Langsung ke konten utama

TINA*





Siang itu, sepulang sekolah, setelah ganti baju dan makan siang aku segera bersepeda ke rumahmu.

"Tinaaaaa... Tinaaaa...," panggilku.

Lalu kau keluar dengan senyumanmu yang khas itu, semacam senyum yg dikulum. "Sebentar ya, aku sedang mencuci piring," katamu.

Ah, kamu memang lebih cepat tanggap tentang pekerjaan rumah. Setelah selesai dengan pekerjaan itu kamu keluar lalu kita duduk di lincak depan rumahmu. Atau sesekali bergelantungan di pohon jambu yang tumbuh di pojok halamanmu yang luas. Waktu itu, aku tak doyan jambu.

Hampir begitu tiap hari berlalu, kita bercerita tentang apa saja di cabang-cabang pohon jambu itu. Bahkan menamai tiap cabang itu dengan nama kita. Kadang tak hanya berdua, kadang ada Sita atau Nana, atau siapa saja yang datang dan pergi. Begitu terus hingga kita lulus SD.

Kelas 2 SMP, aku pindah ke rumah yg persis di sebelah rumahmu. Pasca Idul Fitri, tahun 2006, dua bulan setelah gempa yang merontokkan Bantul dan sekitarnya. Salah satu hal yang membuatku senang bukan kepalang ketika pindah adalah pikiran "Ramadhan tahun depan bisa ndarus lalu ngobrol sampai malam, kan pulangnya bareng Tina".

Memang, setelah lulus SD kita selalu bersekolah ke tempat yang berbeda lalu ada banyak hal baru yang “menyibukkan” kita. Dan Ramadhan jadi satu-satunya momen di mana kita bisa banyak ngobrol. Tadarus diakhiri pukul 21.00 lalu mencuci gelas dan beres-beres sisa jaburan, lalu ngobrol, pulang pukul 23.00. Ya, tentu saja ngobrol menempati porsi paling besar haha.

Apalagi beberapa tahun belakangan. Kamu yang bekerja di luar kota hanya pulang beberapa hari saat lebaran. Di saat yang sama, aku pasti ke Ungaran. Nyaris tak ada lagi obrolan di cabang-cabang jambu itu. Selain tak ada lagi kesempatan yang mempertemukan kita, pohon jambu itu juga memang sudah ditebang.

Time flies.

Dulu, jika ada hajatan pernikahan kita berdiri depan belakang, sama-sama mengenakan seragam sinoman. Besok pagi, kau akan duduk di pelaminan sementara aku masih setia dengan seragam sinoman.

Besok, aku akan turut melepasmu, nahkodamu, dan kapal kalian. Dari dermaga, aku hanya bisa mendoakan semoga perjalananmu lancar, aman dari segala gelombang, dan selalu bahagia. Kapalmu akan mulai berlayar selepas ini. Jika kembali, lebaran nanti semoga ada kabar gembira penumpang kapal kalian akan segera bertambah, keponakanku.

Barakallahu lakuma wa baraka alikuma wa jamaah baina kuma fii khair.

*Late Post

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Stand Up Comedy: Menertawakan Diri Sendiri*

Ia anak rumahan. Meski aktif di sebuah unit kegiatan mahasiswa, perputaran kehidupannya memang lebih banyak di rumah. Dari umur empat puluh hari hinggga kini lebih dari 20 tahun, ia tinggal di rumah. Di dalam rumah, tak ada banyak identitas yang bisa ditemui. Ditambah lagi, ia tinggal di desa yang punya komposisi nyaris homogen, semua penduduknya Islam dan Jawa. Kampus hanyalah tempat singgah apalagi belakangan UGM lebih banyak didominasi mahasiswa Pulau Jawa. Di kelasnya, hampir separuh mahasiswa, adalah penduduk DIY dan Jateng. Media, bagaimana pun adalah arena kontestasi, termasuk di dalamnya mempertentangkan identitas sebagai bagian dari kekuasaan. Di televisi, olok-olok pada mereka yang punya logat kental Ngapak dimulai, juga pada mereka yang Madura, Batak, dan stigmatisasi pada mereka yang berkulit gelap dari belahan Indonesia Timur. Termasuk stigmatisasi pada para difabel. Suatu malam, yang saya lupa tepatnya, dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji seorang pemeran denga...