Langsung ke konten utama

2018: Tentang Pulang




Jika benang merah perjalanan tahun 2017 lalu adalah pindah, maka benang merah cerita tahun ini adalah pulang. Salah satu harapan yang kusemai akhir tahun lalu adalah menemukan sesuatu yang bisa kukerjakan dengan bangga. Namun, di akhir tahun 2018 ini, ceritaku bukan tentang apakah aku sudah menemukan sesuatu yang bisa kukerjakan dengan bangga. Tapi tentang pulang. Karena ternyata tahun 2018-ku diwarnai cerita-cerita tentang kepulangan.

Mereka yang berpulang

Bulan Maret , aku menerima sebuah kepulangan yang cukup mengejutkan. Bapak berpulang. Hanya selang seminggu setelah Ibu mengabarkan Bapak demam. Hanya dua hari setelah Hanum mengabarkan Bapak masuk rumah sakit. Hari Sabtu pagi Bapak masih cukup segar untuk menyuruhku takziah ke tetangga depan rumah kami. Lalu Ahad dini harinya, Bapak juga berpulang. Kepulangan yang sangat mengejutkan, bukan hanya karena beliau adalah bapakku –laki-laki paling dekat denganku –namun juga karena Bapak adalah sosok yang sangat sehat, di antara kami serumah, bisa dikatakan Bapak yang paling jarang sakit, Bapak yang paling menjaga pola hidup, mulai dari pola makan, jam tidur, rutin olah raga, punya manajemen stres yang baik sehingga beliau orang paling jarang marah-marah di rumah, paling banyak senyum dan sabarnya di antara kami serumah.

Dalam waktu delapan bulan setelah kepulanganku ke Jogja, sudah dua takziah yang kudatangi. Keduanya adalah teman seangkatan, satu teman seangkatan waktu SMA dan satu lagi teman seangkatan sewaktu SMP. Keduanya, meninggalkan rasa sedih dan kaget yang aneh. Dan mereka bukan yang pertama. Sejauh ingatanku, sudah tiga orang teman sekelas waktu SMP berpulang. Dua teman seangkatan waktu SMA. Dan satu teman seangkatan waktu kuliah. Umur memang nggak ada yang tahu.

Kupikir tahun ini, Putri akan mengingat tanggal ulang tahunku dengan benar setelah tahun lalu, dia mengirimiku ucapan selamat ulang tahun di tanggal 21 Desember lalu dengan polosnya menjawab “Aku sebenernya emang bingung sih, kamu ulang tahunnya tanggal 12 apa 21 lalu kuputuskan untuk ngasih selamat di tanggal 21, ternyata salah hahaha,” ketika aku bilang ulang tahunku udah lewat. Ternyata umur Putri nggak sampai hari ulang tahunku tiba.

Dan terakhir menutup tahun 2018, aku menerima lagi sebuah kabar kepulangan yang cukup mengejutkan. Dylan Sahara, teman yang kukenal sesaat di SMA berpulang, menjadi salah satu korban dari musibah tsunami di Tanjung Lesung.

Aku pulang

Jogja, Yogyakarta, Ngayogyakarta atau apa pun orang boleh menulisnya, aku akan selalu mengejanya sebagai rumah.

Bulan April, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Jogja. Mungkin kelihatannya mudah. Atau kupikir begitu. Karena kondisiku di kantor waktu itu juga sudah kacau, resign sudah jadi semacam cita-cita harian. Bahkan surat resignku sudah kutulis sejak Januari. Saking kacaunya, aku bahkan main resign aja tanpa punya pekerjaan baru bahkan di exit interview saat Mas COO bertanya soal  rencanaku selanjutnya, aku dengan tegas menjawab “break dulu kak.”

Sore itu, akhirnya aku tanda tangan kesepakatan putus hubungan kerja. Jalan Kemang Timur Raya masih ramai seperti biasa tapi aku nggak bisa memungkiri bahwa terasa ada yang hilang dariku. Sesampainya di kontrakan, meletakkan tas, ganti baju, aku cuma bisa melamun sampai Odi pulang.
“Seneng nggak mbak akhirnya sudah resign?” tanyanya.
 “Kirain aku bakal seneng udah resign, ternyata tetep sedih ya,” jawabku, tanpa terasa mulai ada air mata yang turun. Odi cuma bisa puk-puk sambil bertanya, “Udah makan belum? Kubikinin indomie goreng ya,” katanya menghibur. Terus ya udah, aku menghapus air mata, nyusulin Odi ke dapur bikin indomie goreng. Lalu kami menyusun rencana piknik sebelum aku kembali ke Jogja.

Sebulan setelah Bapakmu nggak ada kamu bisa piknik? Bisa. Bagi orang-orang terdekat yang tahu gimana kacaunya aku waktu itu pasti paham bangetlah betapa aku perlu piknik, meski tipis-tipis aja karena ya pikniknya paling jauh cuma sampai Pulau Kelor kok.

Yang paling sulit dari meninggalkan Jakarta adalah tentu saja orang-orangnya. Odi, Bibi dan Fara, orang-orang yang rasanya paling berjasa membuat Jakarta terasa lebih manusiawi ditinggali. Di luar teman-teman kantor hanya sangat sedikit orang yang kupamiti, Dias, Dita dan Ervina. Bahkan Fadel pun nggak kupamiti langsung meski akhirnya dia tahu dari Dias dan kami sempat ketemuan sebentar sebelum aku pulang. Selain orang-orangnya, packing adalah bagian paling menyebalkan dari pulang ke Jogja. Bahkan setelah belasan kilo barang kukirim via ekspedisi, aku masih super repot nenteng ini dan itu.

Kadang, aku masih merasa kangen sama Jakarta sih. Kangen kebebasannya. Kangen punya temen main yang hampir selalu available. Kangen kesepianku di Jakarta kalau mulai merasa Jogja terlalu berisik, rasanya pengen impulsif pesen tiket dan kabur sebentar.

Sisi paling menyenangkan dari pulang ke Jogja adalah betapa mudahnya kota ini menghadirkan rasa tenang dan cukup. Meski ya harus adaptasi lagi dan ternyata nggak mudah. But, life ain’t easy, is it?

Episode 2018 yang rasanya amat tertatih-tatih kujalani itu, hari ini kusyukuri. Hari-hari di Jakarta yang sepi, yang dulu sering kukeluhkan itu, hari ini kusyukuri. Bahkan kadang kurindukan. Ternyata hidup tu gitu ya, hari-hari berat yang rasanya nggak akan sanggup dilewati itu akhirnya berlalu. Ketika berlalu yang tersisa tinggal rasa syukur dan kadang menertawakan diri sendiri. Kadang satu-satunya cara menikmati kepahitan hidup memang dengan menertawakannya kok. Tertawakan, rayakan hidup semeriah, segembira yang kita bisa karena kita nggak pernah tahu kapan waktu kita berkelana di dunia habis dan harus berkemas untuk pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup