Langsung ke konten utama

Perlu Berhenti


Kadang setelah kita lelah berlari, kita jenuh dan berhenti sejenak untuk tau apa rasanya berhenti. Sembari menghitung sudah seberapa jauh langkah kita. Juga bertanya, apakah lari telah membawa tujuan lebih dekat? Atau selama ini, kita hanya berputar-putar pada satu titik hingga lelah dan jenuh.

Kadang juga, di titik pemberhentian itu kita jadi belajar menghayati apa saja yang terjadi selama berlari. Mungkin tersendung, mungkin terengah, mungkin melihat pemandangan indah, mungkin bertemu kawan yang setia, atau apa saja. Lalu jadi sempat memaknai mereka semua bukan sebagai kelebatan pandangan semata. 

Di titik pemberhentian mungkin juga kita menyadari bahwa selama ini berlari pada arah yang salah sehingga harus putar arah dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Di titik itu, mungkin kita tahu bahwa ada komitmen yang harus diperbaharui, ada komitmen yang baru sama sekali, atau ada juga yang harus ditinggalkan karena tak sejalan dengan tujuan.

Kadang hidup bukan saja soal lari, lari, dan terus berlari. Kadang juga cukup dengan berjalan, sembari menikmati pemandangan, menyapa orang-orang di sekitar –siapa tahu ada di antara mereka merupakan jodohmu – dan mengatur kembali ritme lari. Kadang perlu mampir sebentar ke warung dawet menghapus dahaga. Kadang kita memang perlu berhenti. Agar jadi sempat untuk berpikir dan evaluasi.

Kita sendiri yang menetukan ritmenya, kadang Tuhan membantu dengan perhitungan dan takdirNya yang sempurna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Stand Up Comedy: Menertawakan Diri Sendiri*

Ia anak rumahan. Meski aktif di sebuah unit kegiatan mahasiswa, perputaran kehidupannya memang lebih banyak di rumah. Dari umur empat puluh hari hinggga kini lebih dari 20 tahun, ia tinggal di rumah. Di dalam rumah, tak ada banyak identitas yang bisa ditemui. Ditambah lagi, ia tinggal di desa yang punya komposisi nyaris homogen, semua penduduknya Islam dan Jawa. Kampus hanyalah tempat singgah apalagi belakangan UGM lebih banyak didominasi mahasiswa Pulau Jawa. Di kelasnya, hampir separuh mahasiswa, adalah penduduk DIY dan Jateng. Media, bagaimana pun adalah arena kontestasi, termasuk di dalamnya mempertentangkan identitas sebagai bagian dari kekuasaan. Di televisi, olok-olok pada mereka yang punya logat kental Ngapak dimulai, juga pada mereka yang Madura, Batak, dan stigmatisasi pada mereka yang berkulit gelap dari belahan Indonesia Timur. Termasuk stigmatisasi pada para difabel. Suatu malam, yang saya lupa tepatnya, dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji seorang pemeran denga...