Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Secangkir Kopi Terakhir

“Mau naik Nglanggeran po?” tanyamu via layanan pesan singkat. “Nglanggeran? Siapa saja?” balasku sambil mengernyitkan dahi. “Berdua lah,” balasmu lagi. “Emoh. Ngopi aja kalau mau,” kataku bercanda. “Oke, aku pengen nyoba beberapa kedai kopi. Jadi kapan kamu selo?” Loh kok jadi serius, batinku. Kami tak pernah lagi bertemu meski ada banyak perasan yang belum selesai. Meski menanggung cerita yang belum selesai, masing-masing sudah memulai banyak cerita baru.   *** Sengaja aku datang terlambat. Membawa sebuah buku membosankan sebagai senjata bila tiba-tiba pertemuan tak seperti yang diinginkan. Siapa tahu, bila mata bertemu mata, kata-kata menjadi lindap oleh lidah yang berubah kelu. Sesampainya di kedai yang kita sepakati, aku langsung menuju meja yang kau katakan dalam pesan singkat yang baru saja kuterima. Nomor 39 katamu. Di atas meja kulihat sebuah keyboard komputer usang, asbak, dan puntung rokok tak beraturan. Aku duduk, menunggu, membuka buku membosankan itu ...

TINA*

Siang itu, sepulang sekolah, setelah ganti baju dan makan siang aku segera bersepeda ke rumahmu. "Tinaaaaa... Tinaaaa...," panggilku. Lalu kau keluar dengan senyumanmu yang khas itu, semacam senyum yg dikulum. "Sebentar ya, aku sedang mencuci piring," katamu. Ah, kamu memang lebih cepat tanggap tentang pekerjaan rumah. Setelah selesai dengan pekerjaan itu kamu keluar lalu kita duduk di lincak depan rumahmu. Atau sesekali bergelantungan di pohon jambu yang tumbuh di pojok halamanmu yang luas. Waktu itu, aku tak doyan jambu. Hampir begitu tiap hari berlalu, kita bercerita tentang apa saja di cabang-cabang pohon jambu itu. Bahkan menamai tiap cabang itu dengan nama kita. Kadang tak hanya berdua, kadang ada Sita atau Nana, atau siapa saja yang datang dan pergi. Begitu terus hingga kita lulus SD. Kelas 2 SMP, aku pindah ke rumah yg persis di sebelah rumahmu. Pasca Idul Fitri, tahun 2006, dua bulan setelah gempa yang merontokkan Bantul dan sekitarnya. ...

Dilema Keseloan

Pertemuan ketiga Mujahid Skripsi sebenarnya sudah direncanakan entah sejak berapa waktu lalu. Sekian waktu berjalan, rencana itu tinggal wacana yang dibicarakan berulang-ulang tanpa realisasi. Awal Ramadhan lalu, saya menyinggung lagi wacana kumpul-kumpul. Tapi, nampaknya kami memang belum jodoh karena Fadel yang masih sibuk ini-itu, sebagai kader terbaik bangsa-pinjam istilah Dias, dan juga sebagai asisten Pak Prof. Belum lagi Nisa harus pergi keluar kota selama beberapa waktu untuk penelitian-biasalah proyekan. Dias juga, sibuk penelitian ini-itu, datang diskusi sana-sini, dan aku ehem selo selalu haha. Ya sudah lah ya, hukum alam berlaku di sini: orang selo mengikuti yang tidak selo. Aku cuma bisa nunggu jadwal mereka yang padat menjadi agak selo. Hingga akhirnya, penantian orang selo ini berujung juga pada tanggal 8 Juli, kemarin. Kami ketemuan di sebuah warung sembari buber. --- Makanan yang kami pesan datang terlambat, lha iyo, wong mesene wae pas adzan maghrib og. Sete...

Untuk Diri Sendiri

Sebenarnya, sebenar-benarnya, aku menulis untuk diriku sendiri. Aku menulis untuk meluapkan umpatan yang tak sampai hati kuucapkan. Atau di waktu yang lain, aku menulis untuk mengusir kesedihan. Dan bila aku lapar, kuumpankan tulisan pada juragan untuk beli makan. Dan aku memang menulis hanya untuk diriku sendiri.