Ilustrasi sepi. Adam Jang via Unsplash. |
Di belakang
sang lelaki, ada seorang lelaki dan perempuan berambut pirang nampak serius
membicarakan proyek penelitian mereka. Samar-samar terdengar mereka membahas
salah satu lokalisasi paling terkenal di Jogja, Sarkem. Gang sempit penuh tempat
karaoke, botol bir berjajar dan mindring berlalu-lalang.
Tak lama
kemudian, kopi pesanan mereka tiba.
“Jadi
gimana, kamu kerasan?”
“Hahaha.
Gimana aku bisa nggak kerasan tinggal di Jogja,” jawab sang lelaki.
“Kenapa kamu
ke Jogja?”
“Sekolah
kan, apa lagi?” sungutnya tak mau kalah.
“Memangnya
di sana tak ada sekolah untukmu?”
“Aku tadi
pasti hanya sedang bermimpi untuk bisa mengalahkanmu berkata-kata ya. Baiklah.
Sebenarnya aku ke Jogja untuk memulai beberapa hal yang baru.”
“Patah hati,
huh?” kata si perempuan dengan sinis.
“Adakah
suara retakan hatiku sampai ke telingamu?”
Perempuan itu
terdengar mendengus dengan keras. Sulur markisa menertawakan perbincangan
mereka. Tak jauh dari sana, gemericik sungai juga turut menertawakan dua anak
manusia yang saling ragu untuk membuka dirinya namun di saat yang sama tidak
ingin saling meninggalkan.
“Kita
sebenarnya sedang apa?” perempuan itu tiba-tiba bertanya. Seakan ia baru datang
dari tempat yang jauh.
“Huh? Kita
sedang menghabiskan waktu kan?” bingung. Matanya tak lepas dari bibir cangkir
seakan kepada benda itulah dia menjawab.
Tapi otak
perempuan itu tak bisa menerima begitu saja bahwa mereka hanya orang asing yang
saling bersinggung jalan. Setelah malam-malam panjang yang mereka lalui
bersama. Dalam perbincangan tentang ekspresi gender, lelucon para politisi,
hingga teorema para filsuf di tengah malam. Juga bergelas kopi yang mereka
tandaskan bersama dengan obrolan hangat diselingi keheningan-keheningan yang
nyaman.
Sementara di
atas meja, keheningan tersaji semakin dingin.
“Memangnya
ada orang yang tidak kerasan tinggal di Jogja?” tanya lelaki itu dalam upayanya
memecah keheningan yang makin terasa mengganggu.
Sementara
perempuan itu rupanya kembali berkelana dalam pikirannya sendiri, tersesat dan
belum menemukan jalan kembali ke meja kopi mereka. Sebuah tepukan lembut di
punggung tangannya, akhirnya menjadi jalannya kembali ke kenyataan.
“Hmmm? Tadi
kamu bicara sesuatu?”
“Nggak ada.
Kamu dari mana?”
“Apakah
begini caramu menghabiskan waktu dengan semua orang? Memberikan mereka waktu,
sedikit perhatian dan tepukan lembut di punggung tangan seakan mereka berharga
lalu kemudian bisa kau hempas dengan kenyataan bahwa kalian hanya sedang saling
menghabiskan waktu?” perempuan itu mulai terengah, seakan semua tenaganya habis
untuk mengeluarkan apa yang terpendam di kepala.
Sejenak lelaki itu tertegun. Ia membiarkan dirinya memikirkan
serangkaian pertanyaan perempuan di hadapannya yang baru saja menumpahkan
emosinya ke atas meja mereka. “Aku tidak tahu jika kamu memikirkannya sejauh
itu. Mungkin salahku yang tak pernah meluangkan waktu mengenalmu.”
“Mungkin juga salahku yang tak membiarkan kamu masuk dan membaca
hatiku.”
Perempuan itu berkemas. Sore semakin menua, jingga telah berubah jadi
nila. Laki-laki yang sedang menikmati pahitnya patah memang bukan jodoh
perempuan yang mudah menyerah. Mereka pulang pada peluk kesunyiannya
masing-masing.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)