Langsung ke konten utama

Sebuah Gerutuan di atas Jalanan

gambar diambil di sini



Rambu lalu lintas di depan saya masih menunjukkan angka 98. Meski begitu, suara klakson mulai terdengar tin, tin, tiiiiiiiin. Lampu merah baru saja menyala sepuluh detik lalu. Namun, kendaraan sudah berjejalan. Apalagi, di tiang rambu itu terpasang: belok kiri jalan terus sementara mereka yang hendak lurus sudah memenuhi jalan. Dari belakang, kendaraan yang ingin belok kiri ribut-ribut membunyikan klaksonnya. Yang lain awalnya sabar menunggu namun mendengar kebisingan macam itu menanggapi: dengan membunyikan klakson juga, sahut-menyahut.  Namun demikian, lampu itu tak kunjung berubah jadi hijau meski sudah diklakson berkali-kali. Pun, jalanan tak bertambah lengang. Lalu untuk apa?

Jogja tak lagi berhati nyaman. Senja yang turun diam-diam dan perlahan mesti dirusak oleh deru suara mesin. Tak ada lagi waktu untuk melamun dan bersajak saat matahari mulai bersinar atau diam-diam pindah ke belahan bumi lain. Di waktu-waktu romantis, yang menjadi favorit para penyair itu, kita mesti menghadapi rutinitas menyebalkan. Berada di jalanan, berjejalan, dan tergesa untuk menuju atau pulang kerja bersama asap, berisik klakson, dan konsentrasi tinggi supaya bisa sampai dengan cepat dan selamat.

Begitulah Jogja belakangan. Macet menjadi rutinitas baru. Dan klakson adalah kawan setianya. Saya benci sekali pada pengendara yang ngawur membunyikan klakson ini. Sayangnya, makin hari pengendara Jogja makin tak beradab menggunakannya. Ia bisa menyalak kapan saja bahkan bila seluruh kendaraan berhenti tanpa bisa maju dan mundur lagi. Juga saat lampu merah seperti tadi. Juga atas pengendara becak dan andong yang memang bukan kendaraan bermotor, jalannya pelan, sementara bodinya memenuhi jalanan. Toh klakson tak akan membuat laju mereka kian cepat atau bodinya menciut. Lalu untuk apa?

Katanya, perilaku di jalan merupakan cermin kepribadian sebuah bangsa. Bila keadaanya demikian, apa kepribadian bangsa kita? Tidak beradab jawab saya tanpa ragu. Ah kasar benar jawaban itu. Memang, apalagi namanya jika sudah tega merampas hak orang lain begitu? Hak apa yang kau maksud? Hak menikmati pagi dan senja dengan penuh syukur dan syahdu, hak pak becak, pak kusir dan kudanya menikmati jalanan, hak sesama pengendara untuk dapat berkendara dengan tenang, kadang jika macet begitu motor naik trotoar mengambill hak pejalan kaki. Tak beradab kan?

Entah apa pasal Jogja berubah begitu rupa. Dulu, ada orang yang bilang everyday in jogja is holiday. Sekarang, entah apa kata orang itu. Rasanya, tidak ada orang sedang liburan namun tergesa-gesa sampai-sampai harus membunyikan klakson pada semua yang ada di depannya. Mungkin, kapitalisme hari ini mulai merasuki jiwa masyarakat Jogja. Lalu kita bersama-sama mengamini adagium time is money. Dan saya merenung, kita orang Jogja dengan cita rasa Jakarta nampaknya.

Ada cita rasa yang berubah. Jogja mulai mengkota, tak lagi sederhana seperrti sediakala. Menjadi gula yang meggiurkan bagi semut-semut di sekitarnya. Orang-orang dari daerah sekitar mulai datang mengadu nasib, termasuk saya. Mereka setiap hari berjejalan di jalanan menuju Kota Jogja di pagi dan petang hari. Berebut panjang dan lebar jalan yang tidak bertambah sementara kendaraan baru dengan plat putih makin sering terlihat.

Ah, senja beranjak jadi petang. Warna jingga mulai berubah jadi kelabu jelang malam. Saya mulai berkonsentrasi lagi pada jalanan. Klakson masih menyalak tanpa ampun. Asap hitam di mana-mana. Seorang bapak mengumpati saya karena berjalan lamban. Nek ra sabar mabur wae, kata stiker di motor depan.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Ringkasan Perpindahan-perpindahan di Tahun 2017

Tahun 2017, secara garis besar masih sama seperti tahun lalu. Temanya masih pindah. Kalau tahun lalu, perpindahan dimulai dari resign dari pekerjaan parttime di awal tahun. Lalu, pindah dari status mahasiswa jadi pengangguran lalu jadi pekerja. Pindah-pindah dari satu freelance satu ke freelance yang lain. Hingga di akhir tahun, dapat perkerjaan yang bikin jalan-jalan ke 5 kabupaten selama sekitar 3 bulan. Awal tahun, punya pekerjaan baru. Pindah habitat, dari Jogja ke Jakarta. Beradaptasi hingga akhirnya harus berdamai pada banyak sekali hal baru. Berdamai hidup sendiri. Berdamai dengan lingkungan baru yang sama sekali asing. Dan mungkin yang paling berat, berdamai dengan masalah-masalah baru yang sebelumnya seakan tidak pernah ada. Pindah dari Jogja ke Jakarta adalah satu hal. Pindah dari sekamar sendiri jadi sekamar kos berdua adalah hal lain. Lalu pindah ke kontrakan dengan 4 orang di dalamnya adalah hal yang lain lagi. Soal kerjaan, meski ada di satu perusahaan yang sama...