“Mau naik Nglanggeran po?” tanyamu via layanan pesan singkat. “Nglanggeran? Siapa saja?” balasku sambil mengernyitkan dahi. “Berdua lah,” balasmu lagi. “Emoh. Ngopi aja kalau mau,” kataku bercanda. “Oke, aku pengen nyoba beberapa kedai kopi. Jadi kapan kamu selo?” Loh kok jadi serius, batinku. Kami tak pernah lagi bertemu meski ada banyak perasan yang belum selesai. Meski menanggung cerita yang belum selesai, masing-masing sudah memulai banyak cerita baru. *** Sengaja aku datang terlambat. Membawa sebuah buku membosankan sebagai senjata bila tiba-tiba pertemuan tak seperti yang diinginkan. Siapa tahu, bila mata bertemu mata, kata-kata menjadi lindap oleh lidah yang berubah kelu. Sesampainya di kedai yang kita sepakati, aku langsung menuju meja yang kau katakan dalam pesan singkat yang baru saja kuterima. Nomor 39 katamu. Di atas meja kulihat sebuah keyboard komputer usang, asbak, dan puntung rokok tak beraturan. Aku duduk, menunggu, membuka buku membosankan itu ...