“Mau naik Nglanggeran po?” tanyamu via layanan pesan singkat.
“Nglanggeran? Siapa
saja?” balasku sambil mengernyitkan dahi.
“Berdua lah,”
balasmu lagi.
“Emoh. Ngopi aja
kalau mau,” kataku bercanda.
“Oke, aku pengen
nyoba beberapa kedai kopi. Jadi kapan kamu selo?”
Loh kok jadi
serius, batinku. Kami tak pernah lagi bertemu meski ada banyak perasan yang
belum selesai. Meski menanggung cerita yang belum selesai, masing-masing sudah
memulai banyak cerita baru.
***
Sengaja aku
datang terlambat. Membawa sebuah buku membosankan sebagai senjata bila
tiba-tiba pertemuan tak seperti yang diinginkan. Siapa tahu, bila mata bertemu
mata, kata-kata menjadi lindap oleh lidah yang berubah kelu. Sesampainya di
kedai yang kita sepakati, aku langsung menuju meja yang kau katakan dalam pesan
singkat yang baru saja kuterima. Nomor 39 katamu. Di atas meja kulihat sebuah
keyboard komputer usang, asbak, dan puntung rokok tak beraturan. Aku duduk,
menunggu, membuka buku membosankan itu sembari berharap kau segera datang. Lalu
kau bilang pindah ke meja 47, tempat sebuah helm hitam teronggok lesu
sendirian. Aku tak melihat tanda keberadaanmu lalu, aku mulai cemas.
Kecemasan yang sama ternyata juga menimpamu. Sebuah pesan singkat
bernada mengancam kau tujukan padaku “jangan bercanda keterlaluan begini.” Dan
ternyata oh tenyata, kita berada di tempat yang berbeda, hanya namanya yang memang
sepintas sama. Bukankah sesungguhnya bertahun-tahun ini kita juga terjebak pada
situasi serupa? Kita dekat secara letak geografis. Kalau mau, kita bisa saling
manyambangi hanya dalam hitungan menit. Tapi kita tak pernah lakukan itu. Kita
menunggu takdir mempertemukan kita. Sayangnya, takdir itu tak pernah datang
tanpa sengaja. Ternyata kita mesti membuatnya, seperti sekarang. Benang-benang
semesta tak pernah dirajut Tuhan untuk kita.
Ah akhirnya, kita bisa bertukar kata dalam pertemuan langsung macam
ini. Lama kita duduk berhadapan namun tampaknya belum juga ada kata yang cukup
baik untuk memulai percakapan ini.
“Mungkin kita memang butuh waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan
bahan pembicaraan untuk pertemuan ini,” katamu. Dan bahkan, setelah
bertahun-tahun, kita masih bingung untuk membicarakan apa, lanjutmu.
“Cih. Bukan itu, aku butuh semua waktu itu untuk menghadapimu dalam
konfrontasi terbuka macam ini. Bukan hanya kamu malah, namun juga masa lalu
kita,” bantahku sengit.
Kau harus tahu, kadang membuka kenangan butuh keberanian yang amat
besar beserta seluruh tenaga. Meski kini kutahu, menghadapi mereka semua juga
kenyataan ini, tak semengerikan yang ku bayangkan. Dan ternyata, pertemuan ini justru
melegakan. Jika kutahu dari jauh hari sebelumnya, mungkin pertemuan ini tak
perlu menunggu hingga purnama berganti puluhan kali. Namun, waktu, ialah yang
paling tahu kapan mesti datang menepati janji.
Kita duduk berhadapan dalam gusar sembari menunggu pesanan yang tak
kunjung datang. Lalu menggerutu, pelayan yang tak cekatan juga cuaca atau
suasana yang kelewat biasa hingga tak pantas jadi bahan cerita. Setelah
gelas-gelas kopi itu datang, mereka hanya menjadi dekorasi meja kita. Dan sesekali
menjadi cara untuk mengalihkan rasa grogi dan salah tingkah.
Meningkahi keheningan yang menjadi tema perbincangan, kau mendekatkan
ranselmu ke pangkuan lalu berkata, “Aku punya sesuatu untukmu.” Selang
seperberapa detik kemudian sekuntum mawar merah berpindah dari ransel ke
tanganmu lalu ke tanganku.
Sementara aku yang diserahi mawar itu, sebenarnya tak bisa
menggambarkan detail wajahku saat itu, apakah tiba-tiba mataku membelalak saking
herannya atau justru menyipit, semacam sinisme dan ketidakyakinan. Yang aku
tahu, dalam hati muncul pertanyaan, “Untuk apa sekuntum mawar merah dialamatkan
padaku?” Selepasnya, aku tak ingin berprasangka atau juga bertanya padamu soal
mawar itu. Bunga itu segera beralih masuk ke ranselku, “Supaya tak menarik
perhatian orang,” jelasku. Kau hanya senyum simpul dan manggut-manggut, yang
amat mungkin kau paksakan. Tak ada adegan macam di film-film romantis itu, si
nona menciumi bunga dari tuan muda sembari senyum sumringah.
Setelah kau menguras tenaga untuk mengeluarkan mawar itu, matamu
kembali lagi padaku. Tiba-tiba menawarkan padaku untuk pindah di bangku
sebelahmu. Namun, aku menolak dengan gelengan lemah dan senyum yang samar.
Kau tahu mengapa aku memilih duduk di hadapmu dengan meja menjadi
pembatas antara kita?
Karena aku ingin bicara dengan matamu. Ingin kukunci pandangan (juga
perhatian)mu hanya padaku, di waktu itu. Dan aku berharap sebaliknya. Aku ingin
kita bicara pada mata dan hati masing-masing bukan sekadar memindahkan kata
dari mulutmu ke telingaku atau sebaliknya. Dan meja, biarlah ia menjadi
pengingat janji kita pada langit, bahwa masih ada batas-batas yang harus kita
patuhi, suka atau tidak.
Batas yang selalu menjadi peraturan sepanjang permainan ini. Seperti
mawar yang datang hanya sebagai buah tangan. Maka sepanjang pertemuan, mawar
itu tak (perlu) jadi bahan obrolan, ia tak perlu dimaknai. Supaya, tak ada
prasangka yang perlu dikonfirmasi. Atau, tak ada kesempatan untuk kata-kata
manis yang kosong. Dan yang paling penting, tak perlu ada harapan yang mesti
diumbar atau dijatuhkan. Mawar itu hanya buah tangan tanda persahabatan. Ya
kan?
Tanpa terasa dua jam sudah berlalu. Akhirnya kita
bisa bicara tentang apa saja, tentang kuliah yang makin membosankan, suasana
KKN yang seperti mimpi dan kenyataan skripsi yang kita hadapi, juga
cerita-cerita dari hidup yang kini kita jalani. Mendung makin tebal menggantung
namun hujan dan waktu belum bersepakat mengenai kehadiran mereka.
Lagi-lagi waktu,
ia memang tak pernah mengingkari janji. Ia datang menjemputmu lalu membuatku
mesti segera beranjak dari hidupmu. Waktu, ia tak pernah berhenti untuk
menunggu kita mengenang yang lalu. Ia berjalan terus sementara kita, manusia,
harus berjalan dan kadang berlari untuk menyamakan ritme dengannya.
Di tegukan
terakhir kopiku, aku menyadarinya. Entah denganmu, mungkin kamu telah menyadarinya jauh lebih awal.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)