Pertama bertemu beliau tanggal 11 Agustus 2014
untuk sosialisasi. Rumah beliau kami datangi pertama kali. Posturnya tidak
terlalu tinggi, hanya lebih tinggi sedikit dari saya. Kulitnya hitam, tanda
sering terbakar matahari karena memang beliau biasa melaut dan bertani.
Wajahnya tegas namun senyumnya membatalkan kesan seramnya. Senyum adalah
perhiasan di wajah yang mulai keriput itu. Beliau adalah kepala dusun Gumong,
sub unit tempat saya bertugas. Di Madura, kepala dususn disebut apel[i]. Namanya Pak Timuna.
Nah, soal nama ini menarik dan sempat membuat
bingung. Jadi begini ceritanya, di akhir pertemuan siang itu, kami meminta
tanda tangan pak Timuna atau akrab dipanggil Pak Na, setelah tanda tangan
beliau menuliskan namanya. Di situ tertera, Asik. Bingunglah kami, namanya Pak
Timuna atau Pak Asik sih? Usut punya usut, di Madura, setelah seorang laki-laki
menjadi ayah ia akan menggunakan nama anak pertamanya. Seperti Pak Asik ini,
nama anak pertama beliau Timuna maka bergantilah namanya menjadi Pak Timuna. Sampai
kami ditarik, kami belum ketemu dengan Mas atau Mbak Timuna ini, hehe.
Sejak pertama bertemu, Pak Na memberikan kesan
sebagai orang yang terbuka, aktif, dan punya rasa mau maju yang besar. Beliau
mendengar penjelasan kami tentang program dengan cukup antusias. Dan sejak
pertama bertemu beliau sudah menyatakan kesediaannya membantu program.
Pekan pertama di Pangpajung dihabiskan dengan
sosialisasi. Sub unit Gumong dipecah menjadi tiga bagian, Mbak Annis dan Dana
bagian RT 1, saya dan Ramdhan RT 2, Tyo dan Fifi RT 3. Masing-masing tim harus
mendatangi rumah warga di RTnya dan melakukan sosialisasi dan menanyakan
pendapat warga terhadap KKN sebelumnya. Tyo dan Fifi mulai dari bertanya kepada
Pak Na, di mana RT 3 sekaligus batas-batasnya. Namun Pak Na, bukan hanya
menjawab tapi juga mengantarkan dari satu rumah ke rumah lain.
Keaktifan Pak Na juga terlihat pada kali yang lain.
Suatu waktu kami mengadakan pelatihan pembuatan pupuk padat, pupuk cair, dan
biopestisida bertempat di rumah Pak Habibi[ii], di Dusun Geppeng sekitar
2 km dari Gumong. Semua orang yang
diundang mengatakan jauh dan tidak ada kendaraan, kecuali Pak Timuna, beliau
berangkat diantar oleh Jamil, dan satu-satunya wakil Gumong.
Selain itu, program kami yang lain adalah workshop
pembuatan dodol mangga. Pangpajung ini kaya akan mangga sampai-sampai bila
musimnya tiba, mangga dibiarkan begitu saja saking banyaknya dan saking murahnya.
Namanya pembuatan dodol, butuh waktu lama dan alat yang banyak, Pak Na
menyediakan rumahnya pun kami tidak boleh membantu mencuci peralatan masak yang
super banyak itu. Apalagi, dodol yang dibuat sekitar 20 kg.
Pada kesempatan lain, kami hendak minta tolong
kepada beliau untuk menyebarkan kupon pelayanan kesehatan maksudnya supaya
tidak terjadi kecemburuan sosial. Kami ke rumah beliau berkali-kali tapi tidak
pernah ketemu hingga beliau yang datang ke pondokan untuk menanyakan ada apa.
Untungnya pondokan kami tidak jauh. Nah, kala pejabat kita sibuk memikirkan
nasib keluarganya beliau justru tidak sama sekali. Kupon pelayanan kesehatan
yang sisa tidak beliau berikan kepada anggota keluarganya, beliau memegang
amanah yang kami titipkan, “Pak, tolong didahulukan yang sedang sakit ya.”
Meski sisa, karena anggota keluarganya tidak ada yang sakit beliau tidak
mengambil, bahkan untuk dirinya sendiri pun tidak.
Kekaguman semakin lengkap ketika kerja bakti bersih
dusun dalam rangka menyambut HUT RI ke-69. Kami meminta Pak Na mengumumkan
kerja bakti karena ada lomba kebersihan dusun se-Pangpajung. Beliau menyanggupi
dan mengatakan kerja bakti akan dilaksanakan pada 16 Agustus pukul 08.00
dimulai dari jalan depan pondokan kami. Kami anggota sub unit Gumong
menyanggupi untuk ikut terlibat. Pagi jam 08.00 kami sudah siap, tapi belum
nampak ada tanda kerumunan warga. Pukul 08.15 kelihatan Pak Na membawa sapu dan
sabit mulai bekerja, kami buru-buru menyusul.
Pak Na yang meminta warga untuk kerja bakti, beliau
yang bukan hanya menyuruh tapi menjadi orang pertama yang menyingsingkan
lengan. Seperti halnya seorang imam salat, ia bukan hanya menyerukan
Allahuakbar namun juga menunjukkan contoh, mengangkat telapak tangan,
mendekatkannya ke telinga lalu turun dan melipatnya di atas pusar. Ia bukan
hanya meneriakkan Allahuakbar namun juga mencontohkan gerakan takbiratul ihram,
dengan begitu salat berjamaah itu dimulai. Ialah imam yang baik, bukan sekadar
memerintah namun menjadi eksekutor pertama, memberikan teladan. Bahkan, kata
orang bijak selalu menasihati, satu tindakan lebih baik dari seribu kata-kata.
Maka mari kita belajar dari beliau. Pak Na boleh
jadi tidak pernah kuliah di Fisipol UGM. Beliau mungkin tidak belajar
kepemimpinan dari seminar maupun teori kepemimpinan mana pun. Tapi kepadanya
saya belajar banyak arti menjadi pemimpin. Pada diri beliau, saya menemukan
sosok pemimpin yang mulai langka di negeri ini.
Hari ini, kita sedang bersiap menyambut pemimpin
baru. Pelantikan akan digelar pada 20 Oktober mendatang. Semoga ia seperti Pak
Na, yang bersahaja, amanah, rela berkorban, dan mau memimpin dengan tindakan.
Semoga kita memang memilih orang yang tepat, ia yang mau bersama-sama dengan
kita menyingsingkan lengan menciptakan perubahan untuk Indonesia lebih baik.
***
Inilah tulisan kedua yang saya janjikan menyertai
tulisan pertama dahulu. Jujur, saya sangat terkesan dengan Pak Na. Di Pangpajung,
sepenglihatan saya, kepala dusun justru punya peranan yang lebih besar
dibanding kepala desa. Entah, mungkin karena saya hanya bertemu kepala desa
sekali, itu pun pada saat silaturahim di hari raya. Sementara, kepala dusun,
seperti Pak Na, saya temui tiap kali ada program yang hendak dilaksanakan,
kepadanya kami banyak meminta tolong.
Dari segi governance,
Pangpajung ini memang tidak berjalan dengan cukup baik sepengamatan saya.
Secara teori, governance ini ditopang
oleh tiga ranah, negara, intermediary, dan masyarakat, nah di Pangpajung ini
hampir ketiganya tidak berjalan baik. Di ranah negara, ada oligarki kuasa yang
dibentuk oleh elit politik, elit ekonomi, dan elit agama secara bersamaan. Di Pangpangpung,
seperti kebanyakan desa di Madura, memiliki beberapa lembaga agama, bahasa
umumnya pesantren begitu. Nah, pesantren ini bukan cuma menjadi lembaga agama
semata-mata tapi juga berbicara di ranah ekonomi hingga politik. Pengaruhnya
besar. Di ranah intermediary, saya kurang tahu, bagaimana keadaan BPD yang
memiliki peran sebagai parlemen desa. Sekadar memberi gambaran sih, di desa
yang maju saja BPD sering kali masih mandul maka di desa yang punya konteks
sosial politik seperti Pangpajung, Anda tentu bisa menebak sendiri. Sementara
itu, masyarakat tidak bisa mensubtitusi peran negara yang lemah. Fenomena yang sekarang
umum terjadi adalah aktor di ranah masyarakat akan mengambil peran negara yang
lemah dengan caranya sendiri. Sayangnya si Pangpajung, hal ini tidak terjadi.
Salah satu faktor yang menurut saya mengambil peran penting adalah rendahnya
densitas asosiasi di Pangpajung. Menurut teori yang saya pelajari di kampus,
makin tinggi densitas asosiasi dalam masyarakat maka akan makin kondusif untuk
kemajuan. Hal ini karena biasanya akan berbanding lurus dengan kuatnya peran
masyarakat sipil.
Ketiga ranah ini menjadi seperti lingkaran setan
ibaratnya. Mestinya, menurut saya, di sinilah peran KKN. Pintu masuknya mungkin
dari menguatkan masyarakat sipil, dimulai dari meningkatkan densitas asosiasi.
Caranya, buat forum pertemuan rutin yang membahas masalah sehari-hari misalnya
arisan atau pengajian ibu-ibu, pertemuan RT, pertemuan dusun, menguatkan karang
taruna atau remaja masjid. Asosiasi berdasar profesi juga perlu seperti adanya
kelompok tani dan kelompok ternak yang akan memudahkan akses masyarakat
Pangpajung terhadap modal maupun pelatihan yang banyak disediakan oleh
pemerintah di tingkat kabupaten atau yang lebih tinggi. Mengapa masyarajat
perlu berasosiasi? Dengan asosiasi bargaining
position mereka akan lebih baik di mata negara maupun gangguan kapital(is).
Lidi akan sulit dipatahkan bila bersatu menjadi sebuah sapu. Dengan
meningkatnya demand akan pelayanan publik yang baik harapannya akan
meningkatkan juga supply dari negara. Karena masyarakat sipil yang kuat akan
membuat aktor negara, sebutlah pemerintah berpikir berkali-kali sebelum berbuat
nakal. Bagaimana pun, kemajuan akan lebih cepat dicapai dengan adanya political will dari pemimpinnya.
Semua itu, mesti dimulai dengan menumbuhkan
kesadaran. Caranya, lagi-lagi dengan pendidikan. Ini yang rasanya sulit
dilakukan di Pangpajung. KKN UGM sudah datang dua kali, namun rasanya, belum
menyentuh tingkat ini. Mungkin sudah dicoba tapi pendekatan yang digunakan
kurang cocok. Entahlah.
Bagian akhir tulisan ini pernah ditulis
sebagai
bahan evaluasi bagi KKN Madura tahun
depan,
ini merupakan versi pangjangnya.
Diselesaikan dalam waktu sangat lama,
10-24 September 2014
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)