Langsung ke konten utama

Before Dawn


Suatu siang di Perpustakaan Pusat UGM saya iseng, mengetikkan kata kunci Suroloyo di mesin pencari. Dalam hitungan sepersekian detik kemudian, muncul berbagai tautan yang mengarahkan untuk mengenal lebih jauh lagi keindahan, puncak dari barisan Pegunungan Menoreh di kawasan barat D. I Yogykarta ini. Saya pilih tautan dari national geographic, yang pasti punya kualitas visual bagus –soal visual ini penting sekali sebagai iming-iming supaya teman-teman tertarik pergi –dan ulasan yang lumayan, lalu tautan itu dikirimkan ke grup IRMAK. Dan voilllaaaa, respon bermunculan, semangat untuk naik (pe)gunung(an) bertemu dengan semangat dari kawan yang lain. Singkat cerita, persiapan dilakukan kilat via sms dan kami sepakat untuk berangkat pukul 03.00 pada tanggal 31 Mei lalu, membawa misi mendapatkan pemandangan matahari terbit.
Sebelum tidur, saya pastikan ngeset alarm, 02.30. Sekaligus membuat kesepakatan dengan Nurma untuk saling miscall jika sudah bangun. Persis, 02.30 saya bangun –tapi ya gitu deh kalau soal alarm, saya pasti bangun, sekadar untuk mematikan dan lanjut tidur lagi, hehe. Tak lama kemudian nama Nurma tertera di layar hp. Lalu, saya mengetik, sudah bangun.

Sedikit cuci muka, gosok gigi, lalu salat tahajud sederhana dengan dua rakaat. Saya bergegas ganti pakaian. Lalu menulis surat pendek “Aku berangkat ya.” Lalu secarik kertas itu saya alamatkan ke pintu kamar bapak dan ibu, supaya keduanya tidak terganggu. Kemudian, bergegas ke rumah Nurma karena katanya teman-teman yang lain sudah menunggu. Sampai di sana, sudah ada Mas Sofyan, Mas Zani, dan Inan. Sementara, Nurma dan Nisa sedang menggerebek rumah Rini –tanpa kamera dan kru tentu saja.
Pukul 04.00 setelah berpamitan pada ibu Nurma dan Rini, kami pergi. Jangan tanya seperti apa jalanan pagi itu, tentu saja, lengang, gelap, dan udara dingin langsung menyergap kami. Tapi semangat mengalahkan semuanya. Duduk di boncengan Nurma, yang melaju dengan kecepatan hampir 80 km/jam saya bersyukur sekali bisa pergi pagi itu.

Bagi saya, perjalanan ini bukan sekadar soal jalan-jalan, ini pembebasan. Pergi jalan-jalan ketika adzan subuh saja belum berkumandang, ini adalah kali pertama. Jalan-jalan bersama kawan menuju sebuah bulan yang sibuk, Juni, menjadi pembebasan jiwa dari himpitan tugas, deadline, dan tanggung jawab yang menunggu di depan mata. Dan pergi bersama kawan-kawan yang sudah menemanimu selama hampir sepanjang hidupmu, tak ada hal yang lebih baik dari itu.

Sampai di perempatan (?) Gedongan, motor Inan sang penunjuk jalan, memberikan tanda belok kanan menuju Minggir. Kami mengekor saja. Lepas dari jembatan Kreo, kami terus menanjak. Makin dekat puncak jalan makin menanjak, makin berat. Tapi ya begitulah, lagi-lagi soal tekad. Tiba-tiba inga kutipan dari novel dan film 5 cm, untuk sampai ke puncak cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Sampai juga kami di tempat parkir, sekitar pukul 05.15.

Waktu salat subuh hampir habis, maka kami berbegas untuk wudhu. Lalu, naik, ke pendopo pertama, dan menggela sajadah juga jaket sebagai alas. Mas Zani memimpin salat kami pagi itu. salat subuh di ketinggian dan setelah melalui perjalanan panjang, rasanya memang berbeda. Ada rasa syahdu yang diam-diam menyusup di dada. Salat subuh yang sangat berkesan. Selepas itu kami langsung naik karena semburat merah sudah terbentang di ufuk timur, karenanya kami harus bergegas ke puncak.

Sesampainya, di atas, saya sediri sih ngos-ngosan dan langsung mencari tempat duduk untuk mengembalikan nafas. Sementara, teman yang lain, langsung mengeluarkan kamera dan menyiapkan pose terbaik. Maka, selama di puncak dihabiskan dengan foto-foto sepuasnya sengan berbagai pose dan angel.

“Yuk ah turun, lapar, cari soto lho,” Inan sudah ribut. Maka kami tak tega melihatnya kelaparan, lalu kami turun.

Teman-teman yang lain masih sibuk foto sembari turun. Saya dan Inan turun duluan.

“Enteng ya turunnya ga kayak naik tadi,” kata saya membuka perbincangan.

“Ya memang begitu hukum fisikanya,” kata Inan menanggapi.

“Ya, mungkin memang begitu sunatullahnya ya. Pantas saja, dalam hidup juga begitu. Susah payah mendaki untuk menikmati keindahan dari ketinggian. Tapi turun, mudah sekali, tanpa ujian.”

“Begitulah.”

Setelah semua siap, kami pulang, dengan mampir ke warung soto lebih dahulu.

Begitulah, perjalanan mengenal alam adalah sebuah cara menyenangkan untuk belajar mengagumi hidup dan tentu saja Penciptanya.


Ditulis di Bulaksumur-Sedayu  ketika berupaya memanggil rasa bahagia yang sama untuk menghibur diri sendiri. 02-07 Juni. Soal visual, maaf belum bisa melengkapi, insyaAllah akan disusulkan nanti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau deng

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup