Langsung ke konten utama

2020 So Far


Photo by Noah Silliman on Unsplash


Di situasi-situasi yang tidak menyenangkan biasanya keinginan untuk menulis meluap-luap sebagai cara untuk merapikan pikiran-pikiran yang semrawut. Sebagai sobat overthinking, di masa yang baik-baik saja pikiran selalu memikirkan sejuta kemungkinan terburuk dengan berbagai skenario, apalagi di masa tidak enak. Dan menulis selalu bisa jadi cara decluttering my mind.

Tapi kali ini nggak, kepalaku rasanya kosong. Nggak ada berbagai skenario terburuk yang kupikirkan. Seakan semua sudah gamblang di depan mata apa yang akan terjadi. Melihatnya terjadi satu per satu, tinggal kutertawakan saja. Sebagaimana biasanya aku bertahan hidup. Yang bisa diantisipasi toh sudah juga kulakukan. Tinggal hal-hal di luar kuasa, lalu mau apa.

Tulisan ini, akan lompat-lompat sebagaimana isi kepalaku. Aku tidak akan repot-repot menyuntingnya, seperti yang kulakukan pada sebagian besar tulisanku di blog ini. Hitung-hitung sebagai penanda masa. Jika, kamu merasa sanggup keep up dengan alur ngawur, silakan dilanjutkan baca, jika tidak, kamu juga nggak akan rugi apa-apa.

Beberapa waktu lalu, aku mengeluh ke salah seorang teman bahwa aku ingin menulis di blog tapi tidak ada ide sama sekali. Kepalaku terasa kosong. Hatiku juga. Berkali-kali aku menanyakan ke diri sendiri, “Kamu sedih nggak sih? Takut? Khawatir? Marah? Gelisah?” nggak ada label yang terasa pas. Hambar. Tapi ketika sedang menonton drama, di adegan yang biasa-biasa saja tiba-tiba air mata menetes, terisak-isak sampai sesak. Jumat lalu, ketika nonton episode barunya Hospital Playlist tiba-tiba aku menangis di adegan Ibu Sin dikasih sepiring mangga potong oleh tetangga bangsalnya lalu mereka bertukar senyum dan kedip mata. Apa yang begitu menyedihkan dari adegan itu sampai membuatku menangis terisak? Atau tiba-tiba marah untuk sesuatu yang sederhana, kayak aku mendadak easily irritable. Iya, aku sadar juga sih kalau aku tu mayan galak dan mulutku kadang pedes kayak karetnya dua. Padahal bukan bermaksud marah juga, cuma kadang tanpa sadar menaikkan nada. Kalau soal receh, gampang tertawa terbahak-bahak untuk hal-hal yang nggak lucu-lucu banget kayaknya sudah lama. Dan ini jujur aja, kuanggap sebagai kualitas diri yang bagus, mudah merasa bahagia.

Melihat ledakan-ledakan emosi seperti itu mau nggak mau aku merasa perlu menggali lagi. Jangan-jangan bukan hambar, kosong as if ikhlas, tapi I am numbing all the feelings sampai nggak kelihatan lagi layer-layernya. Sampai sekarang belum ketemu.

Melompati mengenali emosi, aku menyibukkan diri dengan banyak hal baru. Sebelum mens kemarin, olahraga bisa seminggu full. Jalan pagi, yoga dan berkebun. Berkebun masa olahraga sih? Iya, Google Fit memasukkannya sebagai salah satu kategori kok. Jalan pagi di jalan depan rumah yang sepi sekitar pukul 7.30, sambil dengerin podcast beneran sangat menyenangkan sih di awal-awal work from home. Karena jadi solitude time menggantikan waktu commuting ke kantor. Kalau mendung, atau males aja keluar rumah gelar yoga mat, dengan panduan Yoga with Adriene. Awalnya, aku merasa ih apaan, nggak berkeringat. Lalu sesi berikutnya, gobyos juga sis. Berkebun nih baru banget, biasanya ritualku kumulai dengan masukin sisa organik dari dapur ke komposter terus nambahin sisa organik coklat dan tanah sambil ngaduk. Kalau kelihatan kering kusiram bioaktivator kalau tidak ya udah, habis ngaduk aku tutup lagi. Komposterku sekarang usianya sekitar 40 hari. Habis itu, bebersih kebun karena ada tanah nganggur yang niatnya mau kujadikan kebun pangan tapi masih menyiapkan media tanam dan mengira-ira sinar mataharinya. Soale sekitar rumah banyak pohon buah gede yang shady gitu, agak susah untuk nanam sayur kata literatur. Oh iya, biasanya keliling juga, menyapa para tanaman baru biar tetap semangat sambil ngecek apakah ada tunas baru dan nyiram. Awalnya, kumerasa gila banget lah nggak ketemu orang tapi ngobrol sama sirih gading, tunas daun bawang, benih tomat dan kemangi tapi lama-lama melihat mereka sehat nambah tunas, nambah akar aku seseneng itu. Norak. Mungkin memang benar antar makhluk memang saling bertukar energi. Ini lagi semangat banget lah belajar berkebun, sampai feed instagramku sekarang penuh dengan influencer hijo-hijo. Adem.

Eksperimen lain, kenalan dengan orang baru lewat Sahabat Pena Ketika Karantina. Seumur-umur surat yang kubikin selalu berhubungan sama kerjaan, kalau bukan surat lamaran ya surat pengunduran diri. Inisiatif ini mulai dari twitter dan ya lumayan seru ngobrol panjang dengan orang asing.

Pandemi beneran membuatku takut dan menjauhkan diri dari segala update kabar. Tidak lagi nongkrong di twitter. Nggak lagi ngecekin email subscription dari beberapa media. Jadi urusan viyus coyona ini aku nggak tahu update detailnya. Aku tahu aku nggak akan sanggup menghandle segala berita buruk; kematian, kehilangan; ketidakberdayaan. Zaman banjir besar Jabodetabek awal tahun lalu aja, aku sampai mute keyword Bekasi saking overwhelmednya. Ternyata screen time scrolling sosmed tuh kalau diganti kegiatan fisik jadi banyak ya. Tapi kalau memang bagimu scrolling timeline adalah your best coping mechanism during this tough time, who am I to judge. You do you. The only thing we have to do in this time is survive, no matter how.

Jadi gimana 2020-mu so far?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup