Langsung ke konten utama

Postingan

Angka-angka dan pencapaian

Photo by Kiki Siepel on Unsplash Ide tulisan ini awalnya terinspirasi dari Mbak Puty dan postingan Ko Edward .   Membaca kedua tulisan itu, membuatku berefleksi pada hubunganku dan angka-angka serta pencapaian.   Aku, jujur aja takut sekali dengan parameter kesuksesan berupa angka. Si anak marketing yang takut melihat target angka. Sebuah ironi yang tidak pada tempatnya.   Hal itu bukan hanya target terkait pekerjaan namun juga terkait dengan kehidupan personal. Aku takut melihat angka di timbangan, tidak pernah berani mematok ingin memiliki berapa banyak penghasilan, tidak berani menarget angka yang terlalu besar untuk tabungan, tidak berani mematok target tanggal pernikahan meskipun membaca banyak testimoni yang bilang sukses menerapkan strategi ini ahahaha (iya, menikah masih jadi salah satu hal dalam bucket list -ku). Dan daftarnya bisa kuteruskan panjang sekali tapi nggak perlu, karena too much information dan akan jadi kalimat yang terlalu panjang.   Tapi hidup

Aku masih menemukanmu pagi ini

Photo by Kenan Kitchen on Unsplash     “Selamat ulang tahun,” katamu pagi itu. Saat belum ada seorang pun mengucapkannya baik melalui pesan singkat maupun kecup hangat. Setelah sekian lama, aku kembali berharap berumur panjang agar akan ada pagi seperti ini lagi tahun depan, tahun depannya lagi, tahun depannya lagi sampai, jika mungkin kamu mengucapkannya sesaat setelah membuka selimut, berguling ke arahku, meraih puncak kepalaku yang rambutnya mulai abu-abu. Pagi ini, ulang tahunku datang sekali lagi. Tapi kamu tidak di sisiku dan tidak akan mengucapkan selamat ulang tahun lagi.   Pagi ini aku masih berharap semoga umurku panjang meskipun mungkin bukan kamu yang akan menyaksikan rambutku berubah menjadi keperakan.   Berulang kali aku mengecek ponsel, mencari namamu di sana, sembari berharap ada terselip pesan selamat ulang tahun darimu. Tidak ada. Tak peduli seberapa banyak pun aku membuka dan menutup aplikasi pengirim pesan dan menyegarkan ulang halamannya. Dan kenapa aku mas

2020 So Far

Photo by Noah Silliman on Unsplash Di situasi-situasi yang tidak menyenangkan biasanya keinginan untuk menulis meluap-luap sebagai cara untuk merapikan pikiran-pikiran yang semrawut. Sebagai sobat overthinking, di masa yang baik-baik saja pikiran selalu memikirkan sejuta kemungkinan terburuk dengan berbagai skenario, apalagi di masa tidak enak. Dan menulis selalu bisa jadi cara decluttering my mind. Tapi kali ini nggak, kepalaku rasanya kosong. Nggak ada berbagai skenario terburuk yang kupikirkan. Seakan semua sudah gamblang di depan mata apa yang akan terjadi. Melihatnya terjadi satu per satu, tinggal kutertawakan saja. Sebagaimana biasanya aku bertahan hidup. Yang bisa diantisipasi toh sudah juga kulakukan. Tinggal hal-hal di luar kuasa, lalu mau apa. Tulisan ini, akan lompat-lompat sebagaimana isi kepalaku. Aku tidak akan repot-repot menyuntingnya, seperti yang kulakukan pada sebagian besar tulisanku di blog ini. Hitung-hitung sebagai penanda masa. Jika, kam

Hospital Playlist: A Whole New Experience

Pertama kenal drama ini, dikenalkan Rinta. Kami nonton di kantor, tentu saja jam makan siang. Dan sudah berapa lama kita tidak lagi makan siang di kantor? Cukup lama tentu saja karena besok adalah penayangan terakhir dalam 12 pekan ini.   Tak banyak drama yang langsung menarik sejak episode pertama. Lebih tidak banyak lagi drama yang bisa membuatku menonton ulang episode pertamanya berulang-ulang, dan tetap ikut ngakak juga terharu. Hospital Playlist jelas satu dari yang sangat sedikit itu. Episode pertamanya sangat berkesan dan tetap menyenangkan seberapa banyak pun aku mengulangnya. Kemunculan Ikjun. Pembentukan ulang band. Penampilan band mereka yang pertama. Pasien-pasien yang muncul. Dinamika geng mereka. Ah, semuanya. Dengan episode pertama yang begitu mencuri perhatian, bagaimana aku bisa menolak untuk melanjutkan ke sebelas episode berikutnya? Sejak awal, tidak ada plot yang jelas. Penonton diajak berkenalan dengan lima profesor berusia 40 tahun