magang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Stand Up Comedy: Menertawakan Diri Sendiri*

Ia anak rumahan. Meski aktif di sebuah unit kegiatan mahasiswa, perputaran kehidupannya memang lebih banyak di rumah. Dari umur empat puluh hari hinggga kini lebih dari 20 tahun, ia tinggal di rumah. Di dalam rumah, tak ada banyak identitas yang bisa ditemui. Ditambah lagi, ia tinggal di desa yang punya komposisi nyaris homogen, semua penduduknya Islam dan Jawa. Kampus hanyalah tempat singgah apalagi belakangan UGM lebih banyak didominasi mahasiswa Pulau Jawa. Di kelasnya, hampir separuh mahasiswa, adalah penduduk DIY dan Jateng. Media, bagaimana pun adalah arena kontestasi, termasuk di dalamnya mempertentangkan identitas sebagai bagian dari kekuasaan. Di televisi, olok-olok pada mereka yang punya logat kental Ngapak dimulai, juga pada mereka yang Madura, Batak, dan stigmatisasi pada mereka yang berkulit gelap dari belahan Indonesia Timur. Termasuk stigmatisasi pada para difabel. Suatu malam, yang saya lupa tepatnya, dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji seorang pemeran denga...