Langsung ke konten utama

Tentang Jalan-jalan Kemarin



Peringatan: tulisan ini akan sangat panjang J  

Sejak sebelum lulus dan wisuda, keinginan terbesarku adalah pergi dari Jogja. Tinggal di kota baru, bersama orang-orang baru, mungkin dapat perspektif baru juga tentu saja pelajaran baru. Meski menunggu agak lama, seperti biasanya Allah selalu mengabulkan keinginanku. Kali ini, lewat sebuah proyek riset (survey) sebut saja tur tembakau.

Salatiga, 24 Oktober 2016

Tur tembakau ini diawali dengan training selama seminggu di Hotel Grand Wahid Salatiga. Terus terang ini adalah survey terbesar yang pernah aku ikuti. Dulu, zaman mahasiswa pernah sih memang ikut-ikut survey untuk nambah uang jajan namun selain lingkup risetnya hanya di Jogja, hanya menggunakan kuesioner kertas, konsep risetnya juga jauh lebih sederhana.

 Selama training, keraguan awalku tentang SurveyMETER, lembaga tempatku bekerja mulai pupus. Pertama yang meyakinkanku, adalah soal fasilitas, mulai dari hotel yang dipilih untuk tempat kami tinggal selama training, makanan, hingga fasilitas kerja seperti laptop hingga jas hujan semua disediakan kantor. Benar-benar modal bawa badan aja.

Kedua, soal orang-orangnya. Ini penting banget bagiku karena aku sebenarnya bukan orang yang gampang bergaul dengan orang baru. Alhamdulillah selama training ketemu dengan banyak orang yang cocok, mulai dari teman sekamar, Irma dan Mbak Luki, temen-temen setim Erlina, Kak Maghrib, Kakzen, dan Mas Tommy, dan tentu saja atmosfer yang diciptakan oleh para “petinggi” Pak Firman, Pak Mulia, Pak Udin cara beliau-beliau mengajar dan belajar bersama kami sangat menyenangkan bagiku. Satu hal yang sangat membuatku tersentuh dan mantap berangkat ketika Pak Mulia memanggil namaku, ternyata beliau hafal nama-nama kami, padahal Pak Mulia dan aku baru sekali ini bertemu. Terus terang, agak tidak lazim bagiku orang penting begitu sampai hafal nama “prajurit-prajuritnya” apalagi yang tidak menonjol seperti aku. Pelajaran pertama dari Pak Mulia, tentang menghargai orang lain.

Boyolali, 28 Oktober 2016

Selain training di hotel, kami juga diajak field trip supaya lebih kenal lapangan. Aku udah lupa sih nama desa tempat field trip, kecamatan Cepogo yang pasti. Basecamp kami cuma sekitar 4 km dari puncak Merapi. Dingin ngets. Kami nggak ada yang mandi selama field trip haha (tidak untuk dicontoh).  Kecuali Erlina. Sebenernya cuma semalem sih di Cepogo. Wawancara siang sampe balik jam 11 malam, lanjut ngedit sampe dini hari paginya kembali ke hotel di Salatiga.

Bojonegoro, 2 November 2016

Timku ditempatkan di Kecamatan Tambakrejo, kecamatan tempat kelahiran Pak Pratikno. Selama di Bojonegoro kami tinggal di rumah Bu Kepala Desa. Basecamp Bojonegoro, terbilang enak banget. Kami dimasakin, kamar mandi perempuan dan laki-laki terpisah, ada ruangan untuk kumpul kami berlima, dan lumayan bebas juga. Di Bojonegoro, salah satu responden merespon perkenalanku yang orang Jogja dengan “kenal Pak Pratikno?” “Pak Pratikno yang menteri itu Pak? Oh iya, beliau dosen saya di UGM.” “Oh, beliau teman SD saya. Boleh minta nomor whatsappnya mbak?” Terakhir menghubungiku, responden ini mengabarkan sedang wisata ke Parangtritis waktu kami masih di Temanggung.

Namun begitu, kondisi lapangan tetap terasa lebih sulit daripada aneka simulasi kasus selama training. Apalagi proses listing dan verifikasinya. Meski tertatih-tatih, Bojonegoro terbilang lancar, kesulitan ya ada aja, program yang belum sempurna, wawancara sampai malam, ditambah ngedit seringkali hingga tengah malam, tapi mungkin karena masih awal, mood semua orang dalam tim masih enak, stok sabarnya masih banyak jadi baik-baik aja.

Jember, 15 November 2016

Di Jember mungkin pertama kalinya aku merasakan betapa fanatiknya para petani tembakau pada tanaman tembakau. Kalau harga sedang bagus, harga per kwintalnya bisa 12 juta. Tak heran, petani di sana biasa menanam tembakau dua musim. Satu musim sisanya untuk menanam padi. Tembakau Jember kualitas ekspor, untuk cerutu. Daun tembakau dironce kemudian disusun di gudang sekaligus oven. Proses pasca panennya di asap. Bagiku alhamdulillah, karena saat kami ke sana panen agak gagal jadi aktivitas pengovenan sangat minim. Nggak kebayang kalau pas panen raya, mengingat basecamp kami ada di antara oven-oven tembakau raksasa. Prihatin juga sih tapi ya gitu. Wang-sinawang, dari segi aku alhamdulillah wkwk *jahat*

Di Jember, bahasa Jawa bukan bahasa utama. Mereka utamanya berbahasa madura. Ya mudeng sih Bahasa Jawa dan Indonesia tapi kalau ngobrol sesama mereka sendiri pakai Bahasa Madura. Kadang, demi mengambil hati mereka aku malu-malu bilang “matur sekelangkong” dengan aksen yang aneh haha. Meski pernah tinggal di Bangkalan dua bulan selama KKN dulu tapi Bahasa Madura kayaknya nggak ada yang nyantol di kepalaku selain “tedung” “ngakan” “ngenum” haha. Di Jember juga, watak asli teman-teman setim mulai terlihat hahaha.  Nggak heran sih, tekanan makin banyak, rasa bosan tak terelakkan mulai menghampiri, kondisi-kondisi yang mulai tidak ideal dan ya begitulah.

Kami pulang dari Jember tanggal 29 November dini hari. Kereta kami berangkat dari Rambipuji pukul 05.00 sementara perjalanan dari basecamp ke Rambipuji butuh waktu sekitar 2 jam.  Ini kedua kalinya dimasakin Bu Mudasir, plus dibungkusin bekal selama perjalanan sekitar 9 jam itu. Tapi yang makan bekalnya cuma Kak Maghrib.

Jogja, 30 November 2016

Yeeeeyyy break. Hal pertama yang kulakukan di Jogja adalah potong rambut. Berjilbab dari bangun tidur sampe berangkat tidur lagi itu geraaaahhh. Apalagi di Bojonegoro, yang panasnya naudzubillah. Rambut habis keramas langsung dikuncir, belum kering, sudah basah keringetan. Pas ke kantor untuk review, semua anak Tim C potong rambut. Buang sial kayaknya hahaha.

Alhamdulillah breaknya lumayan lama. Seminggu. Kami ke kantor untuk review tanggal 6 November dengan rasa penasaran habis ini ditempatkan di Jawa Tengah apa NTB. Pengumumannya sore sebelum pulang, Pak Mulia yang ngumumin. “Jadi tim yang akan berangkat ke NTB adalah... semuanya. Tiket sudah dipesankan, besok berangkat jam 6 dari Adisoetjipto.”

Lombok Timur, 7 Desember 2016

Aku lupa kami tiba pukul berapa. Pokoknya pukul  10.15 WITA foto kami rame-rame di depan tulisan Enjoy Lombok di bandara sudah masuk ke whatsappku. Kami dijemput kepala desa. Konon, kepala desa bahkan nawarin mau ada pesta penyambutan apa nggak, hahaha. Kata Mas Tommy sih gitu. Tapi jelas ditolak lah sama dese. Dari bandara ke basecamp sekitar 1,5-2 jam. Lupa lagi.

Basecamp kami rumah kosong. Jadi yang nempatin ya hanya kami berlima. Oleh kepala desa yang rumahnya agak jauh dari basecamp kami dititpkan pada keluarga Amaq Dewi. Inaq Dewi yang masakin dan bantuin kami bersih-bersih basecamp. Masakannya Inaq Dewi enak tapi pedes, pedes banget. Favoritku dan Erlina telur baladonya, enak banget. Saking pedesnya, beberapa temen sampai diare pas awal-awal di Lombok.

Dulu, pertama datang ke kantor SM, wawancara, aku ditanya “kalau bisa memilih kamu mau ikut survey yang mana?” “survey tembakau atau cengkeh Pak, alasannnya ini dan itu” tapi sesungguhnya karena dua survey itu memungkinkan untuk pergi jauh, lokasi terjauhnya cengkeh di Sulawesi sementara tembakau di Nusa Tenggara Barat, berharap bisa ketemu Adra. Alhamdulillah, dikasih yang sesuai pilihan.

Di Lombok Timur, mulailah kerikil cobaannya makin banyak tapi ya mungkin karena itu ini wilcah ini paling berkesan. Di Lombok, mau nggak mau harus belajar Bahasa Sasak, meski bisanya cuma sedikit misal “berempa” “beketuan” “satak” “karok belah” “tambah” “awis” dan “beraye” . Selain itu, di Lombok juga ketemu dengan orang-orang yang luaaaaarrrr biasa baik, macam Inaq dan Amaq Dewi, juga Dewi yang sudah menganggap kami berlima macam keluarga sendiri. Kami cuma minta tolong dimasakin untuk sehari-hari tapi Inaq Dewi bahkan memberi kami bekal hingga kepulangan ke Jogja. Inaq Ini yang polos. Para responden yang dengan baik hati bersedia menunggu kami sesuai janji yang tertulis pada surat yang kami selipkan di bawah pintu. Para responden yang memberi sambutan dan pelukan hangat, bahkan doa baik pada kami yang baru juga jumpa sekali. Di Lombok juga, aku dapat kejutan hadiah ulang tahun, satu dari Erlina dan satu lagi dari Pak Mulia dengan sidaknya.

Selain kerja, di Lombok juga sempat main dari Lombok Timur sampai Lombok Barat. Sayangnya, fotonya masih di SD card kamera dan itu di rumah. Dan yang paling seneng bisa ketemu Adra meski cuma sebentar banget dan lupa selfie.  

Temanggung, 21 Desember 2016              

Untuk pertama kalinya kami mendapat wilcah yang agak kota. Basecamp kami terletak nggak jauh dari Jl. Parakan-Wonogiri.

Hari pertama.

“Mas, udah liat kamar mandinya?”

“Belum,” kata Mas Tommy tanpa berpaling dari laptopnya.

“Liat o dulu sana,” kataku.

Dia akhirnya berdiri terus ke belakang, terus senyum-senyum.

“Nggak ada niat mau pindah basecamp?”

“Nggak. Nanti ke pom bensin ada apa masjid deket sini. Trus nanti kalau kamu survey di tempat yang nggak ada WC nya gimana?”

“Aku nggak mau. Maaf ya Mas, kamu punya enum yang rempong soal kamar mandi.”

Wahahaha. Keremponganku soal kamar mandi ini sudah diawali di Lombok sebenarnya. Ya pokoknya gitu.

Alhamdulillah meski rempong banget di Temanggung, mulai soal kamar mandi dan soal listing, kami selesai tepat waktu. Di Parakan, mi ayamnya enak-enak. Salah satu yang paling enak di deket Pasar Legi namanya lupa, hahaha.

Kalau di Jember aku merasa “wow” dengan harga tembakau 12 juta per kwintal, di Temanggung dibikin lebih “wow” karena ada yang pernah jualan tembakau dengan harga 450 ribu sekilo. Oh ya, yang tak terlupakan juga adalah di sini, kayak kebiasaannya kalau ada tamu harus dibikinin minum. Jadi pernah gitu, sehari minum teh enam gelas, nganter Erlina disuguhi, wawancara disuguhi, bikin janji disuguhi, nanti pas wawancara disuguhi lagi. Nggak sehat sih tapi ya gimana lagi. Tapi ndak pernah sih suruh makan lebih dari sekali *ngarep*

Jogja, 3 Januari 2016

Dari Lombok ke Temanggung juga ada Jogjanya sebenarnya, cuma bentar banget. Pagi kami landing terus pukul 13.30 udah berangkat lagi ke Temanggung.

Break lagi. Kalau nggak salah yang bisa break cuma Tim C, tim yang lain karena kendala listing dan verifikasi selesainya mepet banget jadi nggak libur. Bahkan Tim A, harus nggak ikut ke Lumajang.

Ya, gitu. Bejo-bejoan.

Lumajang, 5 Januari 2016

Yang berangkat dari Stasiun Tugu, cuma aku sama Kak Maghrib. Erlina ketinggalan pesawat jadi masih di Jakarta. Mas Tommy berangkat dari Stasiun Balapan. Kakzen berangkat dari Sumenep. Lagi-lagi naik Ranggajati, seperti kepulangan dari Jember ke Jogja bulan lalu.

Sampai di Stasiun Klakah pukul 21.00. Tim C dan D nggak ada yang jemput. Padahal itu stasiun sepi banget. Cuma Tim B yang dijemput. Akhirnya kami nebeng. Pokoknya sampai di Lumajang kesan pertamaku, aku nggak suka banget, terutama sama perangkat desa wilcah pertama kami.

Di Lumajang sistem listingnya ganti. Jadi lebih susah menurutku. Dari awal berangkat aku udah pesimis, kayaknya nggak bisa deh.

Pindah wilcah, pindah basecamp.

“Dah liat kamar mandinya? Itu surprisenya. Kamu bisa renang kalau mau,” kata Mas Tommy. Aku cuma ngakak.

Dan kesulitan yang kayaknya nggak mungkin itu nggak terjadi, alhamdulillah. Allah Maha Baik. Saat aku kurang ajar sama Allah dengan ujaran “ah tugas ini terlalu susah, nggak mungkin bisa” dan Allah “menjawab” kekurangajaranku dengan pertolongan seakan “apa sih yang nggak mungkin bagi-Ku”. Kalau saat aku suudzon sama Allah aja Allah masih segitu sayangnya sama aku, apalagi kalau aku belajar membiasakan diri dengan khusnudzon pada tiap takdir-Nya.

Pokoknya selama survey kemarin kerasa banget pertolongan Allah itu deket, deket banget. Mungkin pertolongan Allah terasa sangat dekat tiap kali aku jauh dari rumah karena doa Ibuk dan Bapak yang makin lama dan makin khusyuk dari biasanya, meminta Allah menjagaku lebih ketat karena aku sedang jauh dari penjagaan keduanya.

Stasiun Klakah-Kereta Ranggajati-Stasiun Tugu, 15 Januari 2017

“Kakzen, aku masih utang makan semalem ya,” kata Erlina. Lalu dia pergi videoin pasar pisang depan stasiun.

“Oh iya, masih utang. Berapa Kak nasi goreng semalem?” kataku sambil ngeluarin uang.

...

“Lho, kita beda gerbong to Mas?”

“Masa sih? Wo mbak indomaretnya nggak merhatiin, malah ngajak ngobrol.”

...

“Mana tiketnya?” kata Kak Maghrib via telpon.

“Ya, kuanter sebentar lagi.”

....

“Stasiun Balapan habis ini ya? Ati-ati Kak (Tommy sama Maghrib), sampai ketemu kapan-kapan lagi.”

Padahal pengen nerusin “makasih ya Kak, maaf kalau aku ada banyak salah selama 2,5 bulan kita kerja bareng”. Tapi yang terakhir cuma kutelan sendiri. Nggak jadi diomongin. Malu, nggak tau juga kenapa malu.

...

“Er, aku udah dijemput. Duluan ya,” kataku lalu salaman dan pelukan.

“Ya, ati-ati.”

Udah gitu tok. Semua kata-kata terima kasih dan maaf semoga sudah terwakili dengan pelukan-pelukan itu ya Er.

***

Ada empat  wawancara paling berkesan menurutku, pertama wawancara selama 6 jam di Bojonegoro. Kedua, wawancara seorang kepala desa yang lagi sibuk banget mau persiapan pilkades, padahal kalau aku nunggu kelar pilkades timelineku molor banget. Yang ketiga, wawancara responden yang nggak bisa Bahasa Indonesia sambil ditungguin Pak Mulia. “Ibu nanam tembakau tahun 2016?” “Nde are, nde are,”  yang artinya nggak ada untung mas translator bilang “iya nanem kok”. Yang keempat, wawancara bapak basecamp tengah malam, sawahnya banyak, tanemannya macem-macem, dan konsetrasiku tinggal 20%.

***

Aku senang tiap kali kantor mengabarkan keberangkatan kami ke berbagai daerah. Wah, ada perjalanan baru lagi, bisa nyobain naik pesawat, bisa nyobain naik kereta eksekutif dan bisnis karena biasanya hanya kuat bayar yang ekonomi hahaha, tapi kabar paling menyenangkan adalah tiket pulang ke Jogja sudah ada. Aku suka melakukan semua perjalanan itu, tapi perjalanan favoritku adalah perjalanan pulang ke Jogja. Bahkan bila itu perjalanan pulang ke Jogja dari Ungaran, tempat kelahiranku.

Dulu, mungkin aku pengen pergi dari Jogja. Tapi ketika tiba waktunya ternyata pergi dari Jogja nggak semudah ngomongnya. Meski sudah berkali-kali meninggalkan Jogja tapi tiap kali mau berangkat lagi, ada rasa males, takut, khawatir, sedih dan aneka perasaan nggak enak yang lain. Perjalanan selama dua setengah bulan itu kembali mengingatkanku tentang arti pulang dan rumah.

Dalam perjalanan itu, aku belajar banyak. Banyak sekali. Pokoknya, kalau keadaan lingkungan nggak sesuai maunya kita, pikiran kita yang dikondisikan, untuk menerima dan untuk tetap memilih bahagia.

***

“Masih mau survey lagi?”

“Nggak sih Mbak kayaknya.”

“Kenapa? Ditolak responden? Apa dimarahin?”

“Nggak Mbak. Kalau cuma kayak gitu sih biasa, namanya sama orang banyak. Ada lah sesuatu yang aku nggak nyaman.”

“Oh itu ya... Temenku juga ada yang nggak mau survey lagi karena alasan itu. Padahal asyik lho ketemu orang banyak, belajar banyak juga, jalan-jalan lagi.”

“Iya Mbak, bagian itu aku suka. Suka banget malah. Tapi ya gitu, aku nggak bisa.”


Bukit Duri, 28 Januari-5 Februari 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup