“Are you happy?” “Of course, I am. Sekarang jadi jauh lebih tenang, aku pelan-pelan mulai semangat bangun pagi lagi sementara sebelumnya aku benci pagi, bangun, harus kerja. Sampai di titik aku benci diriku sendiri karena masih mau stay padahal jelas-jelas nggak sehat buat mentalku. Everything is getting better.” “Glad to hear that. Bener juga sih. Di sini juga makin lama makin nggak jelas. Sekarang Dia yang ada di titik itu. Males bangun. Masuk kantor jam 9.00 Dia baru bangun 8.30. So, gimana rasanya pulang?” “Hmm... nggak semengerikan yang kubayangkan sih. Tapi tentu saja banyak yang berubah. Apalagi setelah Bapak nggak ada. Adaptasi lagi juga mau nggak mau. But, everything is fine.” “Masa sih kamu ngeri bayangin pulang ke rumah? Kukira kamu happy.” “Kayaknya aku pernah cerita deh apa yang terjadi di rumah, di Jogja dan kenapa akhirnya pengen pergi dari sini. Ternyata, waktu nggak akan menyembuhkan luka yang mana pun, kecuali kita mengizinkan luka-...