source: freepik |
Tulisan ini sudah didraft dari entah kapan, saking
lamanya. Karena nggak beres-beres yaudahlah memaksakan diri selesai biar bisa
jadi ucapan selamat ulang tahun untuk aku sendiri.
Dua jam lagi aku akan ulang tahun kedua puluh lima. Dari
dulu, selalu berandai-andai gimana rasanya jadi dua lima tahun. Selalu bertanya-tanya
akan jadi apa aku di usai dua lima. Karena dari dulu mikirnya dua lima adalah
gerbang ke arah mapan dalam hidup, udah nemu career path dan udah punya gandengan yang bisa diajak serius (somehow aku masih mengamini kalau
pernikahan adalah hal yang bikin kita dianggap benar-benar dewasa, milestone kemapanan meskipun di sini
lain aku against banget sama yang
buru-buru nikah untuk sekadar masuk standar society,
if it makes sense). Ya tapi nggak semudah itu juga Ferguso. Di hidupku,
justru perjalanan ke dua lima sungguhlah kacau, cerita tentang kehilangan
sambung-menyambung, self pity yang
nggak habis-habis, sempat nganggur lama dan bingung dengan arah karir yang mau
kujalani. Tapi, dalam segala kekacauan itu, justru aku nemu banyak hal yang
bisa dijadikan pegangan untuk hidupku ke depan.
Habis ulang tahun yang kedua empat lalu, aku sempat
berdoa semoga aku segera menemukan kemapanan dalam karir dan percintaan hahaha.
“Ya Allah,
semoga nanti usia dua lima aku udah settle down.”
“Kamu mau
settle down dari hidup yang setiap hari tidak kamu syukuri, dari pekerjaan yang
setiap hari kamu keluhkan, dari pagi yang tidak lagi kamu sambut dengan antusias?
Mau settle down yang kayak gimana hmm? Udah nih tak kasih cobaan kamu
pikir-pikir lagi lah,” gitu balas Allah kayaknya.
Ada banyak banget pelajaran yang kita lewatkan ketika
rasa hati sedang bungah, ada banyak pelajaran penting yang hanya bisa kita
tangkap ketika ada musibah. Ah, aku sendiri ragu, yang mana sih sebenarnya
musibah, toh senang atau sedih keduanya adalah ujian yang datangnya bergiliran
saja. So here we go.
1.
Hidupku
tanggung jawabku
Ini bukan hanya soal nafkah. Bukan hanya setelah
lulus sekolah harus bisa menghidupi diri sendiri karena malu kalau masih minta
orang tua. Mencari nafkah, bekerja, mengaktualisasikan diri tentu iya, obviously. Tapi bukan hanya itu. Yang kumaksud
dengan hidupku tanggung jawabku ini termasuk emosiku tanggung jawabku,
ekspektasiku juga tanggung jawabku, pilihan-pilihanku tanggung jawabku juga.
Dengan memahami ini, rasanya jadi jauh lebih mudah
untuk tetep kalem dan lebih cepat mencari jalan keluar kalau ada masalah
dibanding berlama-lama berkubang dalam overthinking
yang mengarah pada self pity.
2.
Bersosialisasi
itu mungkin susah dan merepotkan tapi perlu
Aku selalu punya masalah dengan kemampuan
bersosialisasi, bahkan kemampuan bersosialisasi yang kurang ini sudah ditandai
oleh guruku zaman masih TK. Sudahlah memang kurang mampu bersosialisasi, aku
juga insecure dengan kondisiku dan berbagai kondisi lain yang bikin aku males
banget bersosialisasi kalau nggak perlu. Sampai aku “mengasingkan diri” ke
Jakarta dan mulai menerima all the flaw
that I have, menerima bahwa no one is
perfect, mulai jadi lebih nyaman untuk bersosialisasi.
Puncaknya, ketika Bapak berpulang. Betapa banyak
bantuan yang kami sekeluarga terima. Kami kan merantau ke Jogja, keluarga besar
di Ungaran, Bapak meninggal di Jogja dikebumikan di Ungaran tapi tetangga di
Jogja hampir semua menyalatkan Bapak, mengantar Bapak ke Ungaran. Keluarga besar
yang selama ini aku males-malesan untuk nimbrung ngobrol basa-basi mereka semua
yang membantu kami. Di titik itu, aku janji sama diriku sendiri untuk lebih
berusaha bersosialisasi karena pada akhirnya aku butuh disalatkan, aku butuh diantar
ke liang lahat, aku mau keluarga yang kutinggalkan mendengar “Linggar orang
baik, insyaAllah dia baik-baik saja di sana,” sebagai penghiburan dari para
pelayat. Nggak selamanya aku sehat dan bisa melakukan segala sesuatunya
sendiri.
3.
Mengelola
keuangan
Bisa mencari uang sendiri sudah, lalu uangnya buat
apa? Ini PR banget sih, karena pengennya tetap hidup senang, bisa belanja
sekali-kali, tetap bisa travelling dan punya aset yang tumbuh. Belum nemu rumus
yang cocok sih. Tujuan finansial yang aman sejauh ini baru dana darurat aja,
masih buanyak milestone financial yang harus dikejar. Semangat kerja!
4.
Menikah
itu...
Pertanyaan kapan nikah mulai menjadi default pertanyaan yang selalu kujawab
dengan template, “Kalau nggak Sabtu
ya Minggu.” Somehow, aku melihat pertanyaan ini sebagai basa-basi
dan akan kutanggapi dengan sama basinya, nggak perlu dipikir dan dimasukkan ke
hati.
Dulu, sempat pengen sih nikah muda tapi Allah tahu
kayaknya kalau itu hanya keinginan impulsif tanpa ilmu jadi sampai sekarang
belum dikasih. Tapi dikasih waktu buat belajar. Makin belajar makin sadar kalau
nikah nggak sesederhana itu, apalagi aku pengen punya anak, parenting lebih
susah lagi. Aku percaya sih jodoh sudah ditentukan, kalau ilmunya harus cari
sendiri. Jadi daripada mikir jodohnya ada di mana, siapa, mending waktu dan
pikirannya dipakai untuk belajar. Pelajaran paling pertama adalah mencintai dan
menghargai diri sendiri. Karena gimana kita bisa mengharapkan orang lain cinta
dan menghargai kita kalau kitanya nggak cinta sama diri sendiri. Dan lagi,
gimana kita bisa mencintai orang lain kalau kita nggak bisa mencintai diri
sendiri.
Mostly, we accept the love we think we deserve.
5.
Kehilangan
itu niscaya
Tahun ini aku banyak banget kehilangan. Kehilangan
paling melubangi hati tentu saja berpulangnya Bapak. Meskipun melubangi hati, kehilangan
juga jadi semacam wake up call buatku
untuk nggak sibuk menghitung apa yang aku nggak punya tapi abai pada yang aku
punya dan baru sadar ketika sudah pergi. Selama ini mungkin aku nggak pernah
menghitung nikmat sehat, punya keluarga utuh, punya pekerjaan, punya sahabat,
masih dikasih umur dan seterusnya yang nggak bisa dihitung banyaknya. Ketika keluargaku
nggak utuh lagi baru sadar oh iya, itu nikmat. Ketika dapat kabar Putri
berpulang, aku merasa ditampar karena masih sering mengeluh soal kerjaanku yang
keliatannya “belum seberapa” dibanding teman-teman seangkatan lain. Ini loh
Putri, temen seangkatanmu, sudah berpulang, kamu harus bersyukur masih dikasih
kesempatan untuk hidup. Nggak usah membandingkan diri sendiri dengan orang
lain.
Menyadari kehilangan itu niscaya, rasanya aku harus
lebih banyak bersyukur dan menjaga apa yang aku punya. Menikmati momen
sebaik-baiknya. Karena lain kali, belum tentu tersedia untuk kita.
Selamat ulang
tahun kamu, terima kasih sudah bertahan hingga sejauh ini. Tahun yang berat ini
semoga jadi pengingat jika nanti ada hari-hari yang berat lagi. Bahwa kamu pernah melewatinya dengan selamat, kamu
pasti bisa melakukannya sekali lagi. Hari yang berat akan berlalu sebagaimana
hari yang menyenangkan juga akhirnya berlalu.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)