Langsung ke konten utama

Kenapa Masih Bertahan (di Pekerjaan)?

Suatu hari, tak lama setelah lulus sebagai sarjana, beberapa kakak angkatan yang sudah bekerja sedang berkumpul dan memberiku selamat. Kami ngobrol lalu sampailah aku pada pertanyaan, "Seneng nggak mas sama kerjaan yang sekarang?" Dan mereka cuma tertawa. Waktu itu, aku masih punya keyakinan bahwa pekerjaan harus sesuatu yang bikin aku seneng.

sumber: pixabay


Ternyata mencari pekerjaan itu tidak mudah. Aplikasi sudah dikirimkan ke berbagai perusahaan dan posisi-posisi yang aku kira bisa membuatku senang selama nanti puluhan tahun bekerja. Sekadar diterima bekerja saja sudah sulit apalagi harus menyaring mana yang akan memberikan kita kesenangan.

Kesalahan lainnya adalah aku tidak punya definisi yang jelas kesenangan macam apa yang aku incar dalam bekerja. Secara samar, kesenangan di benaku adalah bisa membuatku merantau, gaji yang kira-kira bisa digunakan sedikit foya-foya, masih ada sisa untuk ditabung dan berbagi pada keluarga.

Sampai kemudian membuatku singgah kedua pekerjaan belakangan yang ya boleh jadi memenuhi syarat kesenangan versi itu. Tapi waktu berjalan, ada banyak ketidaknyamanan baru yang terjadi. Hal-hal yang waktu masih hijau, fresh graduate blas nggak ada bayangan, bahwa kesenangan bukan melulu soal  besarnya gaji. Iya sih, kita butuh biaya hidup, tabungan nikah, tabungan KPR, tabungan pendidikan, tabungan hari tua, biaya sosial, biaya memenuhi hobi dan seterusnya yang daftarnya nggak akan ada habisnya, yang semuanya butuh duit. Nggak munafik juga. Tapi ada hal-hal macam kepastian bekerja, lingkungan kerja yang membebaskan ibadah, lingkungan kerja terkait temen kerja, terkait atasan, terkait pride terhadap pekerjaan kita, fleksibilitas waktu, panjang jam kerja, banyaknya cuti, banyak detail lain yang penting.

Ada masanya aku nyaris "menyerah" dengan pekerjaan karena rasanya terlalu banyak waktu yang kuhabiskan di kantor. Sekadar mau telfon dengan keluarga atau sahabat aja susah minta ampun ngatur waktunya. Itu baru telfon. Apalagi ketemu. Dan ada banyak masa lain yang membuatku nyaris "menyerah" dengan pekerjaan karena alasan yang berbeda-beda.

Sampai datang suatu masa di mana aku merasa tidak berharga dalam pekerjaanku. It was the hardest part, honestly. Lalu di tengah kegalauan luar biasa, aku nonton pertunjukan Teater Koma. Waktu itu, pertama kalinya aku nonton teater. Sambil nonton tiba-tiba berkelebat pemikiran, "Untuk bikin   pertunjukan yang bagus memang nggak semua orang bisa jadi pemeran utama. Yang penting, seneng nggak sih dengan peran kita? Bangga nggak memerankan itu? Kalau enggak, mungkin mencari panggung dan kelompok teater lain menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan." 

Meski mencari panggung dan kelompok teater lain juga perlu banyak pertimbangan. Baik dari sisi rasa maupun logika. Rasa nggak nyaman pada satu sisi apakah sangat mendesak sehingga sampai nggak bisa lagi merasakan sisi nyamannya. Apakah sudah ada cukup simpanan jika harus istirahat di rumah beberapa bulan? Atau misalnya kembali ke status probasi yang tidak menerima full gaji dan benefit? Gimana kondisi keuangan keluarga? Banyak banget deh pertimbangannya.

Sampai akhirnya muak sendiri dengan segala pembenaran, dengan pekerjaan, dan diri sendiri. Hahaha. Miris ya?

Dan kemudian sekarang versi senangku berubah, selain yang 2 di atas, aku mau punya pekerjaan yang membuatku diakui (kebutuhan ego yang low self esteem, perlu pengakuan orang lain), membuatku bangga, dengan jam kerja standar.

Mungkin besok definisi senangku bisa berubah lagi. Ya nggak apa-apa. Aku tumbuh setiap hari, terpapar oleh banyak hal baru setiap hari, dan mungkin akan ada saatnya harus berani memilih keluar dari zona nyaman demi kebahagiaan diri sendiri. Nggak perlu merasa bersalah meninggalkan siapa pun dan apa pun.

Atau kita sudah menjelma robot yang terhimpit cicilan dan tagihan sampai nggak ada lagi ruang untuk bertanya, "Bahagiakah saya dengan pekerjaan ini?" Semoga tidak ya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup