Langsung ke konten utama

Ada Apa sih di Balik Cadar Mereka?[i]: A Side Story[ii]


Disclaimer:
Ini hanyalah tulisan random yang cukup panjang.

“Mbak, kalau mau ke perumahan jangan pakai baju yang yang kembang-kembang  atau pink gitu, kalau bisa hitam, minimal gelap. Paling bagus sih pake gamis hitam. Jilbabnya juga dipanjangin ya mbak,” pesan Mbak Nungki dengan emoji nyengir.

Gamis hitam? Itulah yang pertama muncul di benakku waktu itu. Selanjutnya, bingung mau pinjem siapa itu si gamis hitam haha. Bagi seorang (insyaAllah) muslimah biasa macam saya, gamis jelas cuma ada beberapa helai, itu pun warna-warni. Dan gamis hitam jelas bukan warna favoritku. Akhirnya setelah bertanya pada beberapa orang, akhirnya dapat pinjaman gamis coklat tua dari Nisa, lumayan gelap lah ya.

Selain soal pinjaman, pertanyaan yang muncul berikutnya adalah lha siapa to mereka kok aku ndadak pake gamis hitam. Iya sih mereka salafi, apa sih salafi itu, siapa sih salafi itu, kayak apa sih salafi itu semua pertanyaan itu muncul bergantian ke benakku. Salafi betul-betul sesuatu yang asing bagiku, aku nggak pernah punya kawan yang bilang dia salafi atau bersentuhan dalam kegiatan-kegiatan yang mereka adakan. Beda dengan tarbiyah atau HTI[iii] yang pergerakannya di kampus sangat gencar. Persoalan baju itu sangat penting mengingat kalau tetiba aku datang dengan baju pink kembang-kembang maka akan sangat aneh dan mecolok perhatian karena perempuan-perempuan salafi semua mengenakan pakaian gelap (hitam)dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan ya, mereka bercadar.

*

Begitulah awal mula penelitian skripsiku[iv]. Skripsi ini meski  panjangnya “hanya” sekitar 80 halaman spasi 2 TNR 12, aku perlu 2 tahun untuk menuntaskannya. Mulai dari embrio berupa ide[v] hingga selesai dan membawaku pada gelar kesarjanaan. Itulah waktu yang kami perlukan untuk bersam-sama tumbuh. Karena bagiku, menulis selalu merupakan proses tumbuh baik secara intelektual maupun personal.

Sejak awal skripsi ini memang dikerjakan dengan selow, sejak awal aku memang “merencanakan” lulus sekitar 4-5 tahun. Maka ketika selesai mata kuliah Perencanaan Penelitian, embrio proposal itu mangkrak cukup lama karena aku belum nemu kasus yang pas dan juga nggak nyari. Waton dilakoni, mottoku. Nah, yang waton ini akhirnya membawaku pada suatu siang selepas salat dhuhur di rumah simbahnya Mbak Nungki di Bambanglipuro, aku lihat-lihat rak kaca di luar ruang salat. Sebuah skripsi dengan label Ilmu Pemerintahan UGM, yang membawaku pada pertanyaan “itu skripsi siapa e mbak? Berarti kakak angkatanku ya.” Celetukan itu yang kemudian membuatnya menanyakan kabar skripsiku hingga mengalirlah cerita tentang rencana skripsi perumahan muslimku, keinginan live in di sana dan tawaran bantuan dari Mbak Nungki karena si pemilik skripsi itu,  yang merupakan oomnya Mbak Nungki tinggal di perumahan muslim.

Karena aku perempuan maka komunikasiku dilakukan dengan istri beliau, buliknya Mbak Nungki. Dari beliau, aku diajak ketemu dengan ustadzah kepala di pondok pesantren yang bisa memberiku izin untuk penelitian, yang membuatku akan bisa mengerjakan proposalku. Bu Ustadzah Kepala ini susaaaaaaaahhhh banget untuk diajak ketemuan, janjian selalu nggak pas dengan jadwalku sampai suatu hari kami sepakat bertemu di Hari Minggu jam 9 kalau nggak salah. Aku berangkat dari rumah pagi-pagi, mungkin sekitar setengah 8, lebih baik aku yang menunggu beliau daripada aku ditunggu pikirku. Impresi pertama adalah kunci kesuksesan pencarian data, biasanya.

Singkat cerita aku sampai sana sebelum jam yang disepakati, lalu aku bingung dan nggak bisa tanya sama siapa-siapa. Hingga akhirnya, aku coba-coba lah berhenti di depan masjid yang lumayan ramai dan lebih mudah ngancer-nganceri bulik yang mau jemput kalau aku di masjid. Di situ pun nggak ada yang nyapa untuk menanyakan “kamu mau ke mana, mau ketemu siapa” padahal aku yakin banget sudah memasang tampang bingung khas orang ilang (karena aku sendirian). Setelah nunggu beberapa lama, bulik datang dan hanya melambaikan tangan memintaku mengikuti tanpa berhenti hingga kami tiba di sebuah bangunan dekat masjid, kami saling menyapa, berjabat tangan, cipika-cipiki lalu beliau tertawa.

“Tadi njenengan penasaran nggak kenapa nggak ada yang nyapa?”

“Iya Bulik, kenapa to?”

“Karena tadi njenengan nunggunya di tempat ikhwan. Mereka pasti bingung kok ada akhwat, sendirian, di tempat ikhwan. Ngapunten ya saya nggak bilang,”  kata beliau sambil masih tertawa. Aku cuma bisa meringis.

Hingga kami tiba di ruangan Bu Ustadzah Kepala, salah seorang ustadzah yang kami temui mengatakan bahwa beliau sedang safar (bepergian) ke Semarang kalau nggak salah. Udah agak lemes juga sih, ya ampun iki gek kapan aku iso mulai nulis proposal batinku. Eh, lalu Bulik bilang, ya udah timbang njenengan sudah jauh-jauh ke sini, kok nggak dapet apa-apa mau coba ke perumahanku po, Perumahan Veteran itu juga homogen kok. Di sana, minta izin sama Bu RWnya malah mungkin lebih gampang karena orang biasa (bukan salafi maksudnya). Aku langsung mengiyakan tawaran bulik tersebut, tanpa berpikir panjang. Pagi itu juga aku langsung ketemu dengan Bu RW, Budhe A, menyampaikan maksudku, menanyakan prosedur, dan meminta bantuannya. Beliau juga langsung mengiyakan asal ada surat dari kampus, lalu bertanya kapan mau ngasih surat. Aku cuma bisa bilang kalau nanti akan kuberitahu lagi karena surat izin penelitian hanya akan turun setelah proposal disetujui dosen pembimbing. Sementara, proposalku kan bahkan belum ditulis. Hingga akhirnya kami hanya bertukar kontak.

Nah karena kasusnya sudah fix maka aku langsung nggarap proposal. Nah ini juga nggak mulus, karena aku males-malesan ngerjainnya, belum lagi sempat gonta-ganti dosbing. Hingga akhirnya sekitar pertengahan Ramadhan tahun lalu, proposalku diacc. Aku janjian lagi dengan Budhe A untuk menyerahkan surat dan minta tolong dicarikan rumah untuk aku tinggal selama penelitian, beliau menyanggupi setelah maghrib kami bisa datang. Aku yang baru sekali ke sana dan emang agak parah dalam mengingat jalan, memutuskan untuk minta ditemani Dyah karena itu malem-malem dan ke daerah yang aku nggak tahu. Biasanya urusan nganter-nganter gini urusan Dias tapi nggak mungkin boncengan sama laki-laki ke Perumahan Veteran bisa bubar penelitianku.

Kami, aku dan Dyah, berangkat dari kantor isigood sekitar pukul 17.00 dan sampai di sana pas maghrib. Di depan komplek perumahan ini ada masjid, Al Mujahidin namanya, kami mematikan motor, ngintip-ngintip ke dalam mau ikut salat jamaah maksudnya. Karena tidak ada jamaah perempuan maka kami memutuskan untuk menunggu hingga salat selesai. Jamaah laki-laki bubar dan kami bertanya pada salah satunya

“Maaf Mas kalau tempat wudhu untuk perempuan di mana ya?”

“Oh, di masjid atas aja mbak,” katanya sambil menunjuk jalan depan masjid yang menanjak.

Kami nggak boleh salat di sana, huhuhuhu. Dyah langsung nyeletuk “ Baru pertama ini aku nemu masjid yang begini, ini aliran apa sih Ling?” aku yang masih kaget cuma bisa nyengir-nyengir aja.
Selepas salat kami ketemu Budhe A, menyerahkan surat dan minta tolong untuk dicarikan rumah yang bisa ditinggali selama observasi sekitar sebulan kataku. Lalu beliau menyanggupi.

Atas rekomendasi Budhe A, aku disuruh tinggal bersama Budhe B yang beliau yang tinggal sendirian karena janda dan tidak dikaruniai putra/putri. Lalu aku mulai ngobrol via SMS dengan Budhe B hingga kami sepakat soal tanggal kepindahanku ke rumahnya untuk memulai observasi.

Di hari yang disepakati, Budhe B, pagi-pagi  menelfon. Intinya, aku diminta datang untuk berbicara terlebih dahulu. Feelingku, ada sesuatu yang buruk terjadi. Benar saja, aku tidak bisa tinggal di rumah Budhe B, dan beliau berjanji akan mencarikan rumah pengganti.

Singkat cerita, di pertengahan Ramdhan tahun lalu, aku diputuskan bisa tinggal di ruma Ibu C. Rumahnya persis di depan Budhe B. Beliau warga salafi, ibu satu putra berusia sekitar 2 tahun, sedang hamil tua. Suaminya tinggal di luar kota sehingga aku bisa tinggal di situ selama penelitian.
Mereka semua kemudian menjadi informan kunci dalam penelitianku. Mereka yang terdiri dari beragam latar belakang, memberiku keping demi keping puzzle yang menyusun ceritaku. Awalnya, aku sedih juga sih, susah sekali memulai penelitian ini. Sempat juga terlintas pikiran untuk ganti judul saja, adek lelah bang. Ganti lokasi penelitian, gonta-ganti rumah tinggal yang awalnya keliatan seperti batu-batu penghalang ternyata justru batu-batu penyusun jalanku.

*

Penelitian dimulai. Tinggal di rumah orang yang sama sekali nggak kenal di lingkungan yang sama sekali baru, jelas tidak mudah. Meski begitu, bagaimana pun aku senang bisa punya kesempatan mengenal mereka.

Kalian penasaran nggak sih dari mana aku dapat baju hitam-hitam selama tinggal di sana? Ya beli lah akhirnya, meski cuma sepotong. Di hari-hari lain aku pakai baju biasa yang kupunya, segelap dan sepolos mungkin.

Perumahan ini sepi sekali, super sepi. Sekalinya ada yang keluar rumah hanya anak-anak yang bungkam seribu bahasa kalau ditanya, soal apapun. Memangnya aku semenyeramkan itu?  anak-anak yang polos itu kalau lihat aku seakan, “ini siapa sih, udah mbak-mbak kok masih pakai gamis hijau.” Ya wajar sih kalau anak-anak punya pikiran begitu, lha mereka masih kecil mungkin 7 tahunan lah, jilbabnya udah selutut beberapa sudah bercadar juga. Ya mereka main pasaran juga bajunya gitu, main sekongan juga pakai baju itu, sekolah juga, let’s say itu baju sehari-hari mereka selama berada di luar rumah.

Berbeda dengan anak-anak yang polos, para ibu-ibu yang menjadi informanku semua menerimaku dengan tangan terbuka (alhamdulillah). Cerita-cerita seputar perumahan dan salafi mengalir dari mereka dengan cukup lancar sehingga aku bisa mendapatkan gambaran yang cukup jelas bagaimana bentuk skripsiku meski menuliskan gambaran itu tentu saja menjadi persoalan kemudian. Bukan hanya bantuan informasi secara lisan lho, bahkan bahan buku-buku, pelukan-pelukan hangat selama tinggal di sana, sapaan-sapaan ramah, senyum-senyum manis dan obrolan-obrolan soal apa saja di sela wawancara juga saya dapatkan. Bulik selalu berusaha menjamu saya dengan apa pun yang beliau punya, padahal saya sering banget bertamu buat wawancara. Ibu C, meski memiliki putra balita usia dua tahun dan juga sedang hamil tua tetap selalu ingin memastikan saya menginap di rumahnya dengan senyaman mungkin. Apalagi Budhe A dan Budhe B, bahkan Budhe A pernah minta diundang kalau suatu hari aku nikah. Dari luar mungkin memang serem, mungkin bukan serem ya, hanya misterius, apalagi perempuan-perempuannya. Yang paling bikin menyeramkan sesungguhnya mungkin prasangka kita sendiri, jangan-jangan mereka istri teroris. Iya nggak sih?

Dalam suatu wawancara di rumahnya, sembari Bulik menjelaskan apa itu salafi beliau mengatakan, “Ya semoga tulisan sampeyan nanti bisa membuat orang-orang paham bahwa kami ini bukan teroris, kami ini berbeda dengan mereka yang teroris itu,” katanya sambil tersenyum (kira-kira gitu lah, udah lupa). Ini salah satu hal yang membuat saya ingin menulis cerita samping penelitian  abal-abal buat skripsi. Cerita sejarah perumahan itu memang lumayan berdarah tapi kalau kita paham konteksnya kita akan paham kok kenapa bisa sampai seperti itu.

*

Ya ini cuma penelitian receh, lingkupnya kuecil banget, cuma satu perumahan. Tapi perumahan ini diangkat karena ada fenomena besar menjamurnya perumahan muslim di Jogja. Bukan hanya perumahan sih sebenernya, ada kos-kosan muslim(ah), ada hotel syar’i, ada sekolah-sekolah yang rohisnya sangat dominan hingga punya ruang (fisik) yang “dikuasai”[vi] singkatnya Jogja mulai dikapling-kapling berdasar agama. Ngeri nggak sih? Bagiku ini fenomena yang mengerikan mengingat Jogja sering dikatakan sebagai miniatur Indonesia karena keberagamannya.

Lebih mengerikan lagi karena kapling-kapling ini semakin mempersempit ruang temu antar agama. Yang dampak selanjutnya, makin minimlah dialog antar pemeluk agama, hubungan-hubungan personal antar pemeluk agama makin minim juga. Akibatnya, prasangka akan mudah terbentuk. “Itu lho katanya si anu, perusahaanya michael nggak mau nerima pekerja muslim,” “Itu lho katanya si itu, babah acong memaksa koki muslimnya ngicipi nasi babi jualannya,” dan katanya katanya yang lain. Prasangka itu kemudian menjadi bahan bakar kebencian, maka jadilah kita masyarakat bersumbu pendek.

Padahal dengan hubungan-hubungan personal, ketika mendengar katanya-katanya yang begitu kita akan lebih santai. “Halah nggak semua orang nasrani gitu, berapa waktu lalu aku dikasih proyekan sama Dias. Ya sama seperti orang Islam, orang nasrani sebagian besar baik tapi tentu saja ada oknum yang jahat.” Setelah penelitian ini misalnya, aku percaya bahwa perempuan-perempuan bercadar juga tidak semuanya istri teroris, sebagaimana aku percaya bahwa tidak semua umat Islam suka melakukan teror.





[i] Niatnya, tulisan ini langsung publish setelah selasai penelitian which is kurang lebih setaun lalu, tapi sempat ditinggalkan karena entah apa dan teringat kembali setelah ngobrol-ngobrol bareng Agung sebulanan yang lalu. Waktu itu aku dipaksa membaca halaman persembahannya sepanjang 8(atau 9) halaman dan dia bilang “Kamu juga harusnya bikin kayak gini Ling.” Dan cukup serius dikerjakan setelah membaca tulisannya Dias yang ini.
[ii] Terjemahan selain catatan pinggir apa sih? Karena catatan pinggir sudah terlalu melekat pada GM.
[iii] Ini jelas bukan perbandingan yang apple to apple. Kalau mau apple to apple mestinya ditulis PKS tapi kalau ditulis PKS jadi kurang mewakili komunitas itu. Karena ternyata nggak semua anak tarbiyah itu kader PKS meski mayoritas memang begitu. Kenapa kok apple to applenya sama PKS? Ya karena HTI itu partai politik, eh udah pada tau kan ya?
[iv] Skripsiku berjudul “Pembentukan Enclave Komunitas Salafi”, bercerita tentang alasan komunitas salafi merasa perlu untuk tinggal secara eksklusif. Di dalamnya, menggunakan teori politik identitas, di mana agama menjadi sumber nilai sekaligus sumber identitas kolektif yang pada gilirannya memerlukan ruang ekspresi. Karena skripsi ini tidak dipajang di perpus fisipol, bagi kalian (atau teman kalian) yang sedang/akan menulis dengan bahasan yang nyempet-nyrempet dan berniat menjadikan tulisan kecil ini sebagai bacaan awal, silakan bisa kontak saya melalui email linggararum@gmail.com. Semoga bermanfaat.
[v] Di tataran ide, ngobrol-ngobrol, piknik-piknik, makan-makan dengan kawan-kawan Mujahid Skripsi punya peran yang besar. Matur nuwun kalian: Dias, Nisa, Fadel.
[vi] Baca Politik Ruang Sekolah, CRCS UGM. Browsing aja, bukunya tersedia dalam bentuk digital.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup