Langsung ke konten utama

JTM 16: Kepemimpinan Pak Timuna #2 #latepost


Pertama bertemu beliau tanggal 11 Agustus 2014 untuk sosialisasi. Rumah beliau kami datangi pertama kali. Posturnya tidak terlalu tinggi, hanya lebih tinggi sedikit dari saya. Kulitnya hitam, tanda sering terbakar matahari karena memang beliau biasa melaut dan bertani. Wajahnya tegas namun senyumnya membatalkan kesan seramnya. Senyum adalah perhiasan di wajah yang mulai keriput itu. Beliau adalah kepala dusun Gumong, sub unit tempat saya bertugas. Di Madura, kepala dususn disebut apel[i]. Namanya Pak Timuna.
Nah, soal nama ini menarik dan sempat membuat bingung. Jadi begini ceritanya, di akhir pertemuan siang itu, kami meminta tanda tangan pak Timuna atau akrab dipanggil Pak Na, setelah tanda tangan beliau menuliskan namanya. Di situ tertera, Asik. Bingunglah kami, namanya Pak Timuna atau Pak Asik sih? Usut punya usut, di Madura, setelah seorang laki-laki menjadi ayah ia akan menggunakan nama anak pertamanya. Seperti Pak Asik ini, nama anak pertama beliau Timuna maka bergantilah namanya menjadi Pak Timuna. Sampai kami ditarik, kami belum ketemu dengan Mas atau Mbak Timuna ini, hehe.
Sejak pertama bertemu, Pak Na memberikan kesan sebagai orang yang terbuka, aktif, dan punya rasa mau maju yang besar. Beliau mendengar penjelasan kami tentang program dengan cukup antusias. Dan sejak pertama bertemu beliau sudah menyatakan kesediaannya membantu program.
Pekan pertama di Pangpajung dihabiskan dengan sosialisasi. Sub unit Gumong dipecah menjadi tiga bagian, Mbak Annis dan Dana bagian RT 1, saya dan Ramdhan RT 2, Tyo dan Fifi RT 3. Masing-masing tim harus mendatangi rumah warga di RTnya dan melakukan sosialisasi dan menanyakan pendapat warga terhadap KKN sebelumnya. Tyo dan Fifi mulai dari bertanya kepada Pak Na, di mana RT 3 sekaligus batas-batasnya. Namun Pak Na, bukan hanya menjawab tapi juga mengantarkan dari satu rumah ke rumah lain.
Keaktifan Pak Na juga terlihat pada kali yang lain. Suatu waktu kami mengadakan pelatihan pembuatan pupuk padat, pupuk cair, dan biopestisida bertempat di rumah Pak Habibi[ii], di Dusun Geppeng sekitar 2 km dari Gumong. Semua  orang yang diundang mengatakan jauh dan tidak ada kendaraan, kecuali Pak Timuna, beliau berangkat diantar oleh Jamil, dan satu-satunya wakil Gumong.
Selain itu, program kami yang lain adalah workshop pembuatan dodol mangga. Pangpajung ini kaya akan mangga sampai-sampai bila musimnya tiba, mangga dibiarkan begitu saja saking banyaknya dan saking murahnya. Namanya pembuatan dodol, butuh waktu lama dan alat yang banyak, Pak Na menyediakan rumahnya pun kami tidak boleh membantu mencuci peralatan masak yang super banyak itu. Apalagi, dodol yang dibuat sekitar 20 kg.
Pada kesempatan lain, kami hendak minta tolong kepada beliau untuk menyebarkan kupon pelayanan kesehatan maksudnya supaya tidak terjadi kecemburuan sosial. Kami ke rumah beliau berkali-kali tapi tidak pernah ketemu hingga beliau yang datang ke pondokan untuk menanyakan ada apa. Untungnya pondokan kami tidak jauh. Nah, kala pejabat kita sibuk memikirkan nasib keluarganya beliau justru tidak sama sekali. Kupon pelayanan kesehatan yang sisa tidak beliau berikan kepada anggota keluarganya, beliau memegang amanah yang kami titipkan, “Pak, tolong didahulukan yang sedang sakit ya.” Meski sisa, karena anggota keluarganya tidak ada yang sakit beliau tidak mengambil, bahkan untuk dirinya sendiri pun tidak.
Kekaguman semakin lengkap ketika kerja bakti bersih dusun dalam rangka menyambut HUT RI ke-69. Kami meminta Pak Na mengumumkan kerja bakti karena ada lomba kebersihan dusun se-Pangpajung. Beliau menyanggupi dan mengatakan kerja bakti akan dilaksanakan pada 16 Agustus pukul 08.00 dimulai dari jalan depan pondokan kami. Kami anggota sub unit Gumong menyanggupi untuk ikut terlibat. Pagi jam 08.00 kami sudah siap, tapi belum nampak ada tanda kerumunan warga. Pukul 08.15 kelihatan Pak Na membawa sapu dan sabit mulai bekerja, kami buru-buru menyusul.
Pak Na yang meminta warga untuk kerja bakti, beliau yang bukan hanya menyuruh tapi menjadi orang pertama yang menyingsingkan lengan. Seperti halnya seorang imam salat, ia bukan hanya menyerukan Allahuakbar namun juga menunjukkan contoh, mengangkat telapak tangan, mendekatkannya ke telinga lalu turun dan melipatnya di atas pusar. Ia bukan hanya meneriakkan Allahuakbar namun juga mencontohkan gerakan takbiratul ihram, dengan begitu salat berjamaah itu dimulai. Ialah imam yang baik, bukan sekadar memerintah namun menjadi eksekutor pertama, memberikan teladan. Bahkan, kata orang bijak selalu menasihati, satu tindakan lebih baik dari seribu kata-kata.
Maka mari kita belajar dari beliau. Pak Na boleh jadi tidak pernah kuliah di Fisipol UGM. Beliau mungkin tidak belajar kepemimpinan dari seminar maupun teori kepemimpinan mana pun. Tapi kepadanya saya belajar banyak arti menjadi pemimpin. Pada diri beliau, saya menemukan sosok pemimpin yang mulai langka di negeri ini.
Hari ini, kita sedang bersiap menyambut pemimpin baru. Pelantikan akan digelar pada 20 Oktober mendatang. Semoga ia seperti Pak Na, yang bersahaja, amanah, rela berkorban, dan mau memimpin dengan tindakan. Semoga kita memang memilih orang yang tepat, ia yang mau bersama-sama dengan kita menyingsingkan lengan menciptakan perubahan untuk Indonesia lebih baik.

***

Inilah tulisan kedua yang saya janjikan menyertai tulisan pertama dahulu. Jujur, saya sangat terkesan dengan Pak Na. Di Pangpajung, sepenglihatan saya, kepala dusun justru punya peranan yang lebih besar dibanding kepala desa. Entah, mungkin karena saya hanya bertemu kepala desa sekali, itu pun pada saat silaturahim di hari raya. Sementara, kepala dusun, seperti Pak Na, saya temui tiap kali ada program yang hendak dilaksanakan, kepadanya kami banyak meminta tolong.
Dari segi governance, Pangpajung ini memang tidak berjalan dengan cukup baik sepengamatan saya. Secara teori, governance ini ditopang oleh tiga ranah, negara, intermediary, dan masyarakat, nah di Pangpajung ini hampir ketiganya tidak berjalan baik. Di ranah negara, ada oligarki kuasa yang dibentuk oleh elit politik, elit ekonomi, dan elit agama secara bersamaan. Di Pangpangpung, seperti kebanyakan desa di Madura, memiliki beberapa lembaga agama, bahasa umumnya pesantren begitu. Nah, pesantren ini bukan cuma menjadi lembaga agama semata-mata tapi juga berbicara di ranah ekonomi hingga politik. Pengaruhnya besar. Di ranah intermediary, saya kurang tahu, bagaimana keadaan BPD yang memiliki peran sebagai parlemen desa. Sekadar memberi gambaran sih, di desa yang maju saja BPD sering kali masih mandul maka di desa yang punya konteks sosial politik seperti Pangpajung, Anda tentu bisa menebak sendiri. Sementara itu, masyarakat tidak bisa mensubtitusi peran negara yang lemah. Fenomena yang sekarang umum terjadi adalah aktor di ranah masyarakat akan mengambil peran negara yang lemah dengan caranya sendiri. Sayangnya si Pangpajung, hal ini tidak terjadi. Salah satu faktor yang menurut saya mengambil peran penting adalah rendahnya densitas asosiasi di Pangpajung. Menurut teori yang saya pelajari di kampus, makin tinggi densitas asosiasi dalam masyarakat maka akan makin kondusif untuk kemajuan. Hal ini karena biasanya akan berbanding lurus dengan kuatnya peran masyarakat sipil.
Ketiga ranah ini menjadi seperti lingkaran setan ibaratnya. Mestinya, menurut saya, di sinilah peran KKN. Pintu masuknya mungkin dari menguatkan masyarakat sipil, dimulai dari meningkatkan densitas asosiasi. Caranya, buat forum pertemuan rutin yang membahas masalah sehari-hari misalnya arisan atau pengajian ibu-ibu, pertemuan RT, pertemuan dusun, menguatkan karang taruna atau remaja masjid. Asosiasi berdasar profesi juga perlu seperti adanya kelompok tani dan kelompok ternak yang akan memudahkan akses masyarakat Pangpajung terhadap modal maupun pelatihan yang banyak disediakan oleh pemerintah di tingkat kabupaten atau yang lebih tinggi. Mengapa masyarajat perlu berasosiasi? Dengan asosiasi bargaining position mereka akan lebih baik di mata negara maupun gangguan kapital(is). Lidi akan sulit dipatahkan bila bersatu menjadi sebuah sapu. Dengan meningkatnya demand akan pelayanan publik yang baik harapannya akan meningkatkan juga supply dari negara. Karena masyarakat sipil yang kuat akan membuat aktor negara, sebutlah pemerintah berpikir berkali-kali sebelum berbuat nakal. Bagaimana pun, kemajuan akan lebih cepat dicapai dengan adanya political will dari pemimpinnya.
Semua itu, mesti dimulai dengan menumbuhkan kesadaran. Caranya, lagi-lagi dengan pendidikan. Ini yang rasanya sulit dilakukan di Pangpajung. KKN UGM sudah datang dua kali, namun rasanya, belum menyentuh tingkat ini. Mungkin sudah dicoba tapi pendekatan yang digunakan kurang cocok. Entahlah.

Bagian akhir tulisan ini pernah ditulis sebagai
bahan evaluasi bagi KKN Madura tahun depan,
ini merupakan versi pangjangnya.
Diselesaikan dalam waktu sangat lama,
10-24 September 2014


[i] Bukan dibaca sebagai apel, buah. Pengucapan ‘e’nya tidak lazim dalam kata-kata bahasa Indonesia.
[ii] Nah, begitu juga ini, nama anak pertama beliau Habibi, nama aslinya justru saya tidak tahu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup