Langsung ke konten utama

1


--untuk N dan R


Kita sudah memulainya sebelum ingatan kita dihidupkan. Sama-sama tumbuh sebagai anak-anak, remaja, hingga kini (hampir) dewasa secara usia. Singkatnya, kita menikmati hidup bersama-sama hampir sepanjang usia kita, tanpa benar-benar menghitung berapa lama usia pertemanan kita.

Bersama kalian, aku tidak mengutuk masa lalu. Meski di sana, tertinggal luka, amarah, benci, namun merekalah yang menguatkanku hingga kini. Toh memang begitu. Dan syukurlah, aku masih dikaruniai ikhlas memaafkan ala anak-anak. Aku memulai semuanya. Belajar melupakan, belajar berdamai, dan belajar tetap tegak berjalan meskia aku selalu kalah dalam semua permainan kanak-kanak itu. Mulai petak umpet, gobak, sodor, lompat tali, hingga sekongan. Kemewahan dunia anak-anak yang mungkin kini sudah langka.

Apakah kalian masih ingat, jika kita berangkat TPA dan janjian bawa uang saku berapa? Kadang dua ratus, tiga ratus, lima ratus atau sekedar sebungkus mie instan yang tidak sehat dan banyak msgnya itu. Ah, kanak-kanak. Kita hanya peduli pada kebahagiaan dan sepertinya tidak sekali pun menganggap hidup adalah beban yang mesti ditanggung. Dan kini, sudah tiba masanya, kita yang berbagi ilmu membaca a-ba-ta itu pada adik-adik. Sesekali, di waktu keinsyafan ilmu mesti dibagi itu hadir. Karena kita, orang dewasa kadang terlalu sibuk dengan diri sendiri dan lupa bahwa hidup kita adalah bagian sistem semesta. Aduh, maafkan aku mulai melantur, meracau, kacau.

Bersama kalian, aku mensyukuri masa lalu. Dan berjalan menuju masa depan dengan menggandeng mesra masa lalu, berdamai dengan mereka. Dengan begitu, aku bisa menertawakan diri atas kebodohan, kelemahan, dan ketakutan. Juga, mengangkat kepala atas kekuatanku bertahan atau atas nikmat Tuhan yang sungguh, tidak pernah bisa aku dustakan.




Sedayu, 21 Mei 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seleksi Asisten Editor Kompas-Gramedia: Tahap I

Selesai seleksi di Bisnis Indonesia, aku pulang ke Jogja hari Selasa keesokan harinya. Lagi-lagi, aku nebeng untuk pulang. Jadi, aku pulang ke Jogja motoran. Sudah agak lama nggak menempuh Jogja-Ungaran motoran, lumayan pegel juga ternyata. Apalagi sehari sebelumnya cukup ngos-ngosan juga, motoran Semarang-Ungaran bolak-balik, liputan, menulis 4 tulisan dalam waktu nggak sampai 3 jam. Ditambah lagi, perjalanan Ungaran-Jogja selama 3 jam di atas motor. Semua itu cukup membuatku lelah dan langsung tidur sesampainya di Jogja. Bangun dari tidur ada sms dari HotNews. Yang kuabaikan, halah paling sms gaje gosip artis dari indosat. Pas ngecek email ternyata ada panggilan psikotes dan tes bidang dari Kompas-Gramedia untuk posisi asisten editor. HotNews itu ternyata dari KPG memberitahukan panggilan peikotes dan tes bidang. Terus terang aku kaget tapi seneng. Kaget karena tes akan diselenggarakan hari Kamis, tanggal 10 Agustus jam 8.00 di Jakarta. Kaget karena ada banyak berkas ...

[Travel] Berburu Senja di Anyer

Perjalanan ke Anyer dari Jakarta bisa dikatakan perjalanan jauh. Apalagi jika naik kendaraan umum, seperti kami. Bagiku, piknik ke Anyer ini adalah piknik paling simpel, paling tanpa fafifu langsung berangkat.  Dari atas Pantai Karang Bolong Kami berangkat Sabtu pagi, dari Jakarta, naik KRL dari stasiun Tanahabang hingga Rangkasbitung seharga 8000 rupiah. Beberapa blog bercerita kalau ada kereta lokal Tanahabang-Merak namun menurut petugas di Stasiun Tanahabang sudah tidak ada KA Lokal tersebut. Perjalanan Stasiun Tanahabang-Rangkasbitung sekitar 2 jam. Sesampainya di Rangkasbitung, lanjut KA Lokal Rangkasbitung-Merak, harga tiketnya 3000 rupiah saja. Nah, untuk ke Anyer, paling enak turun di stasiun kecil bernama Krenceng. Perjalanan Rangkasbitung-Krenceng juga sekitar 2 jam. Jadwal keretanya silakan googling saja. Angkot silver Krenceng-Labuan PP Sesampainya di Stasiun Krenceng, keluar lalu naik angkot silver tujuan Labuan. Pantai-pantai di Anyer bisa dijangkau ...

Stand Up Comedy: Menertawakan Diri Sendiri*

Ia anak rumahan. Meski aktif di sebuah unit kegiatan mahasiswa, perputaran kehidupannya memang lebih banyak di rumah. Dari umur empat puluh hari hinggga kini lebih dari 20 tahun, ia tinggal di rumah. Di dalam rumah, tak ada banyak identitas yang bisa ditemui. Ditambah lagi, ia tinggal di desa yang punya komposisi nyaris homogen, semua penduduknya Islam dan Jawa. Kampus hanyalah tempat singgah apalagi belakangan UGM lebih banyak didominasi mahasiswa Pulau Jawa. Di kelasnya, hampir separuh mahasiswa, adalah penduduk DIY dan Jateng. Media, bagaimana pun adalah arena kontestasi, termasuk di dalamnya mempertentangkan identitas sebagai bagian dari kekuasaan. Di televisi, olok-olok pada mereka yang punya logat kental Ngapak dimulai, juga pada mereka yang Madura, Batak, dan stigmatisasi pada mereka yang berkulit gelap dari belahan Indonesia Timur. Termasuk stigmatisasi pada para difabel. Suatu malam, yang saya lupa tepatnya, dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji seorang pemeran denga...