“Are you happy?”
“Of course, I am. Sekarang jadi jauh lebih tenang, aku pelan-pelan mulai
semangat bangun pagi lagi sementara sebelumnya aku benci pagi, bangun, harus
kerja. Sampai di titik aku benci diriku sendiri karena masih mau stay padahal jelas-jelas
nggak sehat buat mentalku. Everything is getting better.”
“Glad to hear that. Bener juga sih. Di sini juga makin lama makin nggak
jelas. Sekarang Dia yang ada di titik itu. Males bangun. Masuk kantor jam 9.00
Dia baru bangun 8.30. So, gimana rasanya
pulang?”
“Hmm... nggak semengerikan yang kubayangkan sih. Tapi tentu saja banyak
yang berubah. Apalagi setelah Bapak nggak ada. Adaptasi lagi juga mau nggak
mau. But, everything is fine.”
“Masa sih kamu ngeri bayangin pulang ke rumah? Kukira kamu happy.”
“Kayaknya aku pernah cerita deh apa yang terjadi di rumah, di Jogja dan
kenapa akhirnya pengen pergi dari sini. Ternyata, waktu nggak akan menyembuhkan
luka yang mana pun, kecuali kita mengizinkan luka-luka itu diobati sih.
Akhirnya, aku harus menghadapi itu semua, menerimanya, hingga nanti bisa
berdamai. Semoga.”
“Ah, I see. Kamu ngapain aja dua bulan ini? Udah nglamar ke mana aja?”
“Uh. Aku benci pertanyaan keduamu , itu kayak kaset rusak yang
berkali-kali memutar hal yang sama. Aku mulai muak ditanya pertanyaan itu. Tapi
buatmu, aku akan jawab sekali lagi. Aku lebih banyak melamun, membaca dan
mikir-mikir aja. Rasanya aku belum siap untuk nglamar kerja lagi, sementara aku
sendiri belum tahu aku mau apa dalam hidupku.”
“Dan hasil membaca, merenung dan berpikir itu adalah?”
“Nggak semua hal harus kubagi sama kamu kan? Hahaha. Aku cuma mikir-mikir
lagi, mengenali siapa diriku, apa kebutuhanku, apa arti pencapaian dalam
hidupku, aku suka dikelilingi orang-orang yang seperti apa. Ya gitu lah, merumuskan
lagi hidupku dari awal. Karena aku merasa selama ini langkahku salah, atau
terasa kurang tepat aja, dan kupikir karena aku salah mengenali diriku
sendiri.”
“Kamu selalu rumit seperti biasa. Kenapa sih nggak dijalanin aja?”
“I’m trying to do so but in the end of the day I have to embrace myself
as it is. Adalah bagian dari menjadi aku untuk rumit kayak gini. Hahaha. Kamu
masih akan lama di Jakarta? Atau justru mulai kepikiran untuk stay for good di
Jakarta.”
“Mungkin masih lama tapi nggak lah kalau stay for good di sini. Masih
pengen balik. Tapi mau ngumpulin duit dulu buat beli tanah, bikin rumah dan
punya kos-kosan.”
“Hahaha, cita-citamu belum berubah rupanya. Aku dulu mikir kalau apa yang
kulakukan selama bertahun-tahun ini adalah merintis jalan untuk masa depan.
Kayak menyusun batu bata satu per satu untuk kemudian aku meliat bentuk
dinding, lalu lama-lama jadi rumah. Tapi ternyata hidupku nggak berjalan
seperti itu. Bata sudah kususun untuk kemudian kusadari kalau bentuknya nggak
cocok menurutku lalu bongkar dan it breaks my heart, actually. I’m trying to
embrace the pain. I’m trying to be in love with the process of building my
dream house. But, it is not easy at all.”
“How is your dream house look like? Have you figure it out during your
two months break?”
“Ya, I think the picture is getting clearer.”
“Good then. Mungkin karena kamu terbiasa hidup lempeng dan melihat
apa-apa di sekitarmu baik-baik saja, kamu jadi nggak ada gambaran bahwa hidup
yang normal memang jatuh bangun. Nggak perlu patah hati berkepanjangan ketika
kamu merasa gagal. Di dunia yang dihuni tujuh milyar manusia ini setidaknya ada
tujuh milyar kegagalan. Kegagalanmu adalah hal yang biasa, wajar dan lumrah.”
“Iya sih. Yang terpenting, I have learnt my lesson.”
“Nah iya. You have your picture of your dream house. You know how to
build it and the materials you need, right? So, what prevented you from making
it happen? Send your CV, get new job. Nggak semua tempat kerja dan bosnya sucks
kok. Dua bulan cukup lah buat overcome your fear and trauma maybe.”
And eventually, I need almost seven months to overcome the fear.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)