Langsung ke konten utama

Dialog Dini Hari #3





“Kak, kalau aku nikah tahun depan kamu dateng nggak?”

“Dateng, kamu nikah besok pun aku dateng insyaallah.  Emang mau tahun depan, apa besok?”

“Emangnya kalau besok mau sama siapa nikahnya?”

“Sama jodoh yang dikasih Gusti lah.”

“Jodoh tu semacam dua orang yang diciptakan untuk hidup bersama dan memiliki partikel yang cocok dalam tubuh mereka, yang selalu ada selama nyawa ada nggak sih?”

“Definisi opersional jodoh tu apa? Harus menikah nggak sama jodoh?”

“Hmm, nggak tahu.”

“Definisinya dulu lah. Apakah orang yang kita suka udah masuk jodoh? Atau harus sampai nikah? Menurutku, jodoh tu setelah akad. Jadi ya harus nikah. Atau gampangnya, jodoh adalah orang yang kita nikahi. Dengan definisi itu aku sih merasa nggak percaya dengan teorimu di depan tadi. Jodoh berarti kerja bagiku, yang butuh kerja dari kedua belah pihak untuk saling mencocokan diri, karena orang tu terus berubah, kalau pasangan tumbuh kitanya nggak, bisa jadi nggak cocok lagi. Saling memahami bahasa cinta masing-masing. The one who can grow and adapt with us for the rest of his life.”

“I see. Mungkin nggak sih jodoh kita datang di waktu yang nggak tepat? Kita mau dia, dia mau kita tapi waktunya nggak tepat.”

“Salah satu tulisan di Linimasa bilang timing is a bitch. Ya, bisa aja tapi berarti bukan jodoh karena seperti defenisiku soal jodoh tadi setelah akad. Kalau nggak nyampe akad berarti bukan jodoh. Tergantung definisimu. Tapi aku bisa relate sih, aku pernah menyimpan nama berharap semesta memberi kami kesempatan kedua, tapi ternyata nggak ada lain kali bagi kami.”

“Atau dalam kasusku, ada orang yang suka sama aku tapi akunya nggak suka. Aku jahat nggak sih?”

“Susah ya, nggak ada yang suka susah, ada yang suka tapi kitanya harus nolak juga nggak enak. Hahaha. Perasaan nggak sukamu sih nggak jahat tapi gimana kamu mengekspresikan ketidaksukaanmu bisa jadi jahat.”

“You know me so well kak hiks. But, if only mas-mas ITB ngajak balen ketoke aku mau sih.”

“Jadi, semua ini tentang apa kalau masih ngarep mas-mas ITB?”

“Nggak tahu, hiks.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Stand Up Comedy: Menertawakan Diri Sendiri*

Ia anak rumahan. Meski aktif di sebuah unit kegiatan mahasiswa, perputaran kehidupannya memang lebih banyak di rumah. Dari umur empat puluh hari hinggga kini lebih dari 20 tahun, ia tinggal di rumah. Di dalam rumah, tak ada banyak identitas yang bisa ditemui. Ditambah lagi, ia tinggal di desa yang punya komposisi nyaris homogen, semua penduduknya Islam dan Jawa. Kampus hanyalah tempat singgah apalagi belakangan UGM lebih banyak didominasi mahasiswa Pulau Jawa. Di kelasnya, hampir separuh mahasiswa, adalah penduduk DIY dan Jateng. Media, bagaimana pun adalah arena kontestasi, termasuk di dalamnya mempertentangkan identitas sebagai bagian dari kekuasaan. Di televisi, olok-olok pada mereka yang punya logat kental Ngapak dimulai, juga pada mereka yang Madura, Batak, dan stigmatisasi pada mereka yang berkulit gelap dari belahan Indonesia Timur. Termasuk stigmatisasi pada para difabel. Suatu malam, yang saya lupa tepatnya, dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji seorang pemeran denga...