Langsung ke konten utama

Hospital Playlist: A Whole New Experience




Pertama kenal drama ini, dikenalkan Rinta. Kami nonton di kantor, tentu saja jam makan siang. Dan sudah berapa lama kita tidak lagi makan siang di kantor? Cukup lama tentu saja karena besok adalah penayangan terakhir dalam 12 pekan ini.  

Tak banyak drama yang langsung menarik sejak episode pertama. Lebih tidak banyak lagi drama yang bisa membuatku menonton ulang episode pertamanya berulang-ulang, dan tetap ikut ngakak juga terharu. Hospital Playlist jelas satu dari yang sangat sedikit itu.

Episode pertamanya sangat berkesan dan tetap menyenangkan seberapa banyak pun aku mengulangnya. Kemunculan Ikjun. Pembentukan ulang band. Penampilan band mereka yang pertama. Pasien-pasien yang muncul. Dinamika geng mereka. Ah, semuanya.

Dengan episode pertama yang begitu mencuri perhatian, bagaimana aku bisa menolak untuk melanjutkan ke sebelas episode berikutnya?

Sejak awal, tidak ada plot yang jelas. Penonton diajak berkenalan dengan lima profesor berusia 40 tahun yang bersahabat; Chae Song-hwa, Lee Ik-jun, Ahn Jeong-won, Kim Jun-wan dan Yang Seok-hyung. Kita diajak menemani kehidupan mereka sehari-hari; menemui pasien dan keluarganya, berinteraksi dengan para dokter residen, intern, perawat, mahasiswa magang serta tentu saja makan bersama lima sahabat ini dan latihan band. Konon, hidup dimulai saat usia kita menginjak 40 tahun, di musim tayang pertamanya, kita juga diajak menebak-nebak apa yang akan mereka mulai di usia 40 tahun. Apakah kisah cinta yang dulu belum sempat tuntas, atau memulai keluarga, memulai hubungan yang lebih serius atau memulai karir baru?

Apakah tidak membosankan melihat drama yang hanya menampilkan kehidupan sehari-hari begitu?


Nyatanya, tidak sama sekali. Setidaknya bagiku. Pertama karena drama ini merupakan karya duet ternama Shin-PDnim dan Lee chakanim. Sebelumnya, mereka tersohor dengan karya Reply series, yang paling terkenal bahkan meninggalkan trauma mendalam bagi para pemirsanya tentu saja Reply 1988.

Karya mereka terkenal dengan micro detail, warna, properti, garis bahkan alur utamanya. Hunch hunting menjadi bumbu yang sangat menyenangkan sepanjang drama ini tayang selama 12 pekan. Sekaligus menjadi pengalaman pertamaku menginvestasikan sebegitu banyak waktu dan emosi untuk “sekadar” menonton sebuah drama.

Teori pertama yang kubaca tentu saja disponsori oleh Rinta. Mulai dari teori Junwan-Songhwa hingga menebak loveline dari plat mobil kelima profesor. Yang kutanggapi dengan, “Ha? Ada orang yang seserius ini nonton drama?!” Lalu aku seperti terkena karma, aku tidak bisa keluar dari zona tebak-menebak sampai di pekan kedua belas ini. Dan semakin hari semakin seru saja. Yang mengejutkan tentu saja, semakin banyak episodenya semakin banyak hunch di awal yang terbukti benar. Sebagai anak bawang dalam dunia perdrakoran dan hunch hunting, aku hanyalah pembaca dan penonton setia.

Seperti semua drama karya Shin PD-nim yang sudah kutonton seperti Reply 1988 dan Prison Playbook, tidak ada tokoh antagonis khusus. Manusiawi; jahat seperlunya, baik secukupnya. Seperti dua sisi koin yang saling melengkapi.

Konfliknya juga dihadirkan dalam wujudnya yang paling manusiawi. Bukahkah setiap hari kita menjadi manusia dan tetap berkonflik bahkan dengan diri kita sendiri?

Melalui pengembangan karakter masing-masing kita merasa ikut terlibat dalam konflik itu. Kita bisa melihat masing-masing karakter saling berinteraksi, dalam tawa maupun adu urat yang sengit lalu masing-masing karakter tumbuh menjadi versi yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan kita bisa melihat bagaimana konflik dalam diri mereka sendiri ketika pengalaman bertambah, prinsip yang sebelumnya dipegang mulai terasa usang namun di sisi lain berubah tidak pernah semudah itu kan? Butuh keberanian dan komitmen yang keduanya sama tidak sederhananya.


Aku juga suka bagaimana drama ini memberikan panggung dan lampu sorot untuk semua orang yang terlibat di dalamnya. Kita sebagai penonton, bukan hanya diajak berempati pada kelima sahabat yang menjadi pemeran utama namun juga kepada perawat, dokter residen, dokter magang, pasien dan para keluarganya. Seakan memberi pesan bahwa siapa pun kita, apa pun peran kita di dunia berharga dengan cara yang berbeda.

Selain itu, menarik melihat para dokter residen yang memulai ulang karirnya di usia yang tidak muda, Chu Min-ha (dokter residen Obsgyn), Ahn Chi-hong (dokter residen bedah saraf) dan Do Jae-hak (dokter residen torakoplastik). Chu Min-ha bekerja sebagai pekerja lab sebelum masuk ke kedokteran, ia menjadi residen tahun kedua di usia 34 tahun. Ahn Chi-hong adalah seorang tentara dengan pangkat kapten yang terpaksa berhenti karena sakit di usia 29 tahun. Do Jae-hak yang memilih belajar kedokteran setelah sebelumnya mengambil sekolah hukum, di tahun terakhir masa residensinya ia berusia 39 tahun hanya selisih satu tahun dengan profesornya.

Bagi orang dengan krisis eksistensial yang tak kunjung berakhir sepertiku, karakter mereka bertiga seperti encouragement untuk tidak berhenti menggali, mencari, bermimpi dan mencoba. Melihat mereka, aku mendadak punya semangat untuk melanjutkan belajar Bahasa Korea dan mewujudkan password Twittterku, setidaknya mencoba. Kalau pun gagal setidaknya dengan mencoba aku tidak akan menyesal kelak di kemudian hari.

Melihat mereka berlima, mau tidak mau aku membayangkan, jika kelak aku punya rezeki usia sampai 40 tahun, akankah aku masih punya sahabat? Akankah persahabatan kami bisa menjadi ruang aman untuk berekspresi, menjadi kekanakan, bertengkar untuk alasan-alasan yang super nggak nggak penting, jokes receh dan obrolan random? Jika saat itu, aku belum punya pasangan akankah aku bisa merasa cukup dengan diriku sendiri saja. Nonton drama pun bisa menjadi trigger untuk overthinking hahaha.

Mungkin sisi terbaik dari drama ini adalah kemampuannya membuka ruang-ruang percakapan. Aku tidak akan lelah mengatakan betapa berkat drama ini aku, Odi dan Fara jadi punya topik harian yang kemudian berlanjut ke mana-mana. Grup itinerary yang sepi karena liburan kami hampir pasti gagal gara-gara corona –liburan yang sudah kami tunggu dan rencanakan sejak dua tahun lalu –tiba-tiba jadi super ramai berkat Hospital Playlist. Di masa-masa seperti sekarang, mungkin memang tidak ada hal lain yang lebih kubutuhkan selain zona-zona nyamanku, percakapan-percakapan, juga orang-orang yang bertahun-tahun menjadi zona amanku. 

Slice of life drama seperti Hospital Playlist bisa menjadi pengingat betapa banyak hal-hal sederhana yang sangat mewah dalam hidup kita sehari-hari. Kita hanya perlu menyadari dan sekali waktu merenungkan maknanya. 

Favorit lines


Kalau sedang melakukan sesuatu lalu tak ada apresiasi atau ingin melakukan sesuatu tapi merasa tak yakin akan hasilnya, kalimat ini penting sekali untuk diingat. Keseluruhan scene juga bitter sweet tapi tetap heart warming.

Jangan lupa menanyakan hal ini ke dirimu sendiri sekali waktu. Sesibuk apa pun, jangan lupa menyayangi diri sendiri. Scene terfavorit sepanjang drama. How mundane things with the right person can be our daily dose of happiness.
 Seok-hyeong adalah karakter paling relatable bagiku.

Adalah aku.
Me during quarantine days. It's me when people ask, "How are you doing?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup