Bapak berpulang sudah 11 hari ketika tulisan ini pertama kali diketik. Meski Hanum dan beberapa saudara sudah jauh-jauh hari mengabadikan perasaan mereka kehilangan Bapak dalam tulisan tapi aku baru sanggup sekarang. Mengakui kenyataan: Bapak telah berpulang ke sebenar-benarnya rumah.
Beberapa
hari lalu, aku masih berharap bangun dengan mendapati whatsapp dari Bapak “Yas, tangi. Salat dhisik.” Tapi ternyata
hal itu tidak pernah terjadi. Beberapa hari kemarin, aku bangun dengan
mendapati ibu yang menangis, dilanjutkan dengan malam-malam yang menyebut nama
Bapak dalam tahlil bersama tetangga dan saudara terdekat. Secepat ini aku
menahlilkan Bapak, mengirim Yasin pada Bapak.
Tapi ya sudah. Bapak sudah sehat, tenang dan bahagia di sana. Berjalan setapak lebih dekat kebahagiaan terbesarnya: bertemu Allah dan Baginda Rasul Muhammad SAW. Yang bisa kulakukan sekarang adalah mendukung perjalanan Bapak pada kebahagiaan tersebut: mendoakan beliau, sesering dan sebaik mungkin.
Soal kepergian Bapak, merunut-runutnya, mengingat tiap detailnya aku sudah bisa bercerita dengan lancar tanpa menangis. Tapi mengikhlaskan hal-hal yang kurencanakan akan kulakukan bersama Bapak rasanya belum sanggup, atau sederhana mengikhlaskan ritual kebersamaan kami. Egois ya?
Seperti kemarin, setelah selesai pengajian 7 hari berpulangnya Bapak, aku akan kembali ke Jakarta. Setelah setahun tinggal di Jakarta, rasanya baru sekali ini aku ke stasiun tidak diantar Bapak. Dan berakhir mrebes mili di depan gerbang Stasiun Tugu. Atau sebaliknya saat pulang ke Jogja tak akan ada lagi whatsapp dari Bapak ketika kereta sudah sampai Purworejo atau Kutoarjo bahwa beliau sudah menunggu di depan stasiun, keretaku terlambat datang sehingga Bapak kerap kali harus menunggu. Setelah itu, kami beli gudeg dan lupis di ujung Jalan Bumijo. Sesampainya di rumah, kami berduet menggoda ibu sampai beliau marah-marah. Lalu esok harinya, Bapak menyetel pengajian Kyai Anwar Zahid dari radio keras-keras supaya aku lekas bangun dan salat subuh. Jika tak juga bangun sampai pukul 5.30 maka kamarku akan digedor-gedor, selesai aku salat Bapak akan melakukan introgasi bagaimana salatku selama di Jakarta. Dilanjutkan kultum yang agak marah-marah. Agak siangan, biasanya sebelum berangkat kerja Bapak akan berkata, “Nek koyo ngono salatmu ning ngomah mending ra usah kerjo ning Jakarta. Jangan-jangan ning kana kowe ra tau salat. Wis ana rencana arep pindah kerjo urung?” Kalimat yang diulang-ulang tiap kali aku pulang.
___
Kami terus terang tak banyak ngobrol. Bapak sibuk bekerja baik ngantor maupun nyawah di sela-sela itu, beliau mendengarkan pengajian, mengaji, nongkrong di rumah Pak Huri, makan-makan bersama Pak Sarwadi, badminton sesekali, dan mengantar ibu ke mana-mana. Lebaran lalu kalau tak salah ingat, kami duduk berdua di sofa ruang tamu rumah Mbah Kakung. Kami membahas sesuatu yang terjadi di antara kami bertahun-tahun lalu, bercerita tentang sudut pandang kami masing-masing. Sesuatu ini di satu sisi membuatku tahu betapa bapak sangat sayang padaku dan karenanya ingin menjagaku dengan caranya.
Lebaran lalu Bapak memintaku membelikan beliau baju koko, satu untuk beliau satu untuk Mbah Kakung. “Yas, munine ning Tanah Abang ki klambi murah-murah. Bapak tukoke koko 1 putih, lengen pendek. Mbah Kakung siji, tapi lengen dawa,” kata Bapak waktu itu. Foto-foto terakhir Bapak mengenakan baju koko itu Lebaran lalu, sampai sekarang masih sering kutangisi.
Lebaran lalu, Bapak juga menyampaikan “deadline”nya terkait
pernikahanku.”Yas, nek 2 tahun meneh
mantu Bapak wis siap. Nek kowe piye Bu?” Dan aku cuma ketawa-ketawa geje
menanggapi kata-kata Bapak waktu itu. Pertama kalinya Bapak menyinggung soal
relationship statusku, sekaligus terakhir kalinya.
---
Rencananya, aku pulang ke Jogja tanggal 16 Maret kemarin. Lalu,
aku pengen mengajak Bapak beli sepatu. Bapak suka sepatu. Dulu, mungkin Bapak
harus beli sepatu diskonan demi menebus biaya sekolahku atau membangun rumah
kami. Aku pengen sekali bisa membelikan sepatu dan celana impian Bapak, biar
Bapak pilih sendiri mana yang beliau inginkan. Di kepulanganku ini, aku pengen
membicarakan lebih lanjut rencana piknik sekeluarga yang sempat aku utarakan
beberapa bulan sebelumnya. Merayakan kebebasan waktu Bapak setelah pensiun
bulan April. Tapi dua pekan sebelum rencana itu terwujud, Bapak sudah
berpulang.
Tahun-tahun ini aku membayangkan masih bisa memberikan
apa-apa yang dulu tak sempat Bapak beli sendiri karena mesti mengalah pada
kebutuhan sekolahku dan Hanum atau pada kebutuhan keluarga. Mungkin sepatu,
celana, raket, liburan, apa pun. Tapi nyatanya sekarang yang bisa kuberikan
pada Bapak hanya sebaris doa.
---
Bapaku, sebagaimana sebagian besar bapak-bapak di sekitarku
tidak membiasakan diri mengekspresikan cintanya pada anak-anak dengan hangat
seperti mencium dan memeluk. Dan aku nggak pernah protes untuk itu, karena
mungkin aku sama tidak ekspresifnya.
Aku ingat pertama kali belajar naik sepeda dengan Bapak. Di
kebon bambu sebelah barat rumah kontrakan. Bapak melepaskan pegangannya dan aku
sukses tercebur dalam sekam bambu yang membuat mukaku menghitam.
Setiap pagi, Bapak menyapu halaman samping timur rumah yang
ada pohon sawonya. Tahu aku mengumpulkan biji sawo untuk main dakon, Bapak akan
menyisihkan sawo-sawo dan membiarkanku memunguti bijinya.
Bapak yang “tega” membiarkan aku naik sepeda ke sekolah yang
jauhnya sekitar 4 km dari rumah, nyaris tak peduli panas atau hujan. Bapak yang
“tega” membiarkanku naik bis pulang-pergi sekolah sejak SMP, memberikan
peraturan tidak boleh nelfon minta jemput kalau belum nunggu bis minimal 2 jam.
Bapak yang tidak pernah ngganduli ke mana pun aku ingin pergi, tidak banyak
komplain ketika aku pulang malam bahkan pagi sekali pun. Bapak yang selalu
percaya padaku. Bapak yang mengintip ke ruang tamu tiap kali aku dan seorang
teman lelaki duduk berdua.
Bapak yang membentukku. Aku harus kuat karena aku jadi orang
pertama yang diberi tahu oleh dokter bahwa segala usaha untuk menolong Bapak
tidak berhasil Bapak harus pulang. Aku harus ikhlas. Aku harus mengabarkan pada
sanak-keluarga. Aku yang harus mengabarkan pada beberapa teman Bapak. Aku yang
harus berkoordinasi dengan tetangga dan beberapa orang lain untuk penghormatan
dan pemakaman Bapak. Bapak tahu aku kuat dan berharga.
Bapak yang mencuci piring bekas makannya sendiri, Bapak yang
mencuci bajunya sendiri, Bapak yang minta tolong memasukan benang ketika akan
menjahit bajunya yang robek atau kancingnya lepas. Bapak yang nggak pernah
menuntut diladeni hanya karena beliau satu-satunya laki-laki di rumah. Bapak
yang setia antar-jemput aku hingga sebesar ini. Bapak yang selalu bilang,
“kehormatan lelaki adalah bekerja” dan begitulah beliau menjadi lelaki paling
pekerja keras yang kukenal. Bapak juga menunjukkan bagaimana menjadi lelaki. Beliau
membentuk figur sosok laki-laki idamanku. Dan begitulah, Bapakku sudah pulang pada
sebenar-benarnya rumah. Ini usaha kecil untuk tidak pernah melupakan Bapak,
menuliskan Bapak.
Bagi teman-teman yang membaca tulisan ini, mohon
keikhlasannya untuk turut mendoakan Bapak. Al-fatihah untuk Bapak Adam Makno bin
Suyatun. Terima kasih.
Ibu: “Yas, nek nyapu
sing resik. Ngko bojomu brengosen, brewokan lho.”
Aku: “Bapak brengosen
yo tetep ganteng.”
Ibu: ...
Pejaten Barat-Pela Mampang
15-31 Maret 2018
aku nangis bacanyaaaa :'(((((
BalasHapustetap kuat ya lung... bapak sudah bahagia dan amat sangat sehat sekarang...
kmu juga harus jaga kesehatan
Maaf baru bales nggik. Terima kasih ya apresiasinya utk tulisanku. It means a lot. *sending virtual hug*
Hapus