Tulisan ini rencananya akan dipublikasikan untuk memperingati ulang
tahunku yang ke-25, dua setengah bulan lagi. Tapi rasanya gatal sekali ingin
menuliskan, takut keburu lupa pada sensasinya.
Rencananya, di umur ke-25 ini aku sudah menemukan jawaban atas
pertanyaan kenapa aku diciptakan. Pertanyaan ini sudah menghantuiku selama
setidaknya 3-4 tahun belakangan. Jawaban yang kuharapkan adalah aku tahu jelas
akan ke mana arah hidupku, punya pekerjaan yang bisa membuatku settle down,
punya hubungan romansa yang bisa diharapkan ke tahap yang lebih serius, bisa
memberikan lebih banyak untuk orang tua dan sekitar. Dan boom! Tahun ini aku
kehilangan dua hal yang kujadikan pijakan, bapakku dan pekerjaanku. Di tahun
yang kuharapkan menjadi tahun di mana aku akan settle down ternyata justru jadi
tahun di mana aku justru jungkir-balik ke titik nol lagi.
Meskipun demikian, aku masih hidup dan cukup waras untuk menulis dan
bercerita pada kalian.
Cerita soal bagaimana aku kehilangan bapak bisa dilihat di sini,
mungkin tulisan ini akan lebih banyak cerita bagaimana aku menghadapi
jungkir-balik meniti karir, yang tak kunjung kelihatan bentuk dan arahnya. Well,
soal karir sepertinya juga sering sekali kubahas di blog ini. Betapa aku struggling
dengan permasalahan ini. Terakhir aku menulis tentang bagaimana aku sudah
merasa lelah dengan pekerjaan namun berusaha menahan diri untuk tidak
mengirimkan surat pengunduran diri. Hingga akhirnya draft surat pengunduran
diri sudah kubuat sejak Januari kukirimkan juga kepada manajer dan HRD sebulan
setelah meninggalnya Bapak.
Bertubi-tubi ya?
Setelah ini mau kerja di mana tanya mas manajer dan mas COO. “Mau
break dulu Mas,” jawabku tanpa ragu. Terus terang aku capek banget kerja di
tempat sebelumnya. Jadi inilah kenapa meskipun beberapa teman dengan baik hati
dan penuh perhatian, setia mengirimkan lowongan pekerjaan namun aku nggak
bergeming. Memang belum pengen kerja lagi, mau istirahat, mau introspeksi dulu
berdasarkan pekerjaan yang sebelumnya kenapa bisa nggak cocok, mau ngobrol sama
diri sendiri memahami kebutuhanku dulu supaya nggak makin jauh nyasarnya.
Terus terang ini nggak mudah. Bagi orang seperti aku yang sejak kecil
terbiasa tertarget, hidupnya teratur dan jarang dijatuhkan oleh hidup. Berat,
berat sekali. Apalagi setiap ketemu orang selalu ditanya kerja di mana, karena
mereka pikir dengan segala catatan prestasi akademikku, mudah bagiku untuk
survive di dunia kerja, di mana pun aku berada. Ada banyak ekspektasi orang
yang kutanggung. Di titik terendah itu aku bodo amatlah sama orang lain, diriku
sendiri dulu.
Bagian tersulitnya adalah aku merasa gagal dan aku harus mengakui
bahwa aku gagal. Setelah melewati fase menerima kegagalan barulah aku bisa
mulai introspeksi apa yang kemarin kurang dan harus diperbaiki, menyiapkan lamaran,
mulai masukin lamaran-lamaran kerja.
Apakah aku menyesal tidak mengirim surat pengunduran diri lebih awal?
Hmm, nggak juga. Mungkin memang sudah begitu jalannya. Dengan mengirim
surat pengunduran diri di Bulan April aku tahu aku sudah berjuang sampai
mentok. Hingga di titik aku udah “kehilangan kebahagiaan menyambut hari baru”,
bangun pagi di hari kerja berat sekali. Dengan begitu ya udah aku nggak
penasaran lagi, udah nggak ada perasaan what if I do things better back then
because I have done my best tapi tetep nggak cocok.
Dan aku bisa sebahagia itu nganggur. Bangun dengan perasaan yang lebih
happy daripada mungkin 6 bulan terakhir. Masih belanja sesekali, kayak ya
nothing happens aja gitu. Terus mulai
rindu rutinitas gajian, mulai bosen di rumah, dari situ mulai nglamar kerja
lagi.
Setelah lamaran pertamaku kukirim aku menulis,
Terima kasih sudah mau melawan kemalasan dan ketakutan dalam dirimu sendiri untuk mulai apply kerjaan.
Salah satu cara tetap waras adalah selalu berterima kasih sama diri
sendiri. Di malam hari aku biasanya bikin review apa saja yang kulakukan hari
itu apakah sudah sesuai dengan rencanaku pada malam kemarin. Things to do for
tomorrow-nya juga bukan hal yang muluk-muluk sih, bahkan sebenarnya hanya hal-hal
kecil seperti salat dhuha, menyelesaikan target harian Duolingo, service motor,
nyuci motor hal-hal remeh-temeh lah pokoknya. Tapi perasaan senang bisa
menyelesaikan sesuatu itu yang mencegahku masuk makin dalam ke perasaan nggak
berguna. Selain itu, explore hal-hal baru, misalnya belajar Bahasa Jepang,
Bahasa Korea, belajar nggambar, olahraga dikit-dikit dan gabung di sebuah grup
untuk belajar agama. Sampai aku akhirnya menyadari kalau “hargaku” bukan hanya
di kemampuan finansial, mungkin secara finansial aku lagi stuck tapi aku tetap
mengembangkan diri dari sisi knowledge, mental dan fisik.
Besok hari pertamaku kerja di tempat baru. Segala hal bisa terjadi di
sini, baik maupun buruk. Yang bisa selalu kulakukan adalah berusaha
sebaik-baiknya dan mengelola ekspektasiku.
Mungkin, di titik ini aku sudah merasa lebih ringan menghadapi hidup. Ya
hidup memang terbuat dari serangkaian krisis dan pencapaian, nggak ada yang
baru dalam hal itu. Mungkin, di usiaku yang ke-25 aku belum menemukan jawaban
atas pertanyaan kenapa aku diciptakan, jika ekspektasiku masih seperti dulu. Namun
aku tetap punya peran di semesta ini, menjadi alasan Ibu untuk bangun pagi
setelah kehilangan Bapak, menjadi mentornya Hanum, menjadi temannya
teman-temanku, untuk sekarang itu cukup. Toh passion bukan segala-galanya, yang
penting dapur ngebul, aku tetap waras. Mungkin aku akan menemukannya di usia 25
lebih sebulan, atau sepuluh tahun lagi. Nggak apa-apa. Ini hidupku, ritmeku,
aku nggak pernah berkompetisi dengan siapa pun selain diriku sendiri.
Ternyata, setelah lewat fase ini aku merasa jauh lebih kenal diriku
dan menerima diriku sendiri, betapa pun tidak sempurnanya.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)