Langsung ke konten utama

When The Camellia Bloom: Potret Perempuan Kuat dan Keajaiban yang Mereka Ciptakan


Ketika pertama drama ini muncul di halaman beranda Netflix, aku langsung tertarik karena aku suka sama pemeran utamanya, Kong Hyo-Jin sejak dia main di Pasta (2012). 

Aku coba nonton episode pertama. Dibuka dengan adegan ditemukannya sesosok mayat di Danau Ongsan dengan ciri-ciri mengenakan gelang germanium hitam.
Flashback, seorang pendatang baru tiba di Ongsan, sebuah daerah sub-urban di Korea Selatan. Kecantikannya, membuat dunia di sekitar Gang Kepiting Rendam,tempat ia membuka bar yang diberinya nama Camellia, seketika berhenti. Para lelaki, tak sanggup menyelesaikan apa yang sedang dikerjakannya, mulut mereka ternganga melihat paras tetangga barunya yang menawan. Para istri mulai merasa terancam dengan kehadiran perempuan yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Dongbaek (Kong Hyo-jin). 

Dong-baek dan gelang germaniumnya.

Tapi kejutan dari Dongbaek tidak berhenti di situ, ia juga membawa seorang anak laki-laki berumur setahun, Pil-gu. Para tetangga mulai bertanya-tanya, kenapa Dongbaek datang hanya berdua Pil-gu tanpa suami. 

Sungguh berani.
Kehadiran Dongbaek, Pil-gu dan Camellia mengubah Ongsan. Para pria Ongsan yang “tertindas” oleh istri dan ibu mertuanya bisa minum-minum tanpa diawasi di Camellia. Sebabnya, para istri yang merupakan pemilik resto kepiting rendam memiliki kuasa yang lebih besar. Apalagi mereka berjejaring dengan sesama istri dan kerabat yang saling tersambung di seantero Ongsan. Sebagaimana daerah pedesaan lain, di Ongsan orang masih saling terhubung dalam kekerabatan, mereka tumbuh menjadi masyarakat komunal yang kompak. Tak heran, sulit bagi para lelaki ini untuk melepas penat tanpa diawasi.
Seorang ibu tunggal, yang mengaku belum pernah menikah sekaligus juga seorang pemilik bar yang menjual berbagai jenis alkohol, kurang empuk apa untuk jadi bahan nyinyiran tetangga? Sekomplek Gang Kepiting Rendam ini hanya Nyonya Kwak Deok-sun yang mendukungnya, bahkan memproklamirkan diri sebagai sahabat Dongbaek.
Tak lama setelah kepindahan Dongbaek, datang juga seorang petugas kepolisian yang baru saja dimutasi dari tugasnya di Seoul karena memukul seorang narapidana di depan awak media. Inilah Yong-shik, pria super bucin tapi gemas. Yong-shik adalah putra bungsu dari Deok-sun, anak yang paling ia sayangi karena lahir setelah kematian suaminya. 
Lalu drama ini bergulir sebagaimana plot drama yang kita tahu, Dong-baek dan Yong-Shik saling jatuh cinta. Namun tentu saja tidak mudah, halangan bukan hanya hadir dari pihak keluarga yaitu Deok-sun dan Pil-gu namun juga dari sang pembunuh berantai yang mengintai Ongsan.
Warning: spoiler.
Yang aku suka banget dari drama ini adalah Kong Hyo-jin tentu saja. Sang ratu drama yang katanya tak pernah gagal memilih proyek untuk diperankan. Kedua, awal mula Yong-shik jatuh cinta pada Dongbaek adalah di sebuah perpustakaan (atau toko buku, agak lupa) ketika Dongbaek sedang membaca Harry Potter. Aku selalu suka dengan kisah cinta yang berhubungan dengan buku, perpustakaan dan toko buku. Ditambah Harry Potter pula, waw jiwa Potterheadku bergetar. Oh ya, di story IG-ku, aku sempat bilang sepertinya Harry Potter yang dipegang Dongbaek adalah Order of Phoenix karena warna birunya tapi setelah aku pause dan aku zoom, ternyata Prisoner of Azkaban; favoritku. Lalu, Dongbaek pertama kali jatuh cinta pada Yong-shik di sebuah stasiun kecil di Ongsan ketika ia menceritakan mimpinya. Sejak “diracuni” Nisa dengan Trilogi Before aku nggak bisa melepaskan image kereta sebagai moda transportasi paling romantis.
Berbeda dengan Fara dan Mbak Maria yang geleuh dengan kebucinannya Yong-shik, aku justru suka. Dari mulai awal Yong-shik naksir Dong-baek dia lumayan kasih space untuk Dong-baek mengenalnya, bahkan di awal dia minta dianggap sebagai anjing yang mengikuti Dong-baek dan minta izin untuk menemani Dong-baek tiap kali merasa sedih. Sejatuh cinta itu tapi Yong-shik menawarkan untuk jadi teman dulu supaya Dong-baek juga punya waktu untuk kenal dia. Beberapa fans internasional juga menyayangkan karakter Yong-shik yang nggak tumbuh dari awal sampai akhir alias konsisten bucin. Menurutku, Yong-shik tumbuh juga seperti karakter lain, dari dia ngambek disamain dengan bapaknya Pil-gu, memutuskan untuk tidak lagi menjadi “pria baik-baik” sampai yang paling terasa eskalasinya ketika dia berani meminta Dong-baek untuk menghentikan layanan pesan antarnya di jam-jam larut pasca hilangnya Hyang-mi.
Selain itu, aku cukup suka dengan karakter Yong-shik ini. Dia tipe cowok yang nggak sok cool bahkan kata Dong-baek cenderung gampang, banyak ngomong dan blunt. Dia juga tipikal cowok yang ekspresif, kalau merasa sedih dan vulnerable lalu ingin menangis dan minta bantuan Dong-baek ya dia bilang. Tanpa harus merasa sisi maskulinitasnya ternoda *uhuk*. Konon, inilah yang bikin beberapa cowok Indonesia nggak suka dengan budaya pop Korea, karena rata-rata cowok Korea yang ditampilkan di drama atau pun mungkin K-Pop idol cenderung cowok-cowok yang nggak malu mengekspresikan perasaanya seperti menangis. Hal yang nggak lumrah bagi segolongan lelaki di sini. Eventhough, kesetaraan gender di Korea masih jadi isu yang sangat serius diperjuangkan sampai sekarang karena nyatanya nggak semanis yang nampak di layar kaca.
Drama ini juga lumayan menguliti persoalan gender sih sebenarnya, meskipun subtil. Misalnya lewat adegan upacara kematian bapaknya Yong-shik yang merasuki seorang saman lalu bilang ke semua orang yang hadir di sana, “Sebenarnya aku ditakdirkan untuk hidup mulia dan panjang umur namun takdirnya (sambil menunjuk Deok-sun) untuk menjadi janda lebih kuat.” Tengah malem aku mau ngumpat rasanya.
Oh, yang paling ketara mungkin hubungan mertua-menantu Ja-hyong-suaminya dan mertuanya. Ja-hyong yang super cerdas, blunt dan suka mengoreksi tata bahasa orang lain (sounds familiar?). Ja-hyong berprofesi sebagai pengacara perceraian di Ongsan sementara suaminya suka banget ntraktir orang-orang sambil petantang-petenteng cerita mau maju pemilihan gubernur. Alias dia pengangguran sih, pendapatannya didapat dari properti yang salah satunya disewa sama Dong-baek, tempat Camellia. Hubungan ketiganya seperti kritik pada hubungan suami-istri, menantu mertua, dan anak laki-laki serta ibunya.

Kalau ada yang aku tidak suka dari drama ini adalah caranya menggambarkan hubungan orang tua dan anak. Amat sangat tipikal para orang tua di Asia di mana orang tua dianggap manusia setengah dewa, yang tidak pernah salah. Orang tua dianggap paling tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Back story kisah Dongbaek dan ibunya menceritakan ini semua. Seorang ibu meninggalkan anaknya di panti asuhan karena merasa tak sanggup lagi mencukupi kebutuhannya; diceritakan ia melakukan itu demi kebaikan Dongbaek, setelah hari itu; ia tetap setia untuk menjadi bayang-bayang Dongbaek untuk melindunginya. Ketika dia datang ke Dongbaek dalam kondisi gagal ginjal yang parah, Dongbaek dengan ikhlas hati menyerahkan ginjalnya.
Dengan segala kerumitan yang sudah dibawa sepanjang film ini menyoal segala terkait hubungan-hubungan dalam keluarga, ending yang terlalu mulus untuk Dong-baek dan ibunya menurutku terasa kurang masuk nalarku. Gimana ya, seakan menempatkan anak dalam posisi yang durhaka kalau sampai bisa benci sama orang tuanya, bahkan kalau orang tuanya tidak menjalankan kewajibannya. Seakan hubungan anak dan orang tua adalah hubungan utang-piutang di mana posisi anak sebagai pihak yang selalu berhutang pada orang tuanya.
Aku nggak tahu, hubungan Dong-baek dan ibunya yang too good to be true ini semata dibuat untuk ending yang cepat dan memuaskan saja, atau karakter Dong-baek yang lagi-lagi too good to be true bahkan cenderung naif adalah standar industri untuk pemeran utama protagonis, kemungkinan lainya bisa jadi sesederhana aku yang terlalu bitter.
Apa yang bisa diambil?
Selesai menonton drama ini, membuatku mau tidak mau membandingkannya dengan sinetron di Indonesia. Drama Korea maju pesat mulai yang dulu hanya melulu mengangkat Cinderella story macam Boys Before Flower hingga kini punya isu yang jauh lebih beragam mulai dari korupsi seperti Signal hingga drama-drama yang mengangkat tema-tema slice of life seperti Because This is My First Life. Itu baru soal isu dan genre, belum lagi soal perspektif, When The Camellia Blooms ini memberikan perspektif lain di luar Seoul yang cukup menarik dan yang terpenting bukan hanya mengambil dialek serta aksesoris-aksesoris kulitnya.
Aku pribadi beneran jadi mikir bahwa mencintai itu nggak sederhana, atau minimal sesederhana yang kupikirkan. Mencintai butuh keberanian besar, untuk cinta yang mungkin tidak berbalas, untuk berkorban, untuk tidak lagi hitung-hitungan cinta siapa yang lebih besar, untuk berkompromi, untuk bertanggung jawab, untuk berkomitmen, and the list will go on. Dan ini konteksnya bukan hanya dalam hubungan romansa, namun juga hubungan keluarga.
Kedua, aku menyadari bahwa keluarga menjadi salah satu penyebab luka-luka yang susah payah kututupi dan kusembuhkan sebisanya, hingga bekas lukanya. Pas nonton drama ini, aku jadi sadar bahwa namanya hati yang kita titip ke orang lain, nggak mungkin nggak tergores. Bahkan, segimana pun orang yang kita titipi hati berusaha menjaganya. Keniscayaan aja, mereka yang kita titipi hati lebih besar adalah orang-orang yang punya kesempatan paling besar juga melukainya.
Jadi ya, own your feelings, decisions, and consequenses. Nggak usah menuntut apalagi menyalahkan siapa-siapa.
Terakhir, dinyinyiri tetangga adalah harga yang harus kita bayar sebagai masyarakat komunal yang guyub dan saling tolong-menolong. Karena ghibah adalah pemersatu, nggak di Ongsan, nggak di sekitar kita. Kalau Harari bilang, yang bikin Sapiens besar dan lestari adalah kemampuannya menciptakan fiksi dan bergosip. Ya mungkin benar juga. Hahaha.
Bonus beberapa potongan quote favorit dalam drama yang resonate denganku.
This is exactly how I push people away.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup