Disclaimer:
Ini hanyalah tulisan
random yang cukup panjang.
“Mbak, kalau mau ke perumahan jangan pakai baju yang yang
kembang-kembang atau pink gitu, kalau
bisa hitam, minimal gelap. Paling bagus sih pake gamis hitam. Jilbabnya juga
dipanjangin ya mbak,” pesan Mbak Nungki dengan emoji nyengir.
Gamis hitam? Itulah yang pertama muncul di benakku waktu
itu. Selanjutnya, bingung mau pinjem siapa itu si gamis hitam haha. Bagi
seorang (insyaAllah) muslimah biasa macam saya, gamis jelas cuma ada beberapa
helai, itu pun warna-warni. Dan gamis hitam jelas bukan warna favoritku.
Akhirnya setelah bertanya pada beberapa orang, akhirnya dapat pinjaman gamis
coklat tua dari Nisa, lumayan gelap lah ya.
Selain soal pinjaman, pertanyaan yang muncul berikutnya
adalah lha siapa to mereka kok aku ndadak
pake gamis hitam. Iya sih mereka salafi, apa sih salafi itu, siapa sih salafi
itu, kayak apa sih salafi itu semua pertanyaan itu muncul bergantian ke
benakku. Salafi betul-betul sesuatu yang asing bagiku, aku nggak pernah punya
kawan yang bilang dia salafi atau bersentuhan dalam kegiatan-kegiatan yang
mereka adakan. Beda dengan tarbiyah atau HTI[iii] yang pergerakannya di
kampus sangat gencar. Persoalan baju itu sangat penting mengingat kalau tetiba
aku datang dengan baju pink kembang-kembang maka akan sangat aneh dan mecolok
perhatian karena perempuan-perempuan salafi semua mengenakan pakaian gelap
(hitam)dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan ya, mereka bercadar.
*
Begitulah
awal mula penelitian skripsiku[iv]. Skripsi ini meski
panjangnya “hanya” sekitar 80 halaman spasi 2 TNR 12, aku perlu 2 tahun
untuk menuntaskannya. Mulai dari embrio berupa ide[v] hingga selesai dan
membawaku pada gelar kesarjanaan. Itulah waktu yang kami perlukan untuk
bersam-sama tumbuh. Karena bagiku, menulis selalu merupakan proses tumbuh baik
secara intelektual maupun personal.
Sejak awal skripsi ini memang dikerjakan dengan selow, sejak
awal aku memang “merencanakan” lulus sekitar 4-5 tahun. Maka ketika selesai
mata kuliah Perencanaan Penelitian, embrio proposal itu mangkrak cukup lama
karena aku belum nemu kasus yang pas dan juga nggak nyari. Waton dilakoni,
mottoku. Nah, yang waton ini akhirnya membawaku pada suatu siang selepas salat
dhuhur di rumah simbahnya Mbak Nungki di Bambanglipuro, aku lihat-lihat rak
kaca di luar ruang salat. Sebuah skripsi dengan label Ilmu Pemerintahan UGM,
yang membawaku pada pertanyaan “itu skripsi siapa e mbak? Berarti kakak
angkatanku ya.” Celetukan itu yang kemudian membuatnya menanyakan kabar
skripsiku hingga mengalirlah cerita tentang rencana skripsi perumahan muslimku,
keinginan live in di sana dan tawaran
bantuan dari Mbak Nungki karena si pemilik skripsi itu, yang merupakan oomnya Mbak Nungki tinggal di
perumahan muslim.
Karena aku perempuan maka komunikasiku dilakukan dengan
istri beliau, buliknya Mbak Nungki. Dari beliau, aku diajak ketemu dengan
ustadzah kepala di pondok pesantren yang bisa memberiku izin untuk penelitian,
yang membuatku akan bisa mengerjakan proposalku. Bu Ustadzah Kepala ini
susaaaaaaaahhhh banget untuk diajak ketemuan, janjian selalu nggak pas dengan
jadwalku sampai suatu hari kami sepakat bertemu di Hari Minggu jam 9 kalau
nggak salah. Aku berangkat dari rumah pagi-pagi, mungkin sekitar setengah 8, lebih
baik aku yang menunggu beliau daripada aku ditunggu pikirku. Impresi pertama
adalah kunci kesuksesan pencarian data, biasanya.
Singkat cerita aku sampai sana sebelum jam yang disepakati,
lalu aku bingung dan nggak bisa tanya sama siapa-siapa. Hingga akhirnya, aku
coba-coba lah berhenti di depan masjid yang lumayan ramai dan lebih mudah
ngancer-nganceri bulik yang mau jemput kalau aku di masjid. Di situ pun nggak
ada yang nyapa untuk menanyakan “kamu mau ke mana, mau ketemu siapa” padahal
aku yakin banget sudah memasang tampang bingung khas orang ilang (karena aku
sendirian). Setelah nunggu beberapa lama, bulik datang dan hanya melambaikan
tangan memintaku mengikuti tanpa berhenti hingga kami tiba di sebuah bangunan
dekat masjid, kami saling menyapa, berjabat tangan, cipika-cipiki lalu beliau
tertawa.
“Tadi njenengan penasaran nggak kenapa nggak ada yang
nyapa?”
“Iya Bulik, kenapa to?”
“Karena tadi njenengan
nunggunya di tempat ikhwan. Mereka pasti bingung kok ada akhwat, sendirian, di
tempat ikhwan. Ngapunten ya saya nggak bilang,”
kata beliau sambil masih tertawa. Aku cuma bisa meringis.
Hingga kami tiba di ruangan Bu Ustadzah Kepala, salah
seorang ustadzah yang kami temui mengatakan bahwa beliau sedang safar
(bepergian) ke Semarang kalau nggak salah. Udah agak lemes juga sih, ya ampun iki gek kapan aku iso
mulai nulis proposal batinku. Eh, lalu Bulik bilang, ya udah timbang njenengan sudah jauh-jauh ke sini, kok
nggak dapet apa-apa mau coba ke perumahanku po,
Perumahan Veteran itu juga homogen kok. Di sana, minta izin sama Bu RWnya malah
mungkin lebih gampang karena orang biasa (bukan salafi maksudnya). Aku langsung
mengiyakan tawaran bulik tersebut, tanpa berpikir panjang. Pagi itu juga aku
langsung ketemu dengan Bu RW, Budhe A, menyampaikan maksudku, menanyakan
prosedur, dan meminta bantuannya. Beliau juga langsung mengiyakan asal ada
surat dari kampus, lalu bertanya kapan mau ngasih surat. Aku cuma bisa bilang
kalau nanti akan kuberitahu lagi karena surat izin penelitian hanya akan turun
setelah proposal disetujui dosen pembimbing. Sementara, proposalku kan bahkan
belum ditulis. Hingga akhirnya kami hanya bertukar kontak.
Nah karena kasusnya sudah fix maka aku langsung nggarap
proposal. Nah ini juga nggak mulus, karena aku males-malesan ngerjainnya, belum
lagi sempat gonta-ganti dosbing. Hingga akhirnya sekitar pertengahan Ramadhan
tahun lalu, proposalku diacc. Aku janjian lagi dengan Budhe A untuk menyerahkan
surat dan minta tolong dicarikan rumah untuk aku tinggal selama penelitian,
beliau menyanggupi setelah maghrib kami bisa datang. Aku yang baru sekali ke
sana dan emang agak parah dalam mengingat jalan, memutuskan untuk minta
ditemani Dyah karena itu malem-malem dan ke daerah yang aku nggak tahu.
Biasanya urusan nganter-nganter gini urusan Dias tapi nggak mungkin boncengan
sama laki-laki ke Perumahan Veteran bisa bubar penelitianku.
Kami, aku dan Dyah, berangkat dari kantor isigood sekitar
pukul 17.00 dan sampai di sana pas maghrib. Di depan komplek perumahan ini ada
masjid, Al Mujahidin namanya, kami mematikan motor, ngintip-ngintip ke dalam
mau ikut salat jamaah maksudnya. Karena tidak ada jamaah perempuan maka kami
memutuskan untuk menunggu hingga salat selesai. Jamaah laki-laki bubar dan kami
bertanya pada salah satunya
“Maaf Mas kalau tempat wudhu untuk perempuan di mana ya?”
“Oh, di masjid atas aja mbak,” katanya sambil menunjuk jalan
depan masjid yang menanjak.
Kami nggak boleh salat di sana, huhuhuhu. Dyah langsung
nyeletuk “ Baru pertama ini aku nemu masjid yang begini, ini aliran apa sih Ling?”
aku yang masih kaget cuma bisa nyengir-nyengir aja.
Selepas salat kami ketemu Budhe A, menyerahkan surat dan
minta tolong untuk dicarikan rumah yang bisa ditinggali selama observasi
sekitar sebulan kataku. Lalu beliau menyanggupi.
Atas rekomendasi Budhe A, aku disuruh tinggal bersama Budhe
B yang beliau yang tinggal sendirian karena janda dan tidak dikaruniai
putra/putri. Lalu aku mulai ngobrol via SMS dengan Budhe B hingga kami sepakat
soal tanggal kepindahanku ke rumahnya untuk memulai observasi.
Di hari yang disepakati, Budhe B, pagi-pagi menelfon. Intinya, aku diminta datang untuk
berbicara terlebih dahulu. Feelingku, ada sesuatu yang buruk terjadi. Benar
saja, aku tidak bisa tinggal di rumah Budhe B, dan beliau berjanji akan
mencarikan rumah pengganti.
Singkat cerita, di pertengahan Ramdhan tahun lalu, aku
diputuskan bisa tinggal di ruma Ibu C. Rumahnya persis di depan Budhe B. Beliau
warga salafi, ibu satu putra berusia sekitar 2 tahun, sedang hamil tua.
Suaminya tinggal di luar kota sehingga aku bisa tinggal di situ selama
penelitian.
Mereka semua kemudian menjadi informan kunci dalam
penelitianku. Mereka yang terdiri dari beragam latar belakang, memberiku keping
demi keping puzzle yang menyusun ceritaku. Awalnya, aku sedih juga sih, susah
sekali memulai penelitian ini. Sempat juga terlintas pikiran untuk ganti judul
saja, adek lelah bang. Ganti lokasi penelitian, gonta-ganti rumah
tinggal yang awalnya keliatan seperti batu-batu penghalang ternyata justru
batu-batu penyusun jalanku.
*
Penelitian dimulai. Tinggal di rumah orang yang sama sekali
nggak kenal di lingkungan yang sama sekali baru, jelas tidak mudah. Meski
begitu, bagaimana pun aku senang bisa punya kesempatan mengenal mereka.
Kalian penasaran nggak sih dari mana aku dapat baju hitam-hitam
selama tinggal di sana? Ya beli lah akhirnya, meski cuma sepotong. Di hari-hari
lain aku pakai baju biasa yang kupunya, segelap dan sepolos mungkin.
Perumahan ini sepi sekali, super sepi. Sekalinya ada yang
keluar rumah hanya anak-anak yang bungkam seribu bahasa kalau ditanya, soal
apapun. Memangnya aku semenyeramkan itu? anak-anak yang polos itu kalau lihat aku
seakan, “ini siapa sih, udah mbak-mbak kok masih pakai gamis hijau.” Ya wajar
sih kalau anak-anak punya pikiran begitu, lha mereka masih kecil mungkin 7
tahunan lah, jilbabnya udah selutut beberapa sudah bercadar juga. Ya mereka
main pasaran juga bajunya gitu, main sekongan juga pakai baju itu, sekolah
juga, let’s say itu baju sehari-hari mereka selama berada di luar rumah.
Berbeda dengan anak-anak yang polos, para ibu-ibu yang
menjadi informanku semua menerimaku dengan tangan terbuka (alhamdulillah).
Cerita-cerita seputar perumahan dan salafi mengalir dari mereka dengan cukup
lancar sehingga aku bisa mendapatkan gambaran yang cukup jelas bagaimana bentuk
skripsiku meski menuliskan gambaran itu tentu saja menjadi persoalan
kemudian. Bukan hanya bantuan informasi secara lisan lho, bahkan bahan
buku-buku, pelukan-pelukan hangat selama tinggal di sana, sapaan-sapaan ramah,
senyum-senyum manis dan obrolan-obrolan soal apa saja di sela wawancara juga
saya dapatkan. Bulik selalu berusaha menjamu saya dengan apa pun yang beliau
punya, padahal saya sering banget bertamu buat wawancara. Ibu C, meski memiliki
putra balita usia dua tahun dan juga sedang hamil tua tetap selalu ingin
memastikan saya menginap di rumahnya dengan senyaman mungkin. Apalagi Budhe A
dan Budhe B, bahkan Budhe A pernah minta diundang kalau suatu hari aku nikah.
Dari luar mungkin memang serem, mungkin bukan serem ya, hanya misterius, apalagi
perempuan-perempuannya. Yang paling bikin menyeramkan sesungguhnya mungkin
prasangka kita sendiri, jangan-jangan mereka istri teroris. Iya nggak sih?
Dalam suatu wawancara di rumahnya, sembari Bulik menjelaskan
apa itu salafi beliau mengatakan, “Ya semoga tulisan sampeyan nanti bisa
membuat orang-orang paham bahwa kami ini bukan teroris, kami ini berbeda dengan
mereka yang teroris itu,” katanya sambil tersenyum (kira-kira gitu lah, udah
lupa). Ini salah satu hal yang membuat saya ingin menulis cerita samping
penelitian abal-abal buat
skripsi. Cerita sejarah perumahan itu memang lumayan berdarah tapi kalau kita
paham konteksnya kita akan paham kok kenapa bisa sampai seperti itu.
*
Ya ini cuma penelitian receh, lingkupnya kuecil banget, cuma
satu perumahan. Tapi perumahan ini diangkat karena ada fenomena besar
menjamurnya perumahan muslim di Jogja. Bukan hanya perumahan sih sebenernya,
ada kos-kosan muslim(ah), ada hotel syar’i, ada sekolah-sekolah yang rohisnya
sangat dominan hingga punya ruang (fisik) yang “dikuasai”[vi] singkatnya Jogja mulai
dikapling-kapling berdasar agama. Ngeri nggak sih? Bagiku ini fenomena yang
mengerikan mengingat Jogja sering dikatakan sebagai miniatur Indonesia karena
keberagamannya.
Lebih mengerikan lagi karena kapling-kapling ini semakin
mempersempit ruang temu antar agama. Yang dampak selanjutnya, makin minimlah
dialog antar pemeluk agama, hubungan-hubungan personal antar pemeluk agama
makin minim juga. Akibatnya, prasangka akan mudah terbentuk. “Itu lho katanya
si anu, perusahaanya michael nggak mau nerima pekerja muslim,” “Itu lho katanya
si itu, babah acong memaksa koki muslimnya ngicipi nasi babi jualannya,” dan
katanya katanya yang lain. Prasangka itu kemudian menjadi bahan bakar
kebencian, maka jadilah kita masyarakat bersumbu pendek.
Padahal dengan hubungan-hubungan personal, ketika mendengar katanya-katanya yang begitu kita akan lebih santai. “Halah nggak
semua orang nasrani gitu, berapa waktu lalu aku dikasih proyekan sama Dias. Ya
sama seperti orang Islam, orang nasrani sebagian besar baik tapi tentu saja ada
oknum yang jahat.” Setelah penelitian ini misalnya, aku percaya bahwa
perempuan-perempuan bercadar juga tidak semuanya istri teroris, sebagaimana aku
percaya bahwa tidak semua umat Islam suka melakukan teror.
[i]
Niatnya, tulisan ini langsung
publish setelah selasai penelitian which is kurang lebih setaun lalu, tapi
sempat ditinggalkan karena entah apa dan teringat kembali setelah
ngobrol-ngobrol bareng Agung sebulanan yang lalu. Waktu itu aku dipaksa membaca
halaman persembahannya sepanjang 8(atau 9) halaman dan dia bilang “Kamu juga
harusnya bikin kayak gini Ling.” Dan cukup serius dikerjakan setelah membaca
tulisannya Dias yang ini.
[ii]
Terjemahan selain catatan pinggir apa sih? Karena catatan pinggir sudah terlalu
melekat pada GM.
[iii]
Ini jelas bukan perbandingan yang apple to apple. Kalau mau apple to apple
mestinya ditulis PKS tapi kalau ditulis PKS jadi kurang mewakili komunitas itu.
Karena ternyata nggak semua anak tarbiyah itu kader PKS meski mayoritas memang
begitu. Kenapa kok apple to applenya sama PKS? Ya karena HTI itu partai
politik, eh udah pada tau kan ya?
[iv]
Skripsiku berjudul “Pembentukan Enclave Komunitas Salafi”, bercerita tentang
alasan komunitas salafi merasa perlu untuk tinggal secara eksklusif. Di
dalamnya, menggunakan teori politik identitas, di mana agama menjadi sumber
nilai sekaligus sumber identitas kolektif yang pada gilirannya memerlukan ruang
ekspresi. Karena skripsi ini tidak dipajang di perpus fisipol, bagi kalian (atau
teman kalian) yang sedang/akan menulis dengan bahasan yang nyempet-nyrempet dan
berniat menjadikan tulisan kecil ini sebagai bacaan awal, silakan bisa kontak
saya melalui email linggararum@gmail.com.
Semoga bermanfaat.
[v]
Di tataran ide, ngobrol-ngobrol, piknik-piknik, makan-makan dengan kawan-kawan
Mujahid Skripsi punya peran yang besar. Matur nuwun kalian: Dias, Nisa, Fadel.
[vi]
Baca Politik Ruang Sekolah, CRCS UGM. Browsing aja, bukunya tersedia dalam
bentuk digital.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca hingga sini. Silakan tinggalkan komentar :)