Langsung ke konten utama

Dialog Dini Hari #4





“Are you happy?”

“Of course, I am. Sekarang jadi jauh lebih tenang, aku pelan-pelan mulai semangat bangun pagi lagi sementara sebelumnya aku benci pagi, bangun, harus kerja. Sampai di titik aku benci diriku sendiri karena masih mau stay padahal jelas-jelas nggak sehat buat mentalku. Everything is getting better.”

“Glad to hear that. Bener juga sih. Di sini juga makin lama makin nggak jelas. Sekarang Dia yang ada di titik itu. Males bangun. Masuk kantor jam 9.00 Dia baru bangun 8.30.  So, gimana rasanya pulang?”

“Hmm... nggak semengerikan yang kubayangkan sih. Tapi tentu saja banyak yang berubah. Apalagi setelah Bapak nggak ada. Adaptasi lagi juga mau nggak mau. But, everything is fine.”

“Masa sih kamu ngeri bayangin pulang ke rumah? Kukira kamu happy.”

“Kayaknya aku pernah cerita deh apa yang terjadi di rumah, di Jogja dan kenapa akhirnya pengen pergi dari sini. Ternyata, waktu nggak akan menyembuhkan luka yang mana pun, kecuali kita mengizinkan luka-luka itu diobati sih. Akhirnya, aku harus menghadapi itu semua, menerimanya, hingga nanti bisa berdamai. Semoga.”

“Ah, I see. Kamu ngapain aja dua bulan ini? Udah nglamar ke mana aja?”

“Uh. Aku benci pertanyaan keduamu , itu kayak kaset rusak yang berkali-kali memutar hal yang sama. Aku mulai muak ditanya pertanyaan itu. Tapi buatmu, aku akan jawab sekali lagi. Aku lebih banyak melamun, membaca dan mikir-mikir aja. Rasanya aku belum siap untuk nglamar kerja lagi, sementara aku sendiri belum tahu aku mau apa dalam hidupku.”

“Dan hasil membaca, merenung dan berpikir itu adalah?”

“Nggak semua hal harus kubagi sama kamu kan? Hahaha. Aku cuma mikir-mikir lagi, mengenali siapa diriku, apa kebutuhanku, apa arti pencapaian dalam hidupku, aku suka dikelilingi orang-orang yang seperti apa. Ya gitu lah, merumuskan lagi hidupku dari awal. Karena aku merasa selama ini langkahku salah, atau terasa kurang tepat aja, dan kupikir karena aku salah mengenali diriku sendiri.”

“Kamu selalu rumit seperti biasa. Kenapa sih nggak dijalanin aja?”

“I’m trying to do so but in the end of the day I have to embrace myself as it is. Adalah bagian dari menjadi aku untuk rumit kayak gini. Hahaha. Kamu masih akan lama di Jakarta? Atau justru mulai kepikiran untuk stay for good di Jakarta.”

“Mungkin masih lama tapi nggak lah kalau stay for good di sini. Masih pengen balik. Tapi mau ngumpulin duit dulu buat beli tanah, bikin rumah dan punya kos-kosan.”

“Hahaha, cita-citamu belum berubah rupanya. Aku dulu mikir kalau apa yang kulakukan selama bertahun-tahun ini adalah merintis jalan untuk masa depan. Kayak menyusun batu bata satu per satu untuk kemudian aku meliat bentuk dinding, lalu lama-lama jadi rumah. Tapi ternyata hidupku nggak berjalan seperti itu. Bata sudah kususun untuk kemudian kusadari kalau bentuknya nggak cocok menurutku lalu bongkar dan it breaks my heart, actually. I’m trying to embrace the pain. I’m trying to be in love with the process of building my dream house. But, it is not easy at all.”

“How is your dream house look like? Have you figure it out during your two months break?”

“Ya, I think the picture is getting clearer.”

“Good then. Mungkin karena kamu terbiasa hidup lempeng dan melihat apa-apa di sekitarmu baik-baik saja, kamu jadi nggak ada gambaran bahwa hidup yang normal memang jatuh bangun. Nggak perlu patah hati berkepanjangan ketika kamu merasa gagal. Di dunia yang dihuni tujuh milyar manusia ini setidaknya ada tujuh milyar kegagalan. Kegagalanmu adalah hal yang biasa, wajar dan lumrah.”

“Iya sih. Yang terpenting, I have learnt my lesson.”

“Nah iya. You have your picture of your dream house. You know how to build it and the materials you need, right? So, what prevented you from making it happen? Send your CV, get new job. Nggak semua tempat kerja dan bosnya sucks kok. Dua bulan cukup lah buat overcome your fear and trauma maybe.”


And eventually, I need  almost seven months to overcome the fear.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup