Langsung ke konten utama

Lunturnya Tata Ruang Konsentris*


Konsep semesta menjadi inspirasi awal pembangunan Yogyakarta. Sayang, kepentingan ekonomi membuat keseimbangan semesta sekadar cerita.

Kraton menjadi pusat dalam tata ruanng konsentris (gambar dipinjam dari kangjava.files.wordpress.com)


Istana di Jawa berfungsi sebagai citra dunia. Ia adalah mikro kosmos yang menjadi bagian dari makro kosmos bernama semesta. Demikianlah kata Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid III (2008) ketika menjelaskan keraton sebagai mandala. Sebagaimana semesta, ia terdiri dari lingkaran-lingkaran orbit. Masing-masing orbit disimbolkan melalui nama ruangan. Sebagai pusat, terdapat Prabayeksa yang menjadi tempat penyimpanan pusaka paling keramat. Benda pusaka itu menjadi legitimasi wahyu kekuasaan raja. Selanjutnya, berturut-turut terdapat srimanganti, kemandungan, brajanala, dan sitinggil hingga mencapai alun-alun. Masing-masing ruangan berpasangan melintang dari utara ke selatan. Tata ruang inilah yang berlaku di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kota pun dibangun dengan konsep yang sama. Keraton berdiri sebagai pusat negara. Di dalamnya berdiam sultan bersama dengan keluarganya. Sementara itu, alun-alun mengapit keraton dari sisi utara dan selatan. Di sisi barat, berdiri kokoh Masjid Gedhe Kauman. Sementara di sisi timur terdapat penjara. Lalu, pasar Beringharjo berada di sebelah utara keraton. Sedangkan di sebelah selatan, berdiri Panggung Krapyak. Seperti susunan dalam istana, tata ruang di luar keraton juga mengacu pada konsep mandala.

Pembangunan keruangan Jogja pada awalnya mengacu pada konsep keraton yaitu hamemayu hayuning bawono. Konsep ini menunjuk pada upaya menciptakan kesejahteraan di dunia dengan hidup selaras dengan Tuhan maupun sesama. Peletakan keraton, tugu, gunung merapi hingga laut selatan dalam satu garis lurus imajiner menunjukkan hal itu. “Ruang, dalam alam pikir Jawa merupakan jaringan simbolis untuk mengkomunikasikan pesan tertentu,” tutur P.M Laksono, dosen Antropologi UGM. Pandangan ini menjadi cermin bagaimana konsep keruangan dalam alam berpikir Jawa menekankan pada kehidupan vertikal dan horizontal yang harmonis.

Pembangunan Tamansari di barat daya keraton dapat menjadi contoh bagaimana makna dijalin dari keruangan yang dibangun. Motif Tamansari didominasi oleh air sebagaimana keraton Majapahit dahulu. Di Kompleks Tamansari terdapat kebun buah, anjung-anjungan, dan kolam besar yang di tengahnya berdiri pulau memanjang. Ketika ingin mencapainya, sebuah lorong bawah air dibangun. Sementara di lorong yang lain, menjulang mihrab kecil tempat raja bersemadi. “Dengan imajinasi, dapat kita ciptakan kembali suasana pohon-pohon mewangi dan hewan jinak, yang dahulu membuatnya seperti taman dewata,” kata Lombard.

Kampung di sekitar keraton juga dirancang untuk mengoptimalkan fungsi keraton dengan melakukan pengelompokkan berdasar profesi dan kekerabatan dengan keraton. Penamaan wilayah berdasar pada profesi masih dilestarikan hingga sekarang seperti Wirobrajan, sebagai daerah ditempatkannya prajurit korps Wirobraja. Ada juga Patehan, sebagai tempat tinggal abdi dalem pembuat teh. “Pengaturan ruang yang spesifik memudahkan keraton dalam memobilisasi abdi dalem sehingga lebih fungsional,” jelas Laksono. Apalagi, pada masa keemasannya, keraton sangat sibuk sebagai pusat kegiatan politik maupun seni, tambahnya.

Akan tetapi kehadiran pemerintah kolonial menghadirkan corak baru dalam tata ruang Jogja. Konsep pembangunan yang diterapkan pada masa kolonial ditujukan untuk semakin mempermudah masuknya modal ke Yogyakarta. “Meski masih sama-sama mengacu pada keraton namun Belanda juga membangun pusat kotanya sendiri mulai dari loji, kotabaru, sagan, hingga pembangunan gedung agung di jantung keraton,” kata Yoshi Fajar Kresna Mukti, pemerhati tata ruang.

Perubahan tata ruang Jogja lantas bergerak dinamis seiring dengan perkembangan zaman. Menurut Yoshi, terdapat beberapa penanda penting perubahan kota. Penanda ini dimulai dari pasca deklarasi kemerdekaan Indonesia. “Deklarasi kemerdekaan Indonesia menjadi momentum yang meningkatkan euforia masyarakat yang mengalami peralihan status menjadi warga negara baru,” kata Yoshi. Sebagai masa transformasi, tata kota yang sudah dibangun Belanda mengalami diskontinuitas. Massa kota yang mengalami euforia menjarah dan mengalihfungsikan bangunan tinggalan Belanda.

Setelah orde lama tumbang, pembangunan menjadi orientasi berpikir pemerintahan Soeharto. Ruang pun dinilai dari perannya dalam pembangunan. Di Jogja terjadi perubahan yang signifikan. Masyarakat Jogja yang biasa terbagi dalam satuan kewilayahan menjadi terpecah oleh pengetatan adminstrasi yang diterapkan pemerintah. Munculnya kelurahan sebagai satuan pemerintahan baru menjadi salah satu penyebabnya. “Pada tahun 1983, muncul peraturan pembentukan kelurahan di kota dan penghapusan rukun kampung. Hal ini berdampak besar,” kata Yoshi. Meski Jogja baru menerapkan aturan pada tahun 1989, kondisi ini membuat ikatan pertetanggaan menjadi administratif dan politis sehingga rapuh serta tidak lagi bersifat kultural.

Apalagi pada masa itu daerah sering dianggap sebagai miniatur dari pusat. Pembangunan dilakukan dengan logika jakarta sentris dan menempatkan daerah untuk sekadar mengekor. “Gagasan pembangunan diturunkan dari pusat dan daerah hanya menjalankan,” jelas Yoshi lagi.

Masih di masa orba, momentum oil boom pada 1970-an turut membuat perubahan landskap kota. Meningkatnya masyarakat kelas menengah terutama dari kalangan pegawai negeri dan militer membuat mulai dibangunnya beberapa real estate dan perumahan mewah. Kondisi ini turut mempengaruhi perubahan gaya hidup hingga ke desa. Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan urbanisasi meningkat tajam. Sayangnya, pemerintah kota kurang memikirkan dengan serius arah pembangunan ruang di kotanya karena mereka berada di bawah kekuasaan militer yang ketat. “Bukan hal yang aneh bila sekarang kita saksikan kantong perumahan tidak terencana di pinggiran sungai terutama Kali Code,” terang Yoshi.

Sayangnya, meningkatnya kewenangan daerah seiring bergulirnya otonomi daerah dan desentralisasi tidak membuat arah kebijakan tata ruang Jogja semakin terarah. Pasca 1998, terjadi penguatan identitas lokal misal menggemanya slogan jogja istimewa. Namun Yoshi menyayangkannya karena citra keistimewaan yang digembar-gemborkan tidak dibangun dari kerja tata ruang nyata yang diangkat dari lokalitas.

Pada 2012, keistimewaan Yogyakarta diformalkan dengan terbitnya UU No. 13 Tahun 2012. Terbitnya undang-undang ini menjadi penanda baru arah pembangunan Yogyakarta. Di dalamnya, makna keistimewaan Yogyakarta bertumpu pada lima aspek yaitu pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan pemerintah DIY, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang. Menurut Yoshi, salah satu bagian yang perlu dicermati adalah persoalan tanah dan implikasinya terhadap tata ruang. Di Jogja terdapat banyak tanah yang tidak jelas statusnya seperti kasultanan dan kadipaten  ground dan wedi kengser. Wedi kengser merupakan tanah yang terbentuk dari sedimentasi sungai lalu dimanfaatkan menjadi permukiman. Pada awalnya, ketidakjelasan status tanah tersebut dapat menjadi rem komodifikasi ruang di Jogja. “Tanah yang tidak jelas statusnya membuat investor ragu untuk menanamkan modalnya,” jelas Yoshi.

Dengan disahkannya UUK membuat kasultanan dan kadipaten menjadi bahan hukum sebagai subyek hak kepemilikan tanah sehingga kepemilikannya diakui secara legal. Hal ini membuat, tanah-tanah tersebut dapat disertifikasi. “Status tanah yang menjadi jelas  akan memudahkan masuknya investasi ke Jogja,” kata Yoshi khawatir. Padahal, dapat kita saksikan bagaimana pembangunan Jogja belakangan. “Penataan Jogja belakangan condong ke arah ekonomi,” kata Angger Puarazmi, ketua komunitas Pemuda Tata Ruang (Petarung). Ia melanjutkan, akibatnya pembangunan-pembangunan di daerah ini berupaya memenuhi kepentingan ekonomi.

Tata ruang yang condong ke arah ekonomi ini pernah dikhawatirkan oleh Marx. Dalam Space and Social Theory (2007), Zieleniec menulis pendapat Marx tersebut. Menurutnya ruang, kepemilikannya, penataannya, kontrol atasnya, dan manipulasi, akan menjadi kekuatan tambahan bagi kapitalisme. Menurut Yoshi, hanya dengan keinginan dari pemerintah penataan kota dapat diperbaiki. “Pemerintah harus memiliki keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas dan harus dinyatakan dari awal, jangan ambigu,” tegas Yoshi. 

*Dimuat di Majalah Balairung edisi terbaru "Benturan Kepentingan Penguasaan Tanah". Majalah Balairung bisa didapatkan gratis di perpustakaan pusat UGM, perpustakaan fakultas, dan beberapa titik di seputaran Jogja. Grab it fast ya guys :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Ringkasan Perpindahan-perpindahan di Tahun 2017

Tahun 2017, secara garis besar masih sama seperti tahun lalu. Temanya masih pindah. Kalau tahun lalu, perpindahan dimulai dari resign dari pekerjaan parttime di awal tahun. Lalu, pindah dari status mahasiswa jadi pengangguran lalu jadi pekerja. Pindah-pindah dari satu freelance satu ke freelance yang lain. Hingga di akhir tahun, dapat perkerjaan yang bikin jalan-jalan ke 5 kabupaten selama sekitar 3 bulan. Awal tahun, punya pekerjaan baru. Pindah habitat, dari Jogja ke Jakarta. Beradaptasi hingga akhirnya harus berdamai pada banyak sekali hal baru. Berdamai hidup sendiri. Berdamai dengan lingkungan baru yang sama sekali asing. Dan mungkin yang paling berat, berdamai dengan masalah-masalah baru yang sebelumnya seakan tidak pernah ada. Pindah dari Jogja ke Jakarta adalah satu hal. Pindah dari sekamar sendiri jadi sekamar kos berdua adalah hal lain. Lalu pindah ke kontrakan dengan 4 orang di dalamnya adalah hal yang lain lagi. Soal kerjaan, meski ada di satu perusahaan yang sama...