Langsung ke konten utama

Perempuan Digilas Mimpi Modernitas*


Sejak semula diciptakan, laki-laki bertugas berburu sementara perempuan mengumpulkan. Laki-laki melindungi, sementara perempuan memelihara. Perbedaan tugas sejak awal inilah yang menyebabkan keduanya berevolusi dengan cara yang berbeda hingga kini akibatnya struktur otak keduanya tumbuh dengan cara yang berbeda (Pease dan Pease, 2001).


            Dari segi budaya maupun sosial, perempuan merepresentasikan rumah. Sebuah tempat yang damai, harmonis, indah, halus, dan suci. Sementara, laki-laki merepresentasikan keadaan yang sebaliknya, ia kasar, penuh ketidakpastian, dan keras. Dua dunia yang berbeda sama sekali namun saling bergantung, tidak bisa dilepaskan antara satu dengan yang lain. Bukan hal yang mengherankan kemudian bila pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan menjadi isu yang sensitif dan perlu dipikirkan karena dianggap melukai representasi nilai perempuan.
            Perpaduan antara keduanya menghasilkan laki-laki yang eksis di luar rumah dan perempuan yang melakukan pekerjaan domestik. Sebuah pembagian kerja yang didukung secara fakta sains dan nilai. Namun demikian, masalah muncul ketika dunia menjadi materialistis akibat tidak terhindarkan dari laju modernitas. Uang menjadi tuhan baru dalam peradaban manusia. Konsekuensinya, laki-laki yang mencari nafkah menjadi pihak yang dominan. Ia memegang alat kuasa bernama uang atau modal. Dengan begitu, tidak terelakkan bagi perempuan untuk menempati posisi sebagai sub ordinat, kanca wingking laki-laki.
            Demi keluar dari posisi tak menguntungkan itu, perempuan keluar rumah. Mengerjakan pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Ia harus keluar dari dunianya. Ia memang bisa melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki namun ia berada dalam posisi yang rawan.
            Perempuan dan laki-laki pada dasarnya berbeda, tidak ada yang lebih baik. Kesetaraan kesempatan dan akses memang perlu diperjuangkan namun tidak boleh melupakan bahwa kodrat masing-masing berbeda. Hal yang alpa dipahami alam modern. Semakin materialistis maka semakin tersisihlah perempuan karena secara tidak langsung perempuan harus bersaing dengan laki-laki yang tercipta untuk menjadi partner. Yang lebih penting, ketika laki-laki dan perempuan sama-sama keluar rumah, ada nilai dan fungsi yang tidak tergantikan. 

* ditulis sebagai salah satu persyaratan mengikuti Sekolah Menulis Esai yang diselenggarakan oleh Yayasan LKiS dan Jaringan Gusdurian, alhamdulillah, bersama tulisan ini saya berhak mengikuti kegiatan tersebut :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Stand Up Comedy: Menertawakan Diri Sendiri*

Ia anak rumahan. Meski aktif di sebuah unit kegiatan mahasiswa, perputaran kehidupannya memang lebih banyak di rumah. Dari umur empat puluh hari hinggga kini lebih dari 20 tahun, ia tinggal di rumah. Di dalam rumah, tak ada banyak identitas yang bisa ditemui. Ditambah lagi, ia tinggal di desa yang punya komposisi nyaris homogen, semua penduduknya Islam dan Jawa. Kampus hanyalah tempat singgah apalagi belakangan UGM lebih banyak didominasi mahasiswa Pulau Jawa. Di kelasnya, hampir separuh mahasiswa, adalah penduduk DIY dan Jateng. Media, bagaimana pun adalah arena kontestasi, termasuk di dalamnya mempertentangkan identitas sebagai bagian dari kekuasaan. Di televisi, olok-olok pada mereka yang punya logat kental Ngapak dimulai, juga pada mereka yang Madura, Batak, dan stigmatisasi pada mereka yang berkulit gelap dari belahan Indonesia Timur. Termasuk stigmatisasi pada para difabel. Suatu malam, yang saya lupa tepatnya, dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji seorang pemeran denga...