Langsung ke konten utama

Menjadi Sarjana: Fragmen-fragmen Ingatan*


Tulisan ini utamanya ingin membalas ucapan terima kasih dari Dias karena sesungguhnya aku sama sekali tidak berhak atas ucapan terima kasih itu. Sejak perkenalan dan pertemanan kami selama lima tahun ini rasanya akulah yang selalu merepotkan Dias dengan banyak sekali permintaan tolong. Mulai dari sms dan chat menanyakan jalan dan lokasi-lokasi zaman masih liputan, mengantar ke beberapa tempat, mengganggu dengan sms tengah malam karena laptop hang, mengganggu tengah malam dengan cerita-cerita random dan keluhan-keluhan, meminta banyak saran soal kuliah dan kerjaan-kerjaan, kadang minta proyekan kalau pas dompet tipis, dan mungkin yang paling penting dalam proses kelulusanku, Diaslah yang mengantarku surup-surup ke Kalasan untuk mendapatkan tanda tangan terakhir di lembar pengesahan di H-2 pengumpulan berkas wisuda. Ditambah lagi, semangat-semangat “wis to, mesti iso,” tiap kali aku tanya “aku iso wisuda mei ra ya yas?” dan penghiburan berupa supply drama-drama korea kece selama masa revisi yang kayaknya bisa bikin gila hahaha.

Drama-drama korea itu kemudian sering kali menjadi topik perbincangan kami belakangan hingga akhirnya menggiring pada cerita drama kehidupan kami masing-masing, cieee~ hahaha. Maka begitulah, cerita-cerita itu mengalir di bawah langit Rewulu yang berubah menjadi jingga-keunguan ditemani seplastik pentol buatan Pak Teguh.  Seperti yang kubilang waktu itu Yas, aku akan senang jika bisa membantu mewujudkan resto impianmu tapi sebagai gantinya sumbangin sebagian bukumu buat warung impianku yes?

Sebegitu merepotkannya saya sebagai teman namun sebaliknya Dias jarang sekali minta tolong pun kami sejujurnya selama ini lebih sering membincangkan kuliah dan pekerjaan, seperti yang dia bilang di blognya perbincangan kami yang paling intim mungkin terjadi di Stasiun Rewulu waktu itu. Oleh karena itu, saya sering merasa “jangan-jangan aku menganggap Dias sahabat sementara dianya nggak ngerasa aku siapa-siapanya”. Hingga suatu hari Dias mengajak untuk bikin klub diskusi yang namanya Mujahid Skripsi itu. Tanpa Muhajid Skripsi mungkin aku akan berakhir sebagai mahasiswa yang kesepian.

Muhajid Skripsi

Mujahid Skripsi ini bagiku seperti ruang selonjoran yang asyik. Ada orang-orang yang menyenangkan diajak ngobrol apa saja, dari teori sampai gosip-gosip receh terbaru meski tentu saja akhirnya kami lebih sering nggosip receh. Di masa-masa nyekripsi, di masa-masa menyambut kenyataan, gosip-gosip receh adalah all we need untuk menjaga kewarasan kan.

Terima kasih kepada Nisa, Fadel, dan Dias lagi. Selain sebagai tempat selonjoran, Mujahid Skripsi juga banyak membantu dari brain storming ide, menajamkan sudut pandang dengan banyak insight menarik meski banyak yang nggak terpakai karena ide mereka terlalu kompleks untuk kapasitas otakku yang sederhana haha.

Begitulah, salah satu hal yang banyak dikeluhkan orang di masa nyekripsi adalah perasaan sendirian. Perasaan harus menaggung semua beban sendirian. Perasaan tidak dipahami oleh siapa pun. Untunglah, Muhajid Skripsi membuatku sedikit banyak mengurangi perasaan sendirian itu.

B21

Selain kami berempat sekelas, ada satu hal lagi yang mendekatkan kami, B21. Nisa, Dias dan aku sama-sama awak Balairung, sementara Fadel berhenti sebagai mantan-calon-awak haha.  Aku selalu merasa tidak pantas menyebut B21 sebagai rumah. Tapi makin dipikir-pikir, lingkaran pertemananku memang berputar-putar di seputaran B21 saja.

Di B21 aku menemukan banyak orang yang cocok denganku. Bahkan di hari-hari terakhir sebagai mahasiswa, teman-teman yang masih ada di sisiku ya anak-anak Balairung. Seperti Izza misalnya. Dulu sewaktu masih di B21, kami adalah rekan kerja, di hari-hari kami harus ngedit atau rapat sampai pagi kadang aku numpang tidur di kos-kosan Izza (atau Anung atau Dian Pus wkwk). Belakang kami lumayan sering ngobrol lagi bahkan Izza sempat memintaku menemani observasi lapangan. Melihat ketekunan Izza melakukan observasi di lingkungan yang amat sangat sulit ditembus sempat membuatku malu sih sebenarnya.



Di saat aku mengerjakan skripsi dengan begitu tegang, ada orang-orang yang begitu selo sebut saja Icol, Yudha, Agung. Icol baru saja menyelesaikan observasinya di Sumba beberapa bulan lalu. Yudha entahlah. Tapi mereka dengan selonya, menghabiskan malam tahun baru di Purworejo. Atau pada kesempatan lain, sekadar ngopi di sebuah warung di Lereng Pegunungan Menoreh. Dalam dua perjalanan selo itu, mereka mampir ke rumahku. Mereka jenis teman yang meski sudah lama nggak ketemu dan ngobrol tapi tetap saja sekalinya ketemu dan ngobrol bisa berjam-jam dan tetap nyambung. Setelah mereka pulang, ibu  biasanya berkomentar, “ mbak jangan-jangan kowe pancen salah nggolek kanca makane skripsimu ra rampung-rampung.”

Ervina. Pertemuan kami yang pertama terjadi di sebuah villa (?) di Kaliurang. Aku dimintai tolong untuk membantu upacara penantingan sore itu, dan orang yang kutanting adalah Ervina. Bocah yang pringas-pringis selama penantingan, tampilannya yang rapi dan gaul langsung membuatku bertanya-tanya “bocah model begini tahan berapa lama di B21?” Lalu setahun kemudian, Ervina justru menjadi ketua oprek Balairung. Selang beberapa bulan setelahnya kami menjadi rekan kerja di sebuah media startup. Pertemuan yang kedua inilah yang justru mendekatkan kami berdua. Entah topik apa yang bisa membuat kami betah ngobrol di kantor hingga pukul 8 malam, pesan cap cay, nunggu roti bakar, ngopi di kedai dekat kantor. Awalnya, seperti orang lain aku merasa Ervina adalah “bocah” namun makin sering kami ngobrol anggapan itu justru patah. Obrolan-obrolan “tua” yang nggak pernah kubicarakan dengan teman-teman seangkatanku justru sering jadi topik pembicaraan kami.

Tapi begitulah keseimbangan. Kalau lagi niat nggarap skripsi ngobrolnya sama Izza dan Dyah. Kalau sudah mulai merasa kurang waras gara-gara kebanyakan mikir skripsi, ya nggosip bersama Dias, Nisa, Fadel atau ngobrol random hingga dini hari bareng Ervina. Dengan begitu skripsi selesai dan tetap waras hahaha.

Tentu saja bukan hanya mereka yang membatu menyelesaikan skripsi itu. ada Ajeng yang tanpa lelah menanyakan kabar skripsi meski jawabanku selalu “dia baik-baik saja Jeng, doain aja ya,” Anggy yang nggak pernah tanya karena paham bahwa aku sebel tiap kali ditanyain skripsi tapi sekalinya dikabarin aku mau sidanng langsung sigap, “sini, pptnya tak bantuin,” Adra yang meski nun jauh di Lombok tetap membantu dengan doa dan segala tetek-bengek yang berhubungan dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Juga Nurma dan Rini yang menemani selalu selama belasan tahun ini. Dan semua orang yang telah membantu baik, doa, semangat, informasi, tenaga, keahlian atau apapun itu aku cuma bisa bilang terima kasih semoga kebaikan kalian dibalas dengan ribuan skenario kebaikan oleh-Nya.

Dan begitulah, fragmen-fragmen ingatan bagaimana aku menjadi sarjana. Aku percaya semuanya proses. Skripsi, bagiku bukan hanya tentang kemampuan kita mengoperasionalkan teori. Selama sekitar 2 tahun bergelut dengan skripsi aku belajar untuk mengenal diriku lebih jauh, aku paham bahwa kawanku yang terbaik adalah diriku sendiri begitu juga musuhku yang paling jahat adalah diriku sendiri. Perjalanan yang tidak singkat dan mudah itu, membuatku memahami apa artinya teman dan pertemanan. Dan mungkin yang paling penting, aku belajar menjadi dewasa dalam melihat hidup.

“Hidup adalah perjalanan bukan tujuan, jadi nikmati perjalanan ini.”

*Judulnya nyotek dari Dias

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup