Langsung ke konten utama

Surat untuk Kepala Daerah*


Kepada Yth.
Ibu Ida Idham Samawi
Di Bantul

Dengan hormat,

Ibu, ini adalah kali pertama kita berjumpa, melalui surat ini. Bagaimana kabar Ibu di sana? Semoga baik-baik saja. Dengan begitu, saya harap Ibu bisa menjalankan amanah sebagai bupati dengan baik. Saya juga berharap Ibu bisa meneruskan pembangunan dan kebijakan Pak Idham yang baik dan memperbaiki yang belum, sebagaimana harapan semua warga Bantul saat memilih Ibu.


Ibu, melalui surat ini saya ingin mencurahkan kerisauan saya atas keadaan Kabupaten Bantul.  Kita akan melihat Bantul sebagai sebuah daerah pinggiran kota (urban fringe area). Pertumbuhan Kota Yogyakarta yang mulai beranjak ke arah metropolis membuat Bantul mau tidak mau turut terkena imbasnya. Ibu tentu juga menyaksikan bagaimana sawah-sawah beralih fungsi menjadi perumahan dan bangunan yang lain. Di daerah saya Bu, di Sedayu, mulai muncul rumah permanen di lahan tebu atau sawah, sekarang memang masih sendirian namun bukan tidak mungkin akan jadi lebih banyak layaknya perkampungan. Di daerah seperti Kasihan dan Banguntapan yang berbatasan langsung dengan kota, lajunya jauh lebih cepat apalagi dengan kehadiran developer.

Masalahnya Bu, bukan saja mengenai densifikasi permukiman namun juga menyangkut pola adaptasi masyarakat akan budaya baru perkotaan yang berbeda dengan pedesaan. Juga, pola adaptasi pola pengaturan pemerintah, hari ini mungkin Pemkab Bantul belum merasa perlu memikirkan tentang sampah dan transportasi publik  namun seiring laju Bantul yang mengkota maka rasanya kebijakan preventif perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah perkotaan. Ini hanya usul saya  Bu, supaya tidak terlanjur ruwet seperti kota-kota yang  lain. Karena saya dan masyarakat Bantul yang lain masih ingin kabupaten ini tetap asri dan nyaman untuk ditinggali hingga nanti.
Bantul memang nyaman Bu. Apalagi bagi orang-orang kota yang sudah penat dengan knalpot dan pekerjaan menggunung. Di Bantul, masih ada sawah-sawah luas, pohon-pohon rindang, masyarakat desa yang erat dengan komunalismenya, serta berbagai fasilitas kesenian, akses ke kota pun sangat mudah dan dekat. Oleh karena itu, banyak orang memilih tinggal di Bantul dan tetap bekerja atau bersekolah di kota. Pola mobilitas warga DIY memang rata-rata didominasi oleh mereka yang nglaju (Giyarsih, ___ ). Seperti yang saya alami setiap hari Bu. Akibatnya, jalan-jalan menuju kota padat bukan main pada jam berangakat dan pulang kantor.

Memang bukan hal yang mudah namun pasti bisa. Saya pernah dengar dari Kepala Dinas Pariwisata Jogja bahwa mengatur kota benar-benar bukan mudah. Beliau menyatakan, kadang seorang pemimpin tidak bisa menembus birokrasi. Apakah Ibu mengalami hal serupa? Birokrasi memang sering kali punya nalarnya sendiri. Birokrasi yang diidealkan Weber sebagai organisasi yang hirarkis dan non politis rasanya masih sulit terwujud. Birokrasi kita terlanjur biasa berpolitik. Ego sektoral dalam birokrasi kadang menyulitkan kepala daerah dalam mengambil kebijakan publik. Belum lagi kadang mereka bekerja seperti mesin, berdasarkan hafalan luar kepala dan bila sistem berubah jadi sulit menyesuaikan. Namun, saya lihat, Pak Idham mampu menerobos birokrasi ini dengan berbagai program seperti babonisasi dan jatinisasi. Pak Idham tentu sudah membagi trik suksesnya pada Ibu ya.

Beliau juga mengatakan bahwa sering kali aktor non formal menghalangi dalam penataan kota. Preman merasa terganggu bila ada penertiban karena pendapatannya akan berkurang bila negara hadir. Mereka yang biasa mengambil keuntungan dari ketidakhadiran negara dalam mengatur urusan publik gerah bila negara menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Parkir misalnya. Untuk urusan informality ini biasanya sangat kuat di daerah perkotaan, bila di daerah pinggiran kota seperti Bantul ini mungkin belum terlalu terasa, betul begitu Bu?

Belum lagi setting dunia global yang kata beliau sering tidak cocok dengan mau kita, para pemegang amanah publik. Setting kapitalisme yang hegemonik di hampir seluruh belahan dunia, menempatkan penguasa sebagai pelayan pengusaha. Aturan-aturan dimodifikasi bagaimana pun caranya agar memudahkan modal masuk. Akibatnya, penataan kota menjadi tidak ramah pada warganya sendiri namun hanya demi kepentingan segelintir orang yang memiliki modal besar. Menurut Bapak Kepala Dinas Pariwisata itu, pemimpin menjadi tidak dapat disalahkan atas kondisi yang karut-marut karena ia sendiri tersesak oleh setting global. Saya berharap, Ibu adalah pemimpin yang berani menerobos setting global itu, Bantul adalah wilayah Ibu, wilayah yang saya yakin Ibu kuasai betul apa potensinya dan bagaimana cara mengembangkannya. Pemimpin tidak boleh menyalahkan keadaan sebagai alibi kegagalannya memimpin.

Bantul memang belum sungguh-sungguh sebagai kota namun akan segera menjadi kota dalam beberapa waktu ke depan sebgai imbas dari perkembangan Kota Jogja. Inilah yang perlu Ibu antisipasi selaku pemangku kebijakan di Bantul. Proses merembetnya permukiman penduduk ini kadang lajunya lebih cepat daripada kemampuan daerah setempat beradaptasi. Akibatnya, ruwet, seperti banyak kota yang sudah-sudah.

Menurut Yunus (2011), perkembangan Bantul ini merupakan akibat dari perkembangan kota secara sentrifugal. Yaitu perembetan kota ke daerah pinggiran kota (urban sprawl). Kota harus ditata dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan (Yunus, 2011). Mau tidak mau, kita harus memahami bahwa dunia yang hari ini kita tempati adalah pinjaman dari anak-cucu. Oleh karena itu, kita mesti mengelolanya dengan bijak sehingga nanti anak-cucu tetap mampu memenuhi kebutuhannya dengan baik. Caranya, dengan tidak mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan. Pembangunan permukinan dan segala bangunan perlu mempertimbangan ketahanan pangan di masa kini maupun masa depan, ketersediaan air, dan kenyamanan kota sebagai tempat tinggal.

Pembangunan kota harus dibaca integral antara kepentingan kota itu sendiri dan daerah di sekelilingnya, termasuk wilayah pedesaannya (Yunus, 2011). Dalam banyak hal, Pemkab Bantul harus mau menata kota bersama dengan Pemkot Jogja, dan pemkab lain di DIY, juga bersama pemprov. Prinsip otonomi daerah mestinya tidak mengurangi komunikasi dan kerja sama antar daerah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat masing-masing. Kebutuhan seperti transportasi misalnya, di daerah yang menjadi pintu masuk dan keluar kota padat sekali, hal ini mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk mengadakan angkutan publik yang memfasilitasi. Memang ini akan menjadi rencana jangka panjang bila kita melihat karut-marutnya pengelolaan TransJogja hari ini. tapi sekali lagi, sebagai langkah preventif kebijakan ini perlu dipikirkan bersama, bila perlu Ibu menjadi penggagasnya.

Urban sprawl ini bukan saja berdampak secara spasial namun juga ke ranah sosio-kultural di dalam masyarakat. Kultur kota yang cenderung individualistis tidak akan cocok di dalam kultur desa yang sangat erat komunalismenya. Hal ini, bila tidak disikapi dengan arif oleh Ibu sebagai pembina masyarakat akan menimbulkan gesekan sosial. Menurut Yunus (2008), terdapat tujuh gelaja yaitu penurunan kualitas lingkungan pemukiman, terjadinya gejala dekohesivitas sosial, perpindahan petani ke lahan yang lebih jauh, diversifikasi mata pencaharian, alih mata pencaharian, pengurangan jumlah petani, dan perubahan gaya hidup. Semua itu, bila Ibu tidak kelola dengan bijak akan menghadirkan konflik horizontal. Penting untuk dilakukan juga Bu, konservasi atas kultur yang selama ini berlangsung. Misalnya memberika regulasi yang jelas untuk melindungi sawah produktif beririgasi teknis juga perlindungan atas usaha mikro sesuai cita-cita Bantul untuk menjadi kabupaten dengan produk UMKM sebagai unggulan. Soal birokrasi yang nakal, jewer saja Bu, rakyat pasti ada di belakang Ibu jika memang Ibu benar. Hehe.

Demikian yang dapat sampaikan Ibu. Semoga Ibu berkenan untuk membacanya. Apabila banyak dari kata saya yang kurang berkenan di hati Ibu, saya mohon maaf yang setulus-tulusnya. Terima kasih. Saya berharap Bantul akan mengalami perbaikan di tangan Ibu.

                Hormat saya,



Linggar Arum Sarasati


  
Referensi:

Buku:
Yunus, Hadi Sabari, 2008, Dinamika Wilayah Peri Urban Determinan Masa Depan Kota, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yunus, Hadi Sabari, 2011, Manajemen Kota Perspektif Spasial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

E-Journal
Giyarsih, Sri Rum, ____, Gejala Urban Sprawl sebagai Pemicu Proses Densifikasi Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area) Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta. diakses pada 28 Oktober 2013 pukul 14.14 WIB

* Tugas pengganti UTS Politik Perkotaan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Ringkasan Perpindahan-perpindahan di Tahun 2017

Tahun 2017, secara garis besar masih sama seperti tahun lalu. Temanya masih pindah. Kalau tahun lalu, perpindahan dimulai dari resign dari pekerjaan parttime di awal tahun. Lalu, pindah dari status mahasiswa jadi pengangguran lalu jadi pekerja. Pindah-pindah dari satu freelance satu ke freelance yang lain. Hingga di akhir tahun, dapat perkerjaan yang bikin jalan-jalan ke 5 kabupaten selama sekitar 3 bulan. Awal tahun, punya pekerjaan baru. Pindah habitat, dari Jogja ke Jakarta. Beradaptasi hingga akhirnya harus berdamai pada banyak sekali hal baru. Berdamai hidup sendiri. Berdamai dengan lingkungan baru yang sama sekali asing. Dan mungkin yang paling berat, berdamai dengan masalah-masalah baru yang sebelumnya seakan tidak pernah ada. Pindah dari Jogja ke Jakarta adalah satu hal. Pindah dari sekamar sendiri jadi sekamar kos berdua adalah hal lain. Lalu pindah ke kontrakan dengan 4 orang di dalamnya adalah hal yang lain lagi. Soal kerjaan, meski ada di satu perusahaan yang sama...