Ken Wyatt via Unsplash |
Pagi tadi,
lampu merah di Perempatan Kentungan masih tersisa 100 detik lagi sebelum
berubah menjadi hijau. Seperti biasa, mataku menjelajah kanan dan kiri,
mencari-cari siapa tahu ada baliho baru yang belum sempat kubaca Sabtu kemarin,
Jumat kemarin atau delapan puluh sembilan hari yang lalu.
Tepat ketika
kepalaku menoleh ke kiri. Aku menemukan pemandangan baru di perempatan yang
sudah kulewati ke seribu sekian kali. Seorang kakek, badannya agak bungkuk,
duduk di kursi plastik hijau sedang dipotong rambutnya oleh seorang perempuan
yang kuduga anaknya. Nampak wajah perempuan itu, agak kusut, mulutnya
komat-kamit, seperti menggerutu. Rambut kakek berkaos abu-abu kebesaran yang
warnanya mulai pudar itu tinggal ditipiskan. Mungkin tak pantas lagi bagi
seorang lelaki tua untuk tampil sangar dengan rambut panjang yang awut-awutan.
Lampu merah
masih menyisakan lima puluh detik lagi. Rambut kakek itu, sudah terpangkas
setengahnya. Wajah perempuan itu masih merengut. Bibirnya yang terpoles gincu
merah maju beberapa senti. Mungkin masih menggerutu. Kakek itu makin dalam
bungkuknya.
“Tribun
mbak, dua ribu saja,” tukang koran menyela lamunanku.
Lampu merah
menyisakan tulisan “tunggu sampai hijau”. Lima detik lagi lampu akan berubah
hijau. Aku mengalihkan tatapanku dari mereka. Menghentikan pikiran seandainya aku diberi kesempatan bersama
bapak hingga bapak menjadi setua itu. Aku bersiap menarik gas motorku,
menghalau rindu. Njenengan beruntung
mbak, bisa membersamai bapak hingga beliau menjadi kakek dengan rambut
keperakan dan tingkah yang mungkin kembali kekanakan. Lampu sudah hijau,
aku buru-buru.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)