Langsung ke konten utama

Episode 7: Jakarta

Eutah Mizushima via Unsplash

Kota kejam kesayangan. Oh, bukan kejam. Jakarta hanya mendidik kita dengan keras. Dalam beberapa kasus mungkin kelewat keras.

Di Jakarta, kita bisa merasa apa saja, kesepian hingga ke titik nadir misalnya. Lalu menghabiskan semua waktu untuk bekerja untuk mengusirnya tapi termangu di akhir hari sembari bertanya “sebenarnya ini semua untuk apa?” Bahkan setelah belanja, setelah mabuk, setelah berjam-jam nongkrong di kedai kopi fancy dan jalan-jalan ke tempat paling hits di instagram, ruang kosong dan sepi itu masih menganga. Dan semakin lebar setiap harinya. Menggerogoti hati. Ternyata gaji yang tinggi itu nggak bisa menutupi lubang di hati.



Pada sebuah Minggu, di atas KRL dari Stasiun Kemayoran dengan tujuan Stasiun Duren Kalibata rumah-rumah dari asbes berjajar di pinggir rel di seputaran Stasiun Angke, bukan hanya satu dua. Ada banyak. Rumah-rumah itu menghitam jelaga dengan dapur yang menyatu, jemuran yang centang perenang dengan baju-baju lusuh dan isi rumah yang penuh dari kakek hingga cucu.

Lain waktu, di antara gedung-gedung tinggi di bilangan Sudirman hingga Thamrin, di antara jajaran Starbuck yang nampaknya ada di setiap gedung, ada mereka yang menjajakan kopi keliling. Membawa termos di sepedanya. Ada tuna wisma tidur tak jauh dari Grand Indonesia. Di sebuah pipa besar biru, di atas saluran air ia meringkuk di atas selembar kardus. Entah sudah makan atau belum.

Jakarta memang cantik di sepanjang jalan utama, Rasuna Said, Gatot Subroto, Sudirman dan Thamrin. Jakarta memang pintar menyembunyikan lukanya. Seperti setiap kita yang datang ke sana. Coba melipir sedikit, orang-orang membuat rumah dari triplek di dekat kuburan Cina belakang Kota Kasablanka.

Meski demikian siapa tak ingin merantau ke Jakarta? Mungkin kita ke sana bukan untuk mewujudkan mimpi. Kita hanya sedang belajar menyembunyikan luka pada ahlinya. Kita hanya sedang belajar mendongak setelah terlalu sering diinjak. Kita hanya sedang belajar berdamai pada hidup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Stand Up Comedy: Menertawakan Diri Sendiri*

Ia anak rumahan. Meski aktif di sebuah unit kegiatan mahasiswa, perputaran kehidupannya memang lebih banyak di rumah. Dari umur empat puluh hari hinggga kini lebih dari 20 tahun, ia tinggal di rumah. Di dalam rumah, tak ada banyak identitas yang bisa ditemui. Ditambah lagi, ia tinggal di desa yang punya komposisi nyaris homogen, semua penduduknya Islam dan Jawa. Kampus hanyalah tempat singgah apalagi belakangan UGM lebih banyak didominasi mahasiswa Pulau Jawa. Di kelasnya, hampir separuh mahasiswa, adalah penduduk DIY dan Jateng. Media, bagaimana pun adalah arena kontestasi, termasuk di dalamnya mempertentangkan identitas sebagai bagian dari kekuasaan. Di televisi, olok-olok pada mereka yang punya logat kental Ngapak dimulai, juga pada mereka yang Madura, Batak, dan stigmatisasi pada mereka yang berkulit gelap dari belahan Indonesia Timur. Termasuk stigmatisasi pada para difabel. Suatu malam, yang saya lupa tepatnya, dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji seorang pemeran denga...