Photo by Kenan Kitchen on Unsplash |
“Selamat ulang tahun,” katamu pagi itu. Saat belum ada seorang pun mengucapkannya baik melalui pesan singkat maupun kecup hangat. Setelah sekian lama, aku kembali berharap berumur panjang agar akan ada pagi seperti ini lagi tahun depan, tahun depannya lagi, tahun depannya lagi sampai, jika mungkin kamu mengucapkannya sesaat setelah membuka selimut, berguling ke arahku, meraih puncak kepalaku yang rambutnya mulai abu-abu.
Pagi ini, ulang tahunku datang sekali lagi. Tapi kamu tidak di sisiku dan tidak akan mengucapkan selamat ulang tahun lagi. Pagi ini aku masih berharap semoga umurku panjang meskipun mungkin bukan kamu yang akan menyaksikan rambutku berubah menjadi keperakan.
Berulang kali aku mengecek ponsel, mencari namamu di sana, sembari berharap ada terselip pesan selamat ulang tahun darimu. Tidak ada. Tak peduli seberapa banyak pun aku membuka dan menutup aplikasi pengirim pesan dan menyegarkan ulang halamannya. Dan kenapa aku masih berharap?
Aku keluar kamar dan menyapa bayi-bayi romaine tepat di luar jendela kamarku. Kubisikan semangat agar mereka tak layu dan kalah melewati musim penghujan yang lagi-lagi ganas. Curah hujan tinggi, angin kencang membuat bayi-bayiku rebah sementara tak ada matahari yang membuat mereka bangkit kembali.
Lagi-lagi, aku ingat padamu. Tentang kebijaksanaan hidup para petani yang sering kau dongengkan. Kesabaran mereka merawat, menunggu, tanpa jaminan kembali. Kesabaran mereka berproses meski berkali-kali dikhianati pasar dan keadaan. Tapi tak ada yang bisa membuat mereka berhenti menanam, tidak musim hujan yang datang lebih awal sehingga tembakau layu dan tak bisa kering, tidak juga tengkulak yang curang atau pun pemerintah yang menyerah pada mekanisme pasar.
Berkali-kali, kau mengulangnya. Mengingatkanku untuk lebih setia pada proses, betapa pun tidak mudahnya,betapa pun tidak pastinya. Tak lupa, cerita solidaritas petani, betapa hubungan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat agraris yang setara karena faktor produksi dikuasai bersama tak seperti model masyarakat industrial yang cenderung meminggirkan peran-peran perempuan, betapa sederhana arti cukup bagi mereka dan mestinya, juga bagi kita. Tak lupa kau akan mengingatkan untuk lebih sering srawung, persis seperti omelan Bapak.
Selesai menyemangati para bayi romaine, aku berjalan ke kebun belakang menengok kompos yang setengah jadi. Lalu, kuambil sekop untuk mengaduk kompos. Kamu sering bilang, jangan lupa membawa kantong belanja sendiri. Jangan meninggalkan sampah di bumi, katamu. Kasihan para petani yang menuai badai yang kita tanam dari pemakaian plastik yang tidak terkontrol. Suhu bumi naik terus karena pembakaran energi fosil. Aku dulu sering ngeyel, kenapa kita yang hanya menggunakan sedotan sebiji, kantong plastik paling banyak lima dalam sehari yang harus bertanggung jawab atas kerusakan yang 71%-nya disebabkan oleh hanya 100 perusahaan besar[1]. Kau hanya menyentil dahiku pelan, semut yang membawa setetes air pada Ibrahim juga tak akan bisa memadamkan api yang tengah membakar tubuhnya tapi ia lakukan untuk memperjuangkan prinsipnya.
Hidup bukan semata-mata hitung-hitungan begitu. “Apakah kamu memilihku karena aku mencintaimu lebih banyak daripada lelaki lain? Atau karena aku mencintaimu lebih dari kamu mencintai dirimu sendiri? Apa ukuran yang kamu pakai?” tanyamu beruntun seperti gerbong kereta yang baru saja lewat. Aku hanya meringis. Lalu kamu meneruskan, “Apakah kamu juga akan berhenti mencintaiku ketika kamu merasa cintamu padaku tak sama banyaknya dengan yang kuberikan?” Mengambil kesempatan dari diamku, kamu meneruskan tentang betapa cintanya bumi pada kita, menopang kehidupan kita, dan tak ada salahnya untuk merawat tanpa menghitung siapa yang lebih besar merusak maka dia yang harus lebih banyak membetulkan. Toh, ukuran kita bias, pengetahuan kita terbatas. Melakukan yang kita bisa tak akan merugikan. Aku hanya membalas dengan memeluk lenganmu lebih erat dan kau balas dengan senyuman hangat.
Rasanya, aku masih bisa menemukanmu di antara wangi pagi yang basah sisa hujan semalam. Dan rasanya, aku sengaja memelihara kenangan tentangmu, merawatnya bersama dengan romaine yang tumbuh tepat di luar jendela kamarku. Lalu kupanen, kunikmati, menjadi energi penggerak aktivitasku, sisanya masuk ke komposter, lalu kugunakan untuk menanam romaine lagi di musim tanam berikutnya. Kamu tidak pernah mati.
[1] https://www.theguardian.com/sustainable-business/2017/jul/10/100-fossil-fuel-companies-investors-responsible-71-global-emissions-cdp-study-climate-change
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)