Langsung ke konten utama

Surat kepada Menteri Kesehatan


Ibu, ini adalah kali pertama kita berjumpa, melalui surat ini. Bagaimana kabar Ibu di sana? Semoga baik-baik saja. Saya menulis surat ini setelah dikejutkan dengan data dari UNICEF, pada tahun 2010, yang menyebut angka kematian ibu melahirkan masih berkisar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Meski sudah menurun namun, laju penurunannya berjalan lambat dalam dekade terakhir. Saya membandingkan dengan negara-negara ASEAN lain sudah  mampu menurunkan angka kematian ibu hingga di bawah 100 per 100.000 kelahiran hidup seperti Malaysia.

Namun demikian, saya tahu Ibu dan jajaran di Kementrian Kesehatan telah bekerja keras buktinya, di tahun 1990 angka kematian ibu melahirkan berada di atas angka 600 per 100.000 kelahiran hidup. Kebetulan, tetangga saya merupakan seorang kader Posyandu yang tentu punya peran penting dalam membantu Ibu mewujudkan MDG kelima ini.

Di lingkungan tempat tinggal saya, orang kaya dan miskin hidup berdampingan, bercampur menjadi satu komunitas. Tingkat pendidikan masing-masing golongna juga tidak sama. Hal ini menjadi kendala bagi seorang pekerja sosial. Ia bisa saja cuci tangan melihat permasalahan yang ada. Kelas menengah ke atas tidak peduli dengan dedikasinya, kadang justru merendahkan. Sementara mereka yang berada di kelas bawah memerlukan uluran tangan mereka untuk mengakses fasilitas negara. Mengingat mereka, buta hukum hingga tidak menyadari haknya.  

Seorang perempuan yang  berdedikasi itu adalah Martini. Biasa dipanggili Bu Tini. Perempuan kelahiran 17 Februari 1964 ini memilih mengabdikan dirinya di Posyandu Sedap Malam, Srontakan. Beliau sudah aktif di Posyandu selama 25 tahun. Separuh usianya diabdikan untuk kesehatan ibu dan balita di desa saya.

Ibu Menteri yang baik,

Ibu tentu tidak mengenal saya, pun tetangga saya itu. Bu Tini mulai mengabdi di tahun 1988. Ketika itu, kader posyandu hanya dua orang sementara kesehatan, dalam pengertiannya dan pengertian kita adalah hak dasar. Ia dengan setia menjalankan kerja sosial ini.

Setiap kali ada ibu hamil, ia sigap mendatangi ke rumahnya. Sekedar menjadi teman berbagi. “Biasanya ibu hamil enggan ke posyandu makanya saya yang datang ke rumahnya,” tuturnya. Satu per satu ia datangi untuk memberi pengertian pentingnya pergi ke petugas medis dalam proses persalinan. Ia mengajak mereka memahami hal-hal dasar pada saat hamil dan melahirkan. Mulai dari porsi makan yang berubah hingga pernak-pernik pengetahuan pasca melahirkan. “Bukannya mau menggurui, hanya saling mengingatkan,” katanya dengan rendah hati.

Ibu Menteri yang baik,

Ia tidak pernah lelah untuk mengingatkan. Dari saya masih balita dulu hingga kini usia saya 20 tahun. Bahkan jauh sebelum itu, ia sudah memulai. Dengan sabar, ia bersama bidan desa terus mendampingi ibu-ibu hamil di desa saya. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali menteri kesehatan berganti. Ia masih setia mengabdi.
Di posyandu beliau tidak mendapatkan apa pun, juga tidak mengharapkannya. Teman dan ilmu sudah cukup menjadi balasan yang setimpal baginya.

Ibu Menteri yang baik,

Berkat jasanya, di desa saya tidak sampai ada ibu yang melahirkan kemudian meninggal. Juga, partisipasi masyarakat ke layanan medis semakin tinggi. Ada kesadaran yang didorong oleh beliau. Ada ilmu yang terus disebarkan dengan sabar dan tanpa henti.
Ibu dengan resiko tinggi mendapatkan pelayanan kesehatan yang diperlukan. Ia memahami apa resiko dan tahu bagaimana mencegahnya. Dampaknya, bayi bisa lahir dengan selamat juga sehat.

Ibu Menteri yang baik,

Saya tidak tahu apakah Ibu pernah membayangkan ada berapa banyak Martini di Indonesia ini. atau apakah Ibu pernah membayangkan bagaimana kerja Ibu tanpa Martini-Martini ini. Ah, saya tidak membayangkan jika Ibu harus keliling ke rumah-rumah penduduk di seluruh Indonesia, pasti Ibu tidak lagi terlihat anggun di depan sidang-sidang kenegaraan.

Pertanyaannya kemudian, seberapa Ibu sudah berterima kasih pada sosok seperti Martini ini? penghargaan memang tidak melulu tentang uang dan piagam. Ibu bisa terus meningkatkan kapasitas mereka, menyediakan banyak forum bagi mereka untuk bertukar gagasan, dan akhirnya, MDG kelima itu bisa tercapai. Banyak ibu bisa selamat, banyak anak lahir sehat maka kian kuatlah Indonesia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup