Kenapa perempuan biasanya lebih jahat kepada
sesamanya?
Pertanyaan yang acap muncul setiap kali seorang
perempuan dilecehkan dan perempuan lain justru dengan lebih jahat
menyalahkannya. Atas baju yang dikenakan. Atas sikapnya yang (dianggap terlalu) ramah. Atas apa
saja yang melekat pada dirinya. Atas apa saja yang dilakukannya. Pertanyaan
soal itu lebih sering muncul dibanding bertanya “kenapa masih ada saja
laki-laki yang melecehkan perempuan?”
Kalau perempuan diminta menutup tubuhnya agar tidak dilecehkan, laki-laki harus menutup apanya agar berhenti melecehkan?
Meskipun sebenarnya, korban pelecehan seksual bukan hanya
dialami oleh perempuan. Beberapa laki-laki juga mengalaminya.
Bahkan dalam kasus Agni beberapa waktu lalu, seorang
teman yang juga perempuan bisa bilang, “Tanpa dilecehkan pun, mereka sudah
salah karena tidur sekamar.”
Ya, mereka melanggar norma masyarakat. Ya, mereka
melanggar aturan KKN.
Tapi, apakah dengan begitu pelecehan bisa dibiarkan begitu saja? Kan mestinya nggak begitu. karena mereka tidur sekamar bukan berarti Agni sedang mengumpankan diri, demikian juga bukan berarti si lelaki berhak melecehkan karena ia adalah kucing yang melihat ikan asin. Apakah seorang pencuri yang kerampokan tidak berhak melaporkan
kasusnya kepada polisi? Apakah polisi yang menerima aduan dari pencuri ini
boleh bilang, “Sukurin, rasain tuh karma jadi pencuri.” Apakah kita boleh
menghakiminya demikian?
Seriously?!
Sebelumnya, dalam kasus Gitasav maupun Via Vallen juga
sama saja. Komentar warganet sesama perempuan bisa sangat jahat dan memojokkan.
Seorang perempuan menolak diinjak harga dirinya oleh laki-laki yang
melecehkannya dan perempuan lain menyalahkannya, memojokkan. Wow?
Rupanya, mendidik masyarakat Indonesia menyadari
pentingnya consent dalam hubungan seks masih panjang perjalanannya. Kekerasan
seksual bisa terjadi oleh orang yang tidak ada hubungan romansa, oleh pacar,
mantan pacar, bahkan oleh pasangan halal yang diikat pernikahan legal. Selama
tidak ada consent. Selama hanya satu pihak yang menginginkannya dan memaksakan
keinginannya pada pihak yang lain.
Lain soal lagi.
Momwar. Pernah dengar belum? Momwar nih kalau
diterjemahkan secara literal artinya perang antar ibu. Perang apa? Perang
argumentasi, mana yang lebih baik ibu bekerja atau ibu tinggal di rumah. Perang
argumentasi, ibu yang melahirkan secara sectio caesaria (SC) belum sah menjadi
ibu. Perang argumentasi, ASI eksklusif dan ASI+sufor. Dan lain-lain dan
seterusnya. Banyak banget topiknya.
Yang ribut siapa? Ya sesama ibu. Yang saling
menghakimi pilihan ibu lain. Atau bahkan sebagian bukan pilihan. Kenapa bukan
pilihan? Cara melahirkan kadang bukan pilihan, kadang memang harus SC karena
kondisi ibu dan bayi, karena akan mengancam keselamatan ibu dan bayinya jika
dipaksakan melahirkan secara normal.
Dan saling menghakimi ini bisa jahat banget. Aku
pernah mampir ke forum online untuk menggunjing ini, nggak sampai lima menit
kututup tabnya. Bisa sejahat itu ya kita.
Sebelum menjadi ibu, siapa yang sering banget
bertanya penuh perhatian,
“Kamu kok
gendutan?”
“Kamu kok sekolah terus, nanti kalau sekolahnya
ketinggian susah lho dapet jodohnya.”
“Kenapa belum punya anak? Jangan ditunda.”
“Ini anak pertamamu sudah besar lho, kapan mau diberi
adik?”
“Si A udah nikah, si B udah nikah, kamu kapan nyusul?
Tante doain semoga habis ini kamu.”
Atau, di lingkungan yang lebih kecil, kita para
anak-anak perempuan ini lebih sering nggak akur sama ibu atau bapak? Aku sih
lebih sering berantem sama ibu.
Menjadi perempuan di masyarakat yang masih sangat
patriarkis dan misoginis begini, sudahlah susah. Kenapa ditambah dengan saling
menghakimi bukannya saling berempati dan menjadi support system yang baik bagi sesama perempuan lain?
Kenapa perempuan bisa menjadi sangat jahat kepada
perempuan yang lain?
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)