Sudah tiga abad Giriloyomenekuni usaha batik tulis. Regenerasi awalnya dilakukan mengalir saja. Kini, pemerintah mulai menaruh perhatian.
Seorang perempuan berjilbab
coklat dan baju dengan warna senada sedang sibuk meniupi canting. Usianya sekitar 40 tahun. Di hadapnya
kain putih dengan berbagai motif batif batik terbentang. Ia mengisi motif truntum dengan
titik-titik di atas kain sepanjang satu meter itu. Beberapa motif yang lain
telah selesai. Namanya Imaroh. Bersamanya, tujuh perempuan lain juga tengah
membatik.
Mereka duduk di atas dingklik kecil, melingkar. Di depannya,
kain putih membentang, kompor dan wajan kecil tempat malam dilelehkan. Mereka tergabung dalam Kelompok Batik Sri Kuncoro.
Selain Sri Kuncoro terdapat empat belas kelompok pengrajin lain di Desa
Wukirsari, Imogiri, Bantul. Mereka tersebar di tiga dusun yaitu Giriloyo,
Cengkehan, dan Karang Kulon.”Terdapat 600 kepala keluarga yang menjadi
pengrajin batik tulis,” tutur Nur Ahmadi, ketua paguyuban kelompok pengrajin
batik. Selain tergabung dalam kelompok, ada juga pengrajin yang memiliki usaha
individual, seperti Sungsang dan Kusumo yang berdiri dekat Sri Kuncoro.
Dalam situs resminya, batikgiriloyo.com, disebutkan
batik tulis mulai menghidupi Giriloyo sejak abad ke-17. Jejak kedekatan
Giriloyo dengan kraton juga terlihat dari beberapa rumah yang masih bergaya
joglo. Imaroh bercerita, awal perkenalan warga Giriloyo dengan batik terjadi
ketika Kraton Jogja membangun makam raja dekat desa itu. Dulu, para lelaki
Giriloyo merupakan abdi dalem kraton yang bertugas menjaga makam. Sementara
itu, untuk memberdayakan kaum perempuan di Giriloyo, kraton meminta mereka membatik.
Pada awal perkembangannya, pembatik Giriloyo hanya membubuhkan malam sesuai motif. Batik mentah ini
dikirim ke pusat kota Jogja untuk proses pewarnaan hingga menjadi kain siap
pakai. Baru setelah terjadinya gempa Bantul 2006, kegiatan membatik di Giriloyo
mulai dilirik pemerintah dan pemangku kebijakan lain untuk dikembangkan dengan
serius. Kini, Giriloyo bisa memproses batik hingga kain jadi bahkan ada yang
hingga menjadi pakaian siap pakai.
Di Sri Kuncoro misalnya, seluruh unit untuk
memproduksi batik ada. Mulai dari tempat membuat pola hingga terakhir ruang
pajangan di mana kain yang jadi dipamerkan. Memasuki rumah itu, di teras
beberapa orang perempuan sedang mencanting. Ruangan di belakangnya difungsikan
untuk proses pewarnaan. Setelah diwarnai, kain itu diangin-anginkan supaya
warnanya meresap. Tambang dan jepitan kain warna-warni memenuhi ruangan ini. Di
bagian paling belakang, terdapat tungku dan beberapa panci besar untuk nglorot, yang merupakan proses terakhir
pembuatan batik. Batik yang telah selesai perlu direbus untuk melepaskan malam yang menempel.
Hingga kini, Giriloyo masih mempertahankan teknik
tulis dan juga motif klasik khas Kraton Jogja. “Kami ingin membangun brand sebagai sentra batik tulis,” kata
Nur Ahmadi. Motif khas kraton jumlahnya sangat banyak. Di antaranya, truntum,
parang, sido asih, dan sido mukti. Masing-masing motif memiliki nilai
filosofisnya sendiri. Misalnya, truntum berarti menuntun. Motif ini biasanya
dipakai orang tua mempelai pengantin, sebagai tanda telah menyelesaikan tugas
menuntun anak mencapai gerbang kehidupan yang baru. Ciri khas batik gaya Jogja
juga terlihat dari penggunaan warna dominan coklat, biru, dan putih.
Secara turun-temurun perempuan Giriloyo membatik. Regenerasi
pembatik di Giriloyo, berjalan begitu saja. Imaroh mengaku tidak pernah belajar
secara khusus kepada orang tuanya cara membatik. “Hanya karena sering melihat
jadi bisa,” sambungnya. Seni membatik mengalir di darah penduduk Giriloyo.
Sekarang, pemerintah kabupaten mulai menyadari pentingnya regenerasi dengan
memasukkan aktivitas membatik sebagai muatan lokal wajib mulai pendidikan
dasar.
Agar membuat anak-anak muda semakin tertarik,
menurut Nur Ahmadi, perlu adanya pemasaran yang berkelanjutan. Sistem pemasaran
yang digunakan sepenuhnya berbasis komunitas. Paguyuban kelompok pengrajin
menjadi fasilitator antara pengrajin dan konsumen. Media pemasarannya cukup
banyak seperti brosur, pameran, website, dan
juga promosi dari mulut ke mulut.
Pasca ditetapkan
sebagai warisan budaya tak benda oleh badan pendidikan dan kebudayaan PBB,
UNESCO, batik menjadi kian populer. Dampaknya, batik yang beredar di pasaran
bukan melulu produksi rumahan. Serbuan batik printing dengan harga murah produksi garmen besar membanjiri
pasaran. Di Pasar Beringharjo, pasar batik terbesar di Jogja, sebagian besar
batik dipasok dari Pekalongan. Motif yang ditawarkan lebih simpel dan warna
juga beragam serta lebih cerah. “Saya memilih berbelanja di sini karena
motifnya bagus dan bisa ditawar,” tutur Siti Asfiyah, seorang pembeli batik. Harga
memang menjadi salah satu alasan pendorong masyarakat memilih batik non tulis.
Pangsa pasar batik
tulis memang masih kalangan terbatas. Umumnya mereka merupakan kelas ekonomi
menengah ke atas yang memang memahami batik. Hal ini dikarenakan batik tulis
tidak murah mengingat proses pengerjaannya yang relatif lama. “Satu kain yang
motifnya tidak terlalu rumit saja baru bisa selesai dalam waktu sekitar dua
minggu,” terang Imaroh.
Harga batik tulis
Giriloyo rata-rata mulai dari Rp 150.000,00 hingga Rp 1 juta. Namun demikian,
pengrajin batik Giriloyo masih optimis. “Masing-masing sudah punya pasar, kami
tidak khawatir. “Mereka yang benar-benar mengerti batik pasti akan ke sini,”
kata Imaroh. Untuk melindungi persaingan batik tulis dengan non tulis, Balai
Besar Kerajinan dan Batik mengeluarkan batik mark. Ini adalah upaya pemerintah untuk memberi identitas pada
batik asli Indonesia sehingga menjadi pembeda dengan batik produksi pabrik.
Selain pemasaran,
kendala yang dihadapi pengrajin batik adalah bahan baku. “Harga bahan baku naik
terus,” keluh Imaroh. Malam, kain
katun, dan pewarna batik terus meningkat harganya. “Harga kain awalnya Rp
485.000,00 kini Rp 500.000,00,” tutur Nur Ahmadi. Selain itu, bahan-bahan
tersebut mesti didatangkan dari luar daerah jika bukan luar negeri. Bisa saja
pewarna sintetis digantikan dengan pewarna alami yang limbahnya lebih ramah
lingkungan. Seperti indigo yang sudah langka keberadaannya. Di samping itu,
penggunaan pewarna alami membutuhkan kuantitas yang banyak sampai warna yang
dikehendaki bisa muncul pun warna yang dihasilkan tidak terang. “Sekali
pewarnaan paling tidak dicelup 35 kali,” kata Imaroh. Keadaan di Giriloyo
menujukkan bahwa perekonomian rakyat belum bisa mandiri dari lingkup makro.
Masyarakat Giriloyo
tetap membatik meskipun menemui berbagai kendala. Untuk merasakan eksotisme
wisata budaya di Giriloyo pengunjung bisa memilih beberapa paket wisata yang
ditawarkan paguyuban. Hanya dengan mengeluarkan uang Rp 25.000,00 pengunjung
bisa belajar membatik dan hasilnya bisa menjadi buah tangan istimewa.
Pengunjung akan mendapatkan kain berukuran sapu tangan beserta semua peralatan
yang diperlukan untuk membatik. Sementara, jika ingin menginap dan merasakan
denyut kehidupan Giriloyo yang asri cukup dengan membayar Rp 100.000,00.
Bila ingin ke Giriloyo,
aksesnya mudah, dari Terminal Penumpang Giwangan langsung menyusuri Jalan
Imogiri Timur sejauh kira-kira 15 km. Sepanjang jalan pengunjung akan disuguhi
pemandangan hijau yang menyegarkan mata, 30 menit akan berlalu begitu saja.
Perjalanan ini bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi maupun umum.
Giriloyo menjadi tempat
singgah yang nyaman bagi para wisatawan. Di sini, wisatawan bisa merasakan
kedamaian desa, hijaunya sawah, jauh dari segala riuh kehidupan kota.
Karenanya, wisatawan masih saja menyempatkan waktu untuk pergi ke Giriloyo,
belajar membatik, membeli batik, melihat
proses membatik, dan menikmati keasriannya. Menghayati alam sekaligus
kebudayaan manusia yang hidup berdampingan.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)