Langsung ke konten utama

[Travel] Belajar Merasa Cukup dari Suku Baduy

Aku berangkat ke baduy dengan satu harapan: belajar merasa cukup. Hidup di Jakarta selama beberapa bulan saja rasanya sudah cukup membuatku overwhelmed dengan berbagai ambisi, perasaan insecure, dan selalu merasa kurang. Ibarat motor, hidup di Jakarta rasanya selalu berada dalam posisi gigi empat. Kecepatan penuh. Dan, kadang membuatku lupa bahwa ada gigi satu, dua dan tiga yang lebih lambat dan agaknya lebih menjamin untuk bisa menikmati perjalanan. Jeleknya lagi, rasanya laju perjalananku seperti autopilot padahal sebagaimana aku mengendarai motor, kendalinya ada padaku, selalu padaku.

***

Pagi itu, kami tiba di Stasiun Tanah Abang sekitar pukul 7.15. Sedikit lebih cepat dari waktu perjanjian.

Seperti biasa, Stasiun Tanah Abang ramai, penuh sesak manusia. Mungkin, stasiun ini adalah yang paling ramai dari seluruh stasiun KRL yang pernah kusinggahi.

Sesampainya di stasiun, aku segera ingin ke ATM. Namun sayang, mesin ATM yang ingin kukunjungi sedang diisi ulang. Sementara Bibi, langsung pergi ke gerai roti-dengan-topping-kopi, sekadar mencari pengganjal perut. Dan Odi, menunggu kami.

Tak lama, Dhani datang. Kami saling menyapa. Lalu ia juga pamit pergi ke gerai roti-dengan-topping-kopi, mencari sarapan. Lalu ia bergabung dengan Bibi dan Odi. Aku membiarkan mereka saling berkenalan. Setelah itu, Ma'ruf tour leader kami bergabung dan memperkenalkan dirinya. Ia juga mengajak kami bergabung dengan anggota tim lain yang sudah datang lebih dulu.

Alan terlambat. Keretanya gangguan sinyal. Sejak Stasiun Tanjung Barat kayaknya. Ia bersama temannya akhirnya sampai sekitar pukul 8.30. Mestinya kami naik kereta pukul 7.55. Namun apa boleh buat, ada tiga anggota tim yang terlambat gara-gara kereta gangguan sinyal.

Jam keberangkatan kami mundur sekitar 1 jam. Meski begitu, syukurlah kami bisa duduk selama 2 jam perjalanan dengan KRL dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Rangkas Bitung.

Sesampainya di Stasiun Rangkas Bitung, kami jalan kaki sedikit menuju terminal, tempat elf yang akan mengantar kami ke Ciboleger, gerbang masuk menuju perkampungan Suku Baduy. Perjalanan masih cukup panjang. Kami harus mengendarai elf sekitar 1,5 jam untuk sampai ke Ciboleger.

Sesampainya di Ciboleger, mobil-mobil berjajar parkir di mengelilingi patung selamat datang. Di belakangnya, toko aneka souvenir khas Suku Baduy berjajar. Di sela-selanya, ada beberapa warung makan, warung kopi, WC umum, musala, dan Alfamart. Luar biasa ya daya jelajah convenient store yang satu ini.

Kami semua, salat dan makan. Bersiap-siap sebelum memulai perjalanan jalan kaki menuju perkampungan Suku Baduy Dalam, tempat kami akan bermalam.

Aku, Odi dan Bibi membuka bekal makan siang kami. Tak ada dalam bayangan kami, Ciboleger seramai ini. Khawatir tak ada warung, kami membawa bekal. Bersama kami duduk Alan dan kawannya. Aku mulai membuka kotak makanku dan bertanya pada Alan dengan suara lirih, "Itu temenmu SMPnya di SMP 1 Godean nggak?". Tanya sendiri, ia memberi kode dengan dengan menunjuk temannya. Aku menggeleng. Dia lalu menanyakan. Iya, jawab temannya yang kutahu namanya Hatta. Kami berbincang soal guru-guru dan teman-teman. Ceritanya, update kabar.

Sebelum mulai jalan, rombongan kami berfoto di depan patung selamat datang bersama para porter sekaligus tuan rumah kami, Kang Jali, Kang Herman dan Agus.

***



Perjalanan kami dimulai sekitar pukul 14.00. Jalan tanjakan dari semen menyambut kami. Di kanan kiri masih banyak toko souvenir, warung kelontong, dan penjual minuman. Semakin lama, jalanan yang kami lalui mulai tanah dengan batu-batu yang tertata. Sepertinya kami melalui pasar, tempat orang-orang Baduy luar menjajakan hasil kerajinan mereka. Motif dengan warna hitam-biru mendominasi di sini, warna khas Suku Baduy Luar. Perempuan-perempuan Baduy menenun dengan tekun. Belum lama kami berjalan, kami berhenti sebentar menunggu Kang Jali mengambil sayuran di salah satu rumah.

Perjalanan sebenarnya baru dimulai. Kami mulai masuk ke area hutan. Jalanan juga mulai semakin terjal. Di perjalanan kami banyak bertemu dengan rombongan yang lain. Saling menyapa dan memberi semangat ketika sampai di tanjakan.

Setelah kurang lebih 1,5 jam, kami menyebrang jembatan bambu. Lumbung-lumbung berjajar. Setelah jembatan, kami sempat beristirahat sebentar. Sampai di sini masih banyak penjual minuman maupun souvenir asongan. Lajur ini persis seperti lokasi wisata.  perjalanan kami mulai masuk di kawasan perkampungan Baduy Luar.

Rasanya aneh. Aku tak menyangka bahwa pemukiman salah satu suku di pedalaman begini ramai. Penjual asongan di mana-mana. Tak perlu risau kehabisan minum karena penjual aqua dan pocari berjajar di mana-mana. Mulai dari yang membuat warung hingga yang membawanya dalam pikulan.
Terus terang aku membayangkan Baduy sebagai suku terasing, yang tinggal di hutan, bertahan hidup dengan hasil tanah, mandiri dan jauh dari hiruk-pikuk macam ini.

"Sudah berapa lama Kang  Suku Baduy mulai menerima wisatawan?" tanyaku pada Kang Jali.

"Sekitar 10 tahun mungkin."

"Wah, lama juga ya. Seneng nggak Kang dikunjungi begini?"

Aku penasaran sekali akan jawabannya. Apakah mereka suka dianggap tontonan oleh kami orang-orang luar. Apakah mereka suka dengan segala perubahan yang terjadi pada kultur dan tanah mereka karena industri pariwisata mulai tumbuh di sini.

"Senang sekali. Kami kalau keluar juga kadang mampir di rumah teman-teman. Ya seperti mbak yang pernah berkunjung ke sini."

Jawaban Kang Jali cukup membuatku terkejut. Simpel dan diplomatis. Meski kemudian beliau juga bercerita bagaimana   Baduy sekarang, yang berusaha alami namun sudah tidak alami lagi. Anak-anak makan permen, nyemil popmie, makan coklat dan entah apalagi.

Setelah 4,5 jam perjalanan kami sampai juga di perkampungan Baduy Dalam tempat kami istirahat semalam sebelum kembali turun esok pagi. Malam itu, kami menginap di rumah Kang Jali. 

Rumahnya besar, dibagi menjadi tiga bagian. Teras, rumah luar dan dalam. Kami menginap di rumah bagian luar, jadi satu semua baik perempuan maupun laki-laki. Di bagian luar ini, ada tungku tempat memasak. Konon, tungku itu disediakan untuk tamu yang hendak memasak sendiri. Sementara bagian dalam juga sama, terdiri dari dapur dan ruangan untuk tidur seluruh anggota keluarga. Tak ada kamar mandi. Jika ingin buang hajat atau mandi ada pancuran dan sungai. Tak boleh menggunakan sabun atau apapun yang bisa mencemari air mereka.

Dan rumah Kang Jali bukan satu-satunya guesthouse di sini. Hampir semua rumah menerima tamu. Di akhir pekan seperti ini, perkampungan begitu ramai oleh wisatawan.

***

Paginya, kami berenam sempat jalan-jalan sebentar keliling kampung. Aku, Odi dan Bibi sempat kena tegur karena berjalan ke arah rumah kepala suku, pu'un, dalam perjalanan kami menuju pancuran.

Setelah jalan-jalan sebentar, cuci muka, dan bersih-bersih kami kembali ke rumah Kang Jali untuk sarapan lalu bersiap pulang.

Kali ini, kami tidak melalui rute kemarin. Lewat jembatan akar. Kata Mas Ma'ruf rute ini lebih mudah. Tanjakan hanya ada ketika keluar dari perumahan Suku Baduy Dalam. Ah lega rasanya.

Meski begitu ternyata tetap saja tidak mudah. Dan Mas Ma'ruf nampaknya tidak serius dengan ucapannya. Tanjakan ada di mana-mana meski memang tidak securam   rute kami sebelumnya. Jalur ini bahkan kelihatan seperti jalur yang tidak populer, jalurnya belum jadi, pijakan berupa tanah merah yang licin, lumut tebal di mana-mana membuat makin licin karena tadi pagi hujan.

Meski begitu, alhamdulillah kami sampai juga di tempat elf menunggu kami. Semangkok bakso dan sebotol teh pucuk tak pernah senikmat ini. Setelah berjalan 4,5 jam yang sekitar setengah jam terakhirnya penuh dengan umpatan dan keluhan dariku bisa duduk saja sudah senang luar biasa.
Kami kembali diantarkan ke Stasiun Rangkas Bitung untuk pulang ke Jakarta.

***

Perjalanan ini terus terang agak gagal memenuhi misiku. Tapi, tetap saja ada pelajaran berharga yang bisa kubawa pulang. Perjalanan yang melibatkan aktifitas mendaki dan berjalan super jauh seperti ini selalu mengajariku untuk pasrah dan menikmati perjalanan. Hidup seperti juga perjalanan-perjalanan ini, rasanya kian capek jika kita fokus pada tujuan. Ditambah lagi, setiap melihat tanjakan rasanya berkali lipat capek. Padahal jika kita menikmatinya, ini hanya satu langkah, tambah satu, tambah satu hingga jadi perjalanan 4,5 jam itu. Hingga bisa melalui 4 bukit itu. Karena kita menikmati setiap langkahnya. Karena kita bertahan di satu langkah yang sulit dan memutuskan untuk tidak berhenti. Pasti sampai.

Bahwa naik dan turun adalah bagian dari perjalanan ini. Jatuh bangkit lagi. Capek, istirahat beli es teh atau ngopi. Punya teman, bercanda receh, sesekali mengumpat it's okay. It's always ok to be not ok. Kita nggak sempurna dan nggak akan pernah jadi sempurna. Kita hanya bisa jadi lebih baik. Maka apapun perjalanan yang sedang kita tempuh, nikmati.

Cheers!

Open trip by Rani Journey: IDR 250.000
Porter PP: IDR 70.000
Aqua: IDR 6.000
Bakso: IDR 10.000
Teh Pucuk: IDR 8.000
Souvenir: IDR 5.000-IDR 300.000an
Pengalaman: priceless 😄


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup