Photo by Kiki Siepel on Unsplash |
Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward.
Membaca kedua tulisan itu,
membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.
Aku, jujur aja takut sekali dengan
parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target
angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.
Hal itu bukan hanya target terkait
pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka
di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak
penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan,
tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak
testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah
masih jadi salah satu hal dalam bucket list-ku). Dan daftarnya bisa
kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information
dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.
Tapi hidup dalam ketakutan menghadapi
angka-angka target dan ukuran pencapaian kok ya bikin aku sering kali merasa
hilang arah. Sebenarnya, hidupku udah mengarah ke tempat yang kuinginkan belum
sih, apakah pilihan-pilihan dan keputusan yang kubuat setiap hari mendekatkanku
pada tujuan yang kuinginkan?
Mau tidak mau aku juga mengakui
kalau angka adalah parameter yang paling mudah. Aku berdamai dengan angka-angka
dan pencapaian.
Lewat olahraga.
Ini paragrafnya patah nggak nih? Mana
bridging-nya? Hahahaha.
Tahun 2021 ini, aku lumayan rajin
olahraga, seminggu bisa 3-4 kali meskipun di akhir tahun ini mulai kendor lagi
huahahaha. Konsistensi dan disiplinku ini ampun deh serapuh kembang tebu sing
kawur kanginan (you sing you lose).
Bukan olahraga yang luar biasa, please
jangan punya ekspektasi yang ketinggian padaku si potato couch ini.
Aku tuh takut deh mau ngomongin
perjalanan olahragaku karena takut kalau ketemu ditanya, katanya olahraga
kok nggak kurusan gitu.
Jadi, hanya karena aku menulis
soal olahraga di sini, janganlah nanti kalau kita ketemu kamu tanya soal kurus
ya wahahahaha.
Balik lagi soal gimana akhirnya
olahraga bisa berdamai dengan angka-angka dan pencapaian ini.
Aku tuh mulai olahraga tahun 2019
(?), sempat nulis perjalanan awalnya di sini. Dari jalan kaki muter Tambak Boyo
sama Denia, kadang sama Rinta juga, kadang jalan sambil nyari cilok juga hingga
mulai rutin jalan pagi sambil berjemur di sekitaran rumah.
Mulai bosen jalan kaki aja, lalu
eksplor tutorial olahraga di Youtube. Kadang yoga, atau malah walk at home gitu
seiring dengan level PPKM dan kegawatan pandemi di sekitaran rumah. Pokoknya
yang ringan-ringan banget, ku tak shanggup shay kalau lelumpatan yang heboh
gitu, nafas kek mau putus.
Sampai situ sebenarnya udah
tercapai tujuan awal, mau lebih banyak bergerak dan berjemur karena kan
hari-hari aku memang cuma duduk dan dalam ruangan terus. Ini bukan cuma nggak
sehat untuk fisik dalam jangka panjang tapi juga nggak sehat untuk kondisi
mentalku.
Tapiiii… kok tetep ya ada nggak
puasnya. Awalnya karena aku coba-coba nimbang, kok nggak berubah ya angka di
timbangan. Ajeg aja segitu. Kemudian aku sadar juga, lha wong makan juga
seperti biasa kok.
Dari sana aku tetep
eksplor-eksplor Youtube terus ketemu kalau olahraga jangan kardio aja, beban
juga penting bisa pakai alat bisa pake beban tubuh aja. Penjelasan paling asik
dari Ade Rai di sini.
Teruuuusss masih dalam rangka
mengukur progress olahraga akhirnya aku juga mengukur, lingkar tubuh. Nah…
kalau yang ini ternyata emang ada perubahan lho. Ada lah beberapa centi yang
hilang selama beberapa bulan.
Olahraga yang niatnya cuma biar
nggak duduk dan rebahan berulang-ulang menjadi tidak puas kalau nggak ada
ukuran progressnya.
Aku yang anaknya, jalanin aja,
selow aja, mulai meragukan kalau aku bilang tidak ambis. Hahahahahaha.
Terus kenapa kalau ‘cuma’ olahraga
aja aku ambis bener ngukurin progressnya kok hidup malah sak tekane.
Tapi di sisi yang lain, olahraga
juga membuatku melihat angka dalam sisi yang lain. Bukan cuma sisi ngegasnya tapi
juga sisi ngeremnya.
Gini, betul bahwa olahraga bikin
aku berdamai dengan target; durasi latihan, frekuensi latihan, berat angkatan,
set dan repetisi yang dilakukan, angka timbangan, lingkar tubuh dan yang
lain-lain. Di saat yang sama, olahraga juga memastikan mengukur durasi
istirahatnya. Nggak boleh lho seminggu penuh latihan full, geber terus demi
angka-angka target di atas. Kalau begitu, jatuhnya akan seperti postingan Koh
Edward.
Akhirnya, aku berdamai dengan
angka-angka target dan pencapaian; baik uang yang ditabung dan investasikan
maupun yang jadi self-reward atau hal-hal berkedok self-reward, baik waktu
rebahan maupun waktu olahraga, waktu kerja dan waktu yang kubuang percuma buat
Netflixan dan Twitteran tanpa merasa bersalah berlebihan.
Di tahun yang ekspektasiku hanya mau hidup aja dan menyaksikan Ikjun dan Songhwa jadian, akhir tahun ini memberi banyak kejutan. Banyak hal-hal melebihi ekspektasi yang terjadi, hal-hal yang kusebut pencapian terwujud. Ini yang makin bikin berani menghadapi angka dan pencapaian, bikin perjalanan yang keliatan kayak siput itu ternyata ada dan bisa sampai ke tujuan. Mungkin, di titik ini udah bukan lagi pencapaian tapi lebih ke keajaiban.
Bukan cuma melihat Ikjun dan
Songhwa jadian, aku juga menikmati Hong Dushik dan Yoon Hyejin, sekarang lagi
nungguin Kook Yeonsu dan Choi Ung balikan (waktu di posting, malah udah nikah mereka berdua).
Target-target dan pecapaian berupa
angka ya penting juga, biar kerasa progressnya tapi angka juga kadang relatif
kok, usia 28 tahun belum menikah maka dibilang tua tapi kalau 28 tahun
meninggal dibilang terlalu muda.
Ngomong-ngomong soal target, aku
baru sadar di hidup ini, tarhet-target dalam hidup, angka-angka di dalamnya sebenarnya nggak banyak yang harus; harus dicapai, harus dipilih, harus dijalani, bahkan mungkin
satu-satunya yang harus tuh cuma bertanggung jawab atas konsekuensi pilihan
kita. Hidup memang serangkaian pilihan ternyata, tentang memilih mana konsekuensi yang sanggup kita tanggung.
Dan ngomong-ngomong soal pencapaian, definisinya terserah kita. Masalahnya kita berani nggak milih definisi kita sendiri, merasa cukup dengan definisi kita sendiri?
(pembaca: bolos mapel Bahasa Indonesia ya, pake 'dan' kok di awal paragraf)
Akhir kata, selamat memilih, selamat mendefinisikan, selamat menjalani pilihan-pilihan kita semoga sampai ke tujuan mumpung Januari baru berakhir belum telat untuk bikin-bikin resolusi tahun baru, atau melanjutkan yang kemarin juga gapapa. Bebas~
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)