Langsung ke konten utama

JTM 16: Dunia Anak-anak #1 #latepost


Pak Rohman sibuk memanggil kami, menunjukkan sesuatu. Ada kehebohan kecil setelahnya. Apa pasal? Rembulan sedang mekar, bulat sempurna menjadi penerang di langit Pangpajung yang gelap, minim polusi cahaya. Selanjutnya, lantunan tasbih terdengar. Subhanallah, Maha Suci Allah yang menciptakan keindahan itu. Hari ini, rembulan sedang purnama, mekar penuh, membuat langit Jogja terang. Kita masih memandang bulan yang sama, sayangnya, dari bingkai jendela yang berjauhan. Di Jogja, pesona purnama tak seberapa, kalah terang dengan videotron yang menjamuri kota.

***

Kisah KKN kami tidak akan pernah habis digali meski laporan formal setebal 20 halaman menjadi penanda selesainya cerita. Tapi laporan itu, yang susah payah diunggah ke laman LPPM UGM, tidak memuat semua cerita dalam KKN lalu.

Lalu tulisan ini saya hadirkan. Saya niatkan menjadi prasasti kebersamaan. Katanya, verba volant scripta manent, yang hanya dilisankan akan kabur bersama selesainya nafas terbawa angin, sementara yang tertulis akan abadi, setidaknya, di ingatan pembacanya. Nah, ini masih mukkadimahnya, tulisan soal KKN ini akan terbagi menjadi tiga bagian, sesuai apa yang menarik dalam pengamatan saya. Bagian pertama, akan membahas soal dunia anak-anak dan pendidikan. Bagian kedua, akan saya hadirkan sosok Pak Timuna, seorang pemimpin yang bersahaja. Dan bagian ketiga, murni nostalgia bersama 24 orang luar biasa yang menemani saya mengalami cerita aneka rupa, di tanah orang, Madura.

***

“Pulau mana yang menjadi penghasil garam di Indonesia?”  begitu kira-kira bunyi pertanyaan di kelas 3 SD dulu. Lamat-lamat saya ingat karena saya salah menjawab pertanyaan itu. Saya lupa sih, dulu jawab apa tapi saya ingat persis ketika guru mencocokkan jawaban lalu mengatakan Madura, saya bilang “ooooooo”. Kala itu, tak ada dalam benak saya akan pergi ke Pulau Garam itu, apalagi katanya dalam rangka mengabdi[i].

Madura, bukan kata yang asing. Hampir semua tukang sate di Jogja membawa embel-embel asli Madura. Juga beberapa penjual burjo dan tukang potong rambut. Tapi saya memang tak punya gambaran soal seperti apa pulau itu. Jelang berangkat KKN, dalam rapat kelompok sering dikatakan Madura kering, tanaman yang tumbuh jagung dan kacang serta sesekali padi. Tak banyak gambaran sosiologis yang saya dapat sebelum berangkat.

Oh iya, saya KKN di salah satu pojok Madura, tepatnya ujung barat pulau itu. Namanya, Desa Pangpajung, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan. Desa tempat kami, 25 orang mahasiswa, melakukan KKN ini menurut saya suwung[ii]. Rata-rata penduduk desa ini adalah mereka yang anak-anak hingga remaja awal, SMP dan lansia. Sementara mereka yang usia produktif, merantau, entah ke kota besar terdekat seperti Surabaya[iii] atau mencari peruntungan hingga ke seberang pulau, Kalimantan. Madura memang masyur dengan keluasan diasporanya.

Bukan hal yang aneh bila anak-anak di sini dititipkan pada kerabat sementara orang tua si anak tetap merantau. Bisa bayangkan, bagaimana anak-anak ini tumbuh? Contoh paling nyata, Iis dan Anis. Iis tinggal bersama nenek buyutnya, iya, Anda tidak salah baca, nenek buyutnya. Seorang anak kelas 3 SD tinggal hanya berdua dengan nenek buyutnya. Sesuatu yang awalnya saya kira hanya rekaan tim kreatif acara TV yang menye-menye, ternyata memang ada, di depan mata. Dari situ saya yakin, Iis pasti bukan satu-satunya.

Untuk menopang hidup mereka dan menyekolahkan Iis, nenek buyut Iis masih ke ladang dan memelihara ternak. Betapa perkasanya beliau. Sementara, orang tua Iis entah ke mana. Untuk tugas-tugas rumah tangga, Iis mulai bisa membantu cuci piring atau kadang ke warung untuk membeli sarapan. Tapi ia tetaplah gadis kecil yang perlu perhatian dan bantuan dari keluarganya. Pernah  suatu pagi, ia datang ke pondokan dengan rok merah muda selutut yang sobek lebih dari setengahnya.

Perjumpaan pertama dengan Iis terjadi pada suatu siang ketika saya main ke Sub Unit sebelah, Dusun Darih[iv], melihat perbaikan biogas semipermanen. Kami, para perempuan yang ikut sedang berteduh sembari tiduran di surau[v] Pak Rozak, pemilik rumah. Waktu itu ada dua anak kecil yang mengintip kami sembari teriak “Kabbih tedung...kabbih teddung...”[vi]. Setelah kenalan, saya tahu, anak pertama adalah Rowi, putra pak Rozak dan Iis tetangganya.

Siang itu, Iis lalu malu-malu mendekati kami. Ia sebenarnya sudah kenal dengan teman-teman yang bertugas di sub unit Darih tapi mengkin dia malu pada kami yang asing, Mbak Annis, Fifi dan saya, tiga penduduk Gumong.

***

Anak lain adalah Anis. Keponakan dari Mbak Halimah, yang membantu Bu Rohman memasak untuk kami semua[vii]. Anis agak lebih beruntung karena yang mengasuhnya masih cukup muda, masih punya tenaga untuk memberinya perhatian, dan keluarga Anis yang tinggal bersamanya cukup lengkap. Tapi bukankah tanpa orang tua tidak pernah lengkap sebuah keluarga? Ya, setidaknya, Anis bersama bibi, kakek dan neneknya, kasih sayang dan kehangatan keluarga masih melingkupinya.
Anis agak kesulitan menganal aksara. Ia biasa menuliskan huruf terbolak-balik, juga angka. Jika sedang belajar bersama, Anis kadang malah menyembunyikan bukunya, seakan malu pada hasil kerjanya. Pada kali yang lain, ketika dibenarkan, ia justru bilang “Iya, iya, aku tau kok,” padahal , ia malu menunjukkan hasilnya. Setelahnya, ia perlu dibujuk untuk menunjukkan pekerjaannya, dan ternyata salah. Anak ini punya sifat defensif dan sering kali ngeyel. Kadang saya juga tidak cukup sabar menghadapinya, hehe.

***

Kenapa saya bercerita tentang mereka berdua? Pertama, saya ingin katakan bahwa efek terburuk dari ketidakmampuan finansial menimpa anak-anak. Iis tidak mendapat kasih sayang orang tuanya karena kedua orang tuanya dan orang dewasa di sekelilingnya sibuk berpikir “makan apa besok”. Kedua, setiap anak itu spesial hanya kadang kita, orang dewasa, cenderung ingin gampang memperlakukan mereka sehingga menyeragamkan. Anis selalu dicap bodoh, mungkin itu yang melahirkan sikap defensifnya.

Kemiskinan ternyata bukan saja memangkas akses anak-anak terhadap pendidikan namun juga kasih sayang dan perhatian orang tua. Ya, meski tidak bisa dinafikan kesibukkan orang tua yang berkecukupan juga sering kali memangkas kasih sayang. Dan nampaknya benar yang Anies Baswedan selalu katakan, sumber daya paling penting adalah manusianya, hanya logika kolonial yang menganggap mineral dan barang tambang merupakan aset terbesar. Indonesia, mesti besar karena manusianya yang terdidik dan beradab.

Tanah Madura memang tandus tapi rasanya bukan itu pokok masalah. Masalah tetap terletak pada manusianya. Bukannya kurang ulet, tapi mereka kurang mampu melihat peluang. Contoh sederhana, rumpun bambu di depan rumah dibiarkan hingga tua dan keropos begitu saja. Padahal bambu, tanpa diolah pun bisa  mendatangkan rupiah. Analisis ini mungkin saja keliru, toh saya cuma numpang tinggal tak sampai dua bulan.

Pangpajung, meski hanya satu jam dari Surabaya ternyata tidak punya cukup akses terhadap pendidikan. Pola pikir orang dewasa juga tidak cukup mendukung anak-anak untuk rajin sekolah. Misalnya, cap bodoh, goblok, bahkan gila yang dengan mudah mereka letakkan pada anak-anak yang kesulitan menerima pelajaran. Saat memberikan pendampingan belajar untuk anak usia SD kadang ada orang tua yang bergabung. “Ayo, Ani, ikut belajar, bawa buku ngga?” tanya saya. Si anak yang ditanya hanya diam tanpa memandang saya. Nah, si ibu pemilik rumah menjelaskan, “Itu kalau kata orang gila mbak, goblok lah gitu.” Waduh, batin saya. “Ibu, cara belajar masing-masing anak itu berbeda, mungkin kita belum memahami cara belajarnya.” Si ibu hanya manggut-manggut.
Mari saya ulangi, setiap anak itu spesial. Namun, bila seekor ikan dinilai dari caranya memanjat maka selamanya ia akan merasa bodoh, begitu nasihat Einstein. Di sini peran kita sebagai orang dewasa, jangan mudah memberikan cap atau stigma. Keduanya adalah momok mengerikan bagi rasa percaya diri seorang anak.

***

Terakhir, ada banyak anak-anak ajaib yang saya temui di Pangpajung. Mereka juga harus disebut dalam tulisan panjang ini, Rika, Ilham, Ati, Ana, yang mengajari saya memahami apa yang Ben Anderson maksud dalam bukunya Imagined Communities. Mereka membuat saya paham betapa pentingnya peta dalam proses pembentukan kebangsaan. Mungkin itu juga maksud LPPM selalu membekali setiap unit dengan peta, supaya setiap kehadiran anak KKN membuat warga setempat sadar betapa luasnya Indonesia. Jangan sampai terbatasnya akses membuat anak-anak hanya punya imaji yang juga sempit, apalagi sampai membatasi mimpi mereka. Nama lain yang harus disebut adalah Hikam dan Al yang pinter. Mufa dan Iis yang tangguh dan tidak pernah mengeluh.
Alangkah mewahnya kesempatan ini. Terima kasih, terima kasih banyak.

Ditulis di kamar,
Bantul, 7-10 September 2014




[i] Kenapa saya menuliskan “katanya dalam rangka mengabdi”? Karena kami dan masyarakat sebenarnya sama-sama belajar, bukan kami mengajari dan membagi ilmu. Justru seringnya, kami yang diajari, kami yang diberi ini dan itu. Meski memang namanya tetap, Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran dan Pengabdian Masyarakat (KKN-PPM).
[ii] Suwung=kosong (Jawa)
[iii] Dari Desa Pangpajung ke Surabaya mungkin hanya perlu 1,5 jam.
[iv] Darih dibaca Derih. Unit Desa Pangpajung merupakan disebut juga JTM 16, terbagi dalam 4 sub unit menurut dusun yang ada di Pangpajung yaitu Gumong, tempat saya bertugas, Darih, Baalang, dan Geppeng.
[v] Di Desa Pangpajung, setiap rumah memiliki surau (langgar atau musala), umumnya merupakan rumah panggung. Material pembuatnya beragam, tergantung kemampuan ekonomi pemilik suraunya, ada yang dari bambu (gedheg) hingga permanen. Awalnya, saya mengira ada unsur politis dari kepemilikan surau ini, ternyata ini adalah tempat laki-laki dan tamu laki-laki. Jadi di Desa Pangpajung ini, perempuan memang menjadi penguasa rumah.
[vi] Artinya, semua tidur, semua tidur. Masalah penulisan, saya menulis sesuai pengucapannya. Transliterasi Bahasa Madura cukup rumit, kata teman yang asli Madura saja ia tidak begitu bisa, apalagi saya yang cuma (hampir) dua bulan tinggal di sana.
[vii] Soal masakan Mbak Halimah yang luar biasa enak mungkin bisa dibahas pada tulisan lain, beserta resep rahasianya, hehe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup