Photo by Noah Silliman on Unsplash
|
Di
situasi-situasi yang tidak menyenangkan biasanya keinginan untuk menulis
meluap-luap sebagai cara untuk merapikan pikiran-pikiran yang semrawut. Sebagai
sobat overthinking, di masa yang baik-baik saja pikiran selalu memikirkan
sejuta kemungkinan terburuk dengan berbagai skenario, apalagi di masa tidak
enak. Dan menulis selalu bisa jadi cara decluttering my mind.
Tapi kali
ini nggak, kepalaku rasanya kosong. Nggak ada berbagai skenario terburuk yang
kupikirkan. Seakan semua sudah gamblang di depan mata apa yang akan terjadi.
Melihatnya terjadi satu per satu, tinggal kutertawakan saja. Sebagaimana
biasanya aku bertahan hidup. Yang bisa diantisipasi toh sudah juga kulakukan.
Tinggal hal-hal di luar kuasa, lalu mau apa.
Tulisan ini,
akan lompat-lompat sebagaimana isi kepalaku. Aku tidak akan repot-repot
menyuntingnya, seperti yang kulakukan pada sebagian besar tulisanku di blog
ini. Hitung-hitung sebagai penanda masa. Jika, kamu merasa sanggup keep up
dengan alur ngawur, silakan dilanjutkan baca, jika tidak, kamu juga nggak akan
rugi apa-apa.
Beberapa
waktu lalu, aku mengeluh ke salah seorang teman bahwa aku ingin menulis di blog
tapi tidak ada ide sama sekali. Kepalaku terasa kosong. Hatiku juga.
Berkali-kali aku menanyakan ke diri sendiri, “Kamu sedih nggak sih? Takut?
Khawatir? Marah? Gelisah?” nggak ada label yang terasa pas. Hambar. Tapi ketika
sedang menonton drama, di adegan yang biasa-biasa saja tiba-tiba air mata
menetes, terisak-isak sampai sesak. Jumat lalu, ketika nonton episode barunya
Hospital Playlist tiba-tiba aku menangis di adegan Ibu Sin dikasih sepiring
mangga potong oleh tetangga bangsalnya lalu mereka bertukar senyum dan kedip
mata. Apa yang begitu menyedihkan dari adegan itu sampai membuatku menangis
terisak? Atau tiba-tiba marah untuk sesuatu yang sederhana, kayak aku mendadak
easily irritable. Iya, aku sadar juga sih kalau aku tu mayan galak dan mulutku
kadang pedes kayak karetnya dua. Padahal bukan bermaksud marah juga, cuma
kadang tanpa sadar menaikkan nada. Kalau soal receh, gampang tertawa terbahak-bahak
untuk hal-hal yang nggak lucu-lucu banget kayaknya sudah lama. Dan ini jujur
aja, kuanggap sebagai kualitas diri yang bagus, mudah merasa bahagia.
Melihat
ledakan-ledakan emosi seperti itu mau nggak mau aku merasa perlu menggali lagi.
Jangan-jangan bukan hambar, kosong as if ikhlas, tapi I am numbing all the
feelings sampai nggak kelihatan lagi layer-layernya. Sampai sekarang belum
ketemu.
Melompati
mengenali emosi, aku menyibukkan diri dengan banyak hal baru. Sebelum mens
kemarin, olahraga bisa seminggu full. Jalan pagi, yoga dan berkebun. Berkebun
masa olahraga sih? Iya, Google Fit memasukkannya sebagai salah satu kategori
kok. Jalan pagi di jalan depan rumah yang sepi sekitar pukul 7.30, sambil
dengerin podcast beneran sangat menyenangkan sih di awal-awal work from home.
Karena jadi solitude time menggantikan waktu commuting ke kantor. Kalau
mendung, atau males aja keluar rumah gelar yoga mat, dengan panduan Yoga with
Adriene. Awalnya, aku merasa ih apaan, nggak berkeringat. Lalu sesi berikutnya,
gobyos juga sis. Berkebun nih baru banget, biasanya ritualku kumulai dengan
masukin sisa organik dari dapur ke komposter terus nambahin sisa organik coklat
dan tanah sambil ngaduk. Kalau kelihatan kering kusiram bioaktivator kalau
tidak ya udah, habis ngaduk aku tutup lagi. Komposterku sekarang usianya sekitar
40 hari. Habis itu, bebersih kebun karena ada tanah nganggur yang niatnya mau
kujadikan kebun pangan tapi masih menyiapkan media tanam dan mengira-ira sinar
mataharinya. Soale sekitar rumah banyak pohon buah gede yang shady gitu, agak
susah untuk nanam sayur kata literatur. Oh iya, biasanya keliling juga, menyapa
para tanaman baru biar tetap semangat sambil ngecek apakah ada tunas baru dan
nyiram. Awalnya, kumerasa gila banget lah nggak ketemu orang tapi ngobrol sama
sirih gading, tunas daun bawang, benih tomat dan kemangi tapi lama-lama melihat
mereka sehat nambah tunas, nambah akar aku seseneng itu. Norak. Mungkin memang
benar antar makhluk memang saling bertukar energi. Ini lagi semangat banget lah
belajar berkebun, sampai feed instagramku sekarang penuh dengan influencer
hijo-hijo. Adem.
Eksperimen
lain, kenalan dengan orang baru lewat Sahabat Pena Ketika Karantina.
Seumur-umur surat yang kubikin selalu berhubungan sama kerjaan, kalau bukan
surat lamaran ya surat pengunduran diri. Inisiatif ini mulai dari twitter dan
ya lumayan seru ngobrol panjang dengan orang asing.
Pandemi beneran
membuatku takut dan menjauhkan diri dari segala update kabar. Tidak lagi
nongkrong di twitter. Nggak lagi ngecekin email subscription dari beberapa
media. Jadi urusan viyus coyona ini aku nggak tahu update detailnya. Aku tahu
aku nggak akan sanggup menghandle segala berita buruk; kematian, kehilangan;
ketidakberdayaan. Zaman banjir besar Jabodetabek awal tahun lalu aja, aku
sampai mute keyword Bekasi saking overwhelmednya. Ternyata screen time
scrolling sosmed tuh kalau diganti kegiatan fisik jadi banyak ya. Tapi kalau
memang bagimu scrolling timeline adalah your best coping mechanism during this
tough time, who am I to judge. You do you. The only thing we have to do in this
time is survive, no matter how.
Jadi gimana
2020-mu so far?
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)